Selasa, 28 April 2009

UAN dan Persoalan Psikologis

Mulai dari beberapa hari kemarin, anak-anak SMU dan SMP melaksanakan UAN, atau ujian akhir nasional, beberapa waktu lagi anak-anak SD juga akan melaksanakan UAN, salah satu tujuan dari diadakannya UAN adalah untuk mengukur kemampuan siswa selama dia belajar di jenjangnya masing-masing. Pengukurannya dilakukan dengan cara kuantitatif, di mana siswa diberi soal-soal dan kemudian siswa menjawab. Kemampuan siswa untuk menjawab menjadi indicator kemampuan dia selalu siswa tersebut belajar. Hingga saat ini saya sepakat dengan diadakannya tes, sebab dengan tes, kemampuan siswa beserta kelemahannya akan terlihat sebagai mana adanya. Singkat kata, tes menjadi perlu adanya selama itu mengukur tingkat kemampuan siswa tanpa mereduksi kemanusiaannya.

Adalah Howard Gardner, pakar pendidikan yang memberi ilustrasi yang mantap dengan cerita kegelisahan para hewan yang ada di salah satu hutan, di mana mereka para hewan itu menginginkan generasi setelahnya menjadi generasi yang lebih baik dari generasi para hewan saat ini, begitulah kira-kira isi hati dari para hewan itu. Maka berkumpullah semua hewan yang ada di hutan belantara itu, mereka semua mengadakan rapat akbar yang dipimpin oleh Macan, si Raja Hutan. Turut hadir pula Elang, raja angkasa, Ikan sungai, Kambing, Kancil, Tikus dan yang lainnya.

Mereka semua mengadakan rapat berhari-hari, sampai di penghujung rapat, semua hewan itu bersepakat untuk mendirikan lembaga pendidikan. Heu heu.... kebayang gak sih?. Di hari pertama, si anak-anak hewan itu begitu bergembira untuk bersekolah, dan para gurunya adalah mereka-mereka yang dituakan. Hari pertama ketika itu pelajaran Berlari, menggali, renang dan pelajaran terbang.

Semuanya diajarin beragam teori bagaimana caranya bisa renang, lari ngebut, menggali efektif dan terbang yang efisien. Setelah segudang teori itu diberikan, tibalah saatnya tes, tes pertama tes untuk berlari. Anak Kambing, anak macan, semuanya sukses untuk melalui tes tsb dengan nilai terbaik, namun........ ternyata anak ikan sudah kleper-kleper kehabisan nafas, sementara anak elang pun terlihat kesusahan, akhirnya mereka berdua mendapat nilai buruk.

Tes Kedua adalah tes berenang, heu heu bisa dipastikan ikan mampu melesat dengan dahsyat.... sementara itu anak kucing gak berani-berani masuk ke air, entah kenapa? Heu heu, semua hewan kecuali ikan mendapat nilai buruk untuk tes berenang.

Begitu juga ketika tes terbang, hanya anak elang aja yang dapat nilai A, sementara yang lain gagal, hal yang sama juga terjadi pada tes menggali, hanya tikus aja yang dapat nilai A, sementara anak kambing dan anak macan terlihat depresi.

Apa maksud dari cerita ini, saya tidak bermaksud menyamakan antara hewan dengan manusia, namun cerita ini menjadi ilustrasi betapa manusia-manusia itu memiliki kemuatannya sendiri sendiri yang itu tidak tercover dalam UAN.

Bagaimana dengan mereka yang hebat dalam olahraga saja, atau mereka yang hebat dalam bidang musik, sementara itu, ujian UAN hanya berkutat pada kemampuan linguistik, matematis, dan hapalan pada pelajaran IPS, tentu saja ini membuat beberapa fungsi kemanusiaan menjadi tidak diakui.

Padahal kenyatannya, dalam hidup ini, mereka yang sukses adalah mereka yang dapat pelajaran bukan dari yang diakui oleh UAN, simpan saja nama David Beckham, dia melejit namanya karena kemampuan kinestetisnya, hal serupa juga dialami oleh Bob Sadino yang sukses karena insting bisnisnya yang kuat.

Akan lebih adil bila proses penilaian kesuksesan belajar itu tidak dinilai diakhir dengan beberapa mata pelajaran saja, tapi pada proses selama mereka belajar, tentu saja dengan segala aspek pendidikan yang diberikan di sekolah.

Gmn dengan anda?


2 komentar

  1. uan??
    huuuhhh....
    Saya tak habis pikir apa alasan di balik ujian akhir berstandar nasional itu. Karena, saya pikir, ujian semacam UAN yang diadakan di seluruh nusantara tidak selalu adil dalam dalam menilai proses belajar siswa.
    Pada akhirnya siswa siswa belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai di atas batas nilai kelulusan. Tapi apa gunanya kerja keras mati-matian jika alat ujinya tidak valid dan reliable.

    Begini contohnya. Ini contoh saya dapatkan dari sebuah tulisan. Dan saya setuju.

    pelajaran Bahasa Indonesia mencakup ketrampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Jadi selama di Sekolah Dasar, anak-anak belajar berkomunikasi dengan empat cara itu. UASBN hanya menguji aspek membaca dan menulis saja. Dengan asumsi empat aspek itu sama pentingnya dan diajarkan dengan pembagian waktu yang merata, maka UASBN hanya menguji 50 % dari isi kurikulum nasional pelajaran Bahasa Indonesia.

    Benar begitu?

    Soal-soal UASBN adalah soal berbentuk pilihan ganda. Semua soal pilihan ganda. Bagaimana menilai ketrampilan menulis dalam soal pilihan ganda? Apakah pertanyaan pilihan ganda tentang penggunaan awalan ber-, misalnya, merefleksikan kemampuan anak mengekspresikan dirinya dalam menulis? Apakah soal pilihan ganda untuk memilih mana pantun, dan mana puisi menggambarkan kemampuan anak membuat puisi? Apakah memilih mana pembuka surat yang paling sopan bercerita tentang kemampuan anak menulis surat?

    Benar kata Hanif Nurcholis bahwa menulis adalah kemampuan produktif untuk mengembangkan gagasan di otak. Sedang membaca soal pilihan ganda tidak ada urusannya dengan memproduksi gagasan.

    Berarti, sebenarnya UASBN hanya menilai aspek membaca saja. Lho, berarti tidak hanya 50 % tetapi 25 % dong.

    dan yang 25 persen itu dijadikan harga mati untuk menilai kecerdasan seorang siswa. penilaian macam apa itu...
    kalau basa jawa iku sing jenengne ndobos...

    adek saya senin ini ujian...
    mudah2an saja bisa.

    BalasHapus
  2. Saya tak habis pikir apa alasan di balik ujian akhir berstandar nasional itu. Karena, saya pikir, ujian semacam UAN yang diadakan di seluruh nusantara tidak selalu adil dalam dalam menilai proses belajar siswa.
    Pada akhirnya siswa siswa belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai di atas batas nilai kelulusan. Tapi apa gunanya kerja keras mati-matian jika alat ujinya tidak valid dan reliable.

    Begini contohnya. Ini contoh saya dapatkan dari sebuah tulisan. Dan saya setuju.

    pelajaran Bahasa Indonesia mencakup ketrampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Jadi selama di Sekolah Dasar, anak-anak belajar berkomunikasi dengan empat cara itu. UASBN hanya menguji aspek membaca dan menulis saja. Dengan asumsi empat aspek itu sama pentingnya dan diajarkan dengan pembagian waktu yang merata, maka UASBN hanya menguji 50 % dari isi kurikulum nasional pelajaran Bahasa Indonesia.


    Soal-soal UASBN adalah soal berbentuk pilihan ganda. Semua soal pilihan ganda. Bagaimana menilai ketrampilan menulis dalam soal pilihan ganda? Apakah pertanyaan pilihan ganda tentang penggunaan awalan ber-, misalnya, merefleksikan kemampuan anak mengekspresikan dirinya dalam menulis? Apakah soal pilihan ganda untuk memilih mana pantun, dan mana puisi menggambarkan kemampuan anak membuat puisi? Apakah memilih mana pembuka surat yang paling sopan bercerita tentang kemampuan anak menulis surat?

    menulis adalah kemampuan produktif untuk mengembangkan gagasan di otak. Sedang membaca soal pilihan ganda tidak ada urusannya dengan memproduksi gagasan.

    Berarti, sebenarnya UASBN hanya menilai aspek membaca saja. Lho, berarti tidak hanya 50 % tetapi 25 % dong.
    Dan yang 25 % ini dijadikan harga mati untuk megukur dan menilai kecerdasan seorang siswa. Mbbah!!! Macam mana pula itu!!!

    BalasHapus


EmoticonEmoticon