Selasa, 04 Juni 2019

IEDUL FITRI, PERBAIKAN DEFINISI BAHAGIA




Hasil Itsbat Kementerian Agama memutuskan bahwa tanggal 1 syawal 1440 jatuh pada hari Rabu, 5 Juni 2019. Keputusan ini berkesesuaian dengan hasil Ru’yat PBNU dan Hisab PP Muhammadiyah. Lebaran bersama sama ini tentu saja menggembirakan. Sebab beberapa kali memang umat Islam dengan Ormas terbesar ini tidak bareng merayakan lebaran. Tidak ada masalah memang tapi tidak nyaman.

Sengaja saya bahas apa sih relasi iedul fitri dengan arti bahagia selama ini. Duit itu sebenarnya hanya manifest saja. Apakah uang ini bisa memberi kebahagiaan ? bisa iya dan bisa tidak. Tidak ada jawaban tunggal, karena setiap orang mengelola dana berbeda-beda. Apakah uang bisa memberi kebahagiaan ? faktanya iya, dengan memberi angpao kepada saudara bisa membuat mereka bahagia. Transfer dana kepada orangtua pun akan membuat bahagia, memberi zakat kepada yang tidak mampu pun akan membuat bahagia.

Namun, diskusi menjadi semakin mendalam jika kita mulai bertanya. Mana yg lebih dahulu, apakah uang yang akan mendatangkan kebahagiaan atau kebahagiaan yang akan mendatangkan uang ?

Hari ini, dengan fintech yang semakin maju, uang mengalir begitu deras ke mana mana secara efisien, beli tiket tidak perlu antri di bank atau pun antri di stasiun, sebab aplikasi smartphone sangat kompatibel memesan tiket. Yang lebih menarik banyak orang Milyader baru yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya, faktor keluarga tidak begitu signifikan berpengaruh lagi dalam membentuk kekayaan. Coba saja kemarin kemarin siapa yang kenal Elon Musk, Jack Ma, atau pendiri Amazon; Jeff Bezos.

Kekayaan yang berkemelimpahan memang akan membawa kebahagiaan, namun saat manusia dibatasi oleh rasa bosan dan berujung kepada rasa hampa yang pelan pelan menjalari batin. Jika kita suka bakso dan kemudian setiap hari makan bakso, bisa jadi di piring ke 20 kita mulai merasa hambar. Piring ke 21 sudah habis antusias, piring ke 30 rasa itu mulai menjalar menjadi mual.

Jika traveling ini sangat membuat kita membuncah bahagia, bisa jadi rasa itu bertahan untuk traveling ke 15 dan 16. Selanjutnya pun traveling menjadi hambar. Kita bisa menanyakan itu kepada agen travel yang sudah ratusan kali mengguide tamu mendatangi tempat tempat indah, rasa bosan itu hinggap karena rutintas jalur, dan narasi cerita keindahan yang dibumbui sedikit informasi bombastis itu itu saja yang diceritakan kepada setiap tamu. Its only job

Untuk mengembalikan kembali rasa yang sedang hambar ini ke titik awal antusias, kita cenderung menambah dosisnya, apakah varian makanan jika itu makanan, atau menambah ekstrim tempat yang dikunjungi, atau menambah dosis minuman jika itu drug. Tapi ini manusiawi bahwa perasaan antusias ini akan kembali membentur rasa bosan jika terus berulang ulang dilakukan.  

Rasa bosan ini dibentuk sebagai mekanisme pertahanan diri yang efektif untuk memungkinkan manusia untuk berkembang secara maksimal diluar kebiasaan yang sudah dilakukan, emosi yang timbul berupa rasa bosan ini jika dilawan akan mengarah rasa hampa yang berkelanjutan.

Namun, mau kah kita secara sadar mengakui bahwa rasa hampa karena kemelimpahan ini sedang merasuki batin kita ? butuh kejujuran terhadap diri sendiri, alih alih jujur namun banyak yang menyangkal.  

Ukuran Bahagia
Ada paradok yang terjadi hari ini, di saat kompleksitas kehidupan banyak diberi kemudahan, jejaring antar individu menjadi tanpa sekat sama sekali, namun banyak orang yang merasa kangen dengan masa lalu, di mana smartphone ini belum dipegang semua orang, semua begitu orisinil dengan kediriannya. Kita tentu masih ingat di mana setiap pertemuan di mana pun begitu membekas tanpa kehadiran makhluk mungkin yang setiap saat mengintervensi berupa dering jejaring social.

Jejaring social dan kemudahan lainnya untuk menengok apa yang sedang ada pada orang lain yang terus dilayani oleh jari kita, sebenarnya menjejalkan informasi orang lain masuk ke dalam ruang pikiran kita yang berujung mengendap dalam ruang batin kita. Alhasil, apa yang sedang terjadi ribuan kilometer dari sini kemungkinan akan trend dalam waktu dekat di sini. Pencapaian yang diperoleh siapa pun hari ini, akan dengan mudah diakses di mana pun. Dan sayangnya ini semua begitu menarik dilihat dan membuat ingin seperti mereka yang kita lihat.   

Alhasil lambat laun Ada semacam paksaan yang mendesak bahwa ukuran bahagia diukur dari berkemelimpahan pencapaian yang tampak, sehingga banyak orang memaksakan diri untuk keluar dari kediriannya yang asli dan mulai memakai defines bahagian seperti yang disimpulkan dari pencapaian orang lain.

Apakah mapan secara materi ini dilarang ? owh tidak juga. Namun streotipe ukuran artifisial yang terlihat berupa kepemilikan bendawi yang kemudian dianut banyak orang justru mendorong siapa pun untuk menjadi tidak bahagia.
Lebih sialnya, memang tidak semua orang menjalani kemelimpahan dengan waktu yang bersamaan dengan orang lain, namun menginternalisasikan nilai ukuran kemelimpahan ini sebagai ukuran kebahagiaan yang pas pada dirinya.

Beberapa waktu lalu ada teman, sebenarnya secara finansial cukup baik, secara keluarga sudah lengkap bersama anak, tapi ada semacam rasa rendah diri karena factor edukasi yang tidak begitu tinggi, padahal sedikit pun saya dan teman teman tidak berfikiran demikian.  Pemikiran bahwa ukuran berhasil itu dilihat berupa pencapaian edukasi yang tinggi ini kemudian dipertahankan yang sebenarnya justru membuat dirinya semakin tidak bahagia setiap bertemu dengan siapa pun yang secara edukasi tinggi.

Jujur Terhadap Rasa Bahagia
Sempat ada cerita sarkasme yang menjadi benturan ukuran bahagia. Cerita ini dimulai saat direktur melakukan rekreasi ke pinggir pantai untuk melepas penat. Perjalanan ini tentu membawa ukuran kebahagiaan versi diri yang memang secara konseptual kekinian sudah memiliki banyak hal,  money freedom. Mau belanja apa pun duitnya gak akan habis.

Dalam Perjalanan ini kemudian dia bertemu dengan pemancing ikan yang bersahaja yang kegiatan setiap harinya hanya memancing ikan dan dinikmati keluarganya setiap hari. Direktur kemudian mengajari pemancing itu teknik kaya dalam waktu cepat, sebagaimana yang biasa dia lakukan setiap hari, mulai menyisihkan uang, kemudian terus berusaha sekuat tenaga sampai bisa beli kapal dan punya banyak karyawan.

Pemancing kemudian bertanya “Kalau saya sudah punya kapal dan punya karyawan banyak, apa yang akan saya lakukan selanjutnya ? ”
Direktur menjawab dengan nada menggurui “Kamu tinggal di rumah dan bercengkrama di rumah bersama keluarga, sementara uang mengalir dengan sendirinya”
Pemancing bertanya balik “Jika itu yang diinginkan, bukankah saya pun sekarang setiap hari bercengkrama di rumah bersama keluarga ?”

Sesederhana itu kah bahagia ? iyes, semua punya kedaulatan untuk mendefinisikan rasa bahagianya tanpa khawatir intervensi terlalu dalam dari definisi bahagia artifisial yang dianut orang lain.

Persoalan Kesulitan
Apakah kebahagiaan ini berarti nirmasalah ? atau malah sebaliknya, kebahagiaan ini adalah rentetan masalah masalah yang sudah terlalui  ? atau bisa jadi apakah bahagia ini bisa bertetangga baik dengan kesulitan ?.

Throw back sebentar perjalanan yang sudah dilalui semuanya, kelahiran manusia yang sangat menyakitkan ibu, faktnya selesai bayi lahir membuat bahagian seisi keluarga, namun perjalanan menyakitkan ini belum berhenti di sini, ada ayah yang harus bekerja menghidupi keluarga, ada Ibu yang harus terganggu tidurnya karena rengekan bayi, dan ada bayi yang harus melalui jatuh berulangkali untuk bisa berjalan.

Dalam dunia binatang di alam liar, bayi jerapah yang lahir terjatuh ini harus mendapat tendangan demi tendangan dari ibunya supaya bisa berdiri tegak dan survive menghadapi ganasnya predator.

Namun apakah senyum bahagia itu merekah setelah bayi lahir ? dan adakah anak yang terjatuh saat belajar berjalan kemudian kapok ? atau kemudian ada bayi yang menengok teman seusianya apakah dia sudah jalan atau belum ?

Kebahagiaan ini sebenarnya dibangun dari segala kesulitan kesulitan yang sedang atau telah dilalui dan terselesaikan secara tuntas. Hal ini kemudian berlawanan dengan makna bahagia yang kita fahami selama ini yang memaknai bahagia itu nirmasalah, bahagia itu berkemelimpahan. 

Bahkan secara ekstrim sejatinya hidup ini adalah serententan masalah demi masalah yang harus dibereskan sampai ajal. Mereka yang free secara finansial adalah mereka yang telah menyelesaikan kemelut keuangannya dan kini dia sedang bergelut dengan masalah baru. 

Inventor atau penemu yang dapat Nobel Prize pun sebenarnya adalah mereka yang menuntaskan kerumitan kerumitan penelitan yang hasilnya memberi kontribusi besar kepada kemanusiaan, dan kini bisa jadi mereka sedang berkutat dengan pertanyaan baru yang harus dijawab.  

Tidak nyaman terdengar memang, ini semacam ajakan untuk melupakan romantika indahnya hidup yang penuh gelak tawa dan hedon. Memaknai kembali runtutan hidup ini dibangun dari runtutan jadwal yang tersusun membosankan, dari tidur, bangun kerja, ketemu orang dan tidur lagi. Yes itu saja.

Kembali Ke pertanyaan di atas, apakah uang bisa memberi kebahagiaan atau kebahagiaan bisa mendatangkan uang ?

Uang sebenarnya entitas terpisah dari kebahagiaan. Bahagia itu entitas yang mandiri baik ada uang atau tidak, rasa bahagia itu kita yang mendaulat. Apakah kemudian dengan memiliki uang Anda bahagia atau tidak bahagia itu bagian dari pilihan pilihan yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.

Saya bertemu dengan salah satu pengusaha yang asetnya akan disita, tapi masih saja bisa guyon, yang belum punya anak di usia 40 tahun bagi sebagian orang adalah mimpi buruk, tapi mereka memilih tersenyum saja. Mungkin saja mereka sedih dengan persoalan yang sedang dihadapi, namun mereka memilih untuk tidak membiarkan rasa bahagia ini terlarut lenyap dalam kesulitan.

Lagi lagi bahagia ini bisa dibuat sama sekali tidak ada relasinya dengan kesulitan kesulitan yang dihadapi. Keduanya bisa hidup berdampingan yang justru membuat hidup ini menjadi penuh makna.

Namun selama Anda tidak memiliki definisi bahagia yang independen, rasa rasanya sulit untuk mendapat kebahagiaan. Sialnya lagi, semakin anda tidak bahagia, Anda akan semakin tidak punya uang, percaya lah.

Lebaran
Setelah beres menuntaskan kesulitan kesulitan berupa lapar, lemas, bau mulut, kurang tidur dan sebagainya di bulan ramadhan, maka sudah saatnya bahagia ini akan menyapa relung batin kita bersamaan dengan lembutnya alunan takbir malam hari raya. Dan rasa bahagia seperti ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang tidak melalui sulitnya ditempa di bulan ramadhan.

Masih kah kita mendefinisikan Bahagia ini secara artifisial ? semuanya kembali kepada masing masing individu.

Terakhir mari kita syukuri punya pasangan apa pun itu kondisinya, punya anak yang bisa menceriakan hidup apapun kondisinya, keuangan yang berapa pun jumlahnya, sambil terus menerus memperbaiki yang kurang selama ini, insyallah kalau kita bersyukur, Allah akan menambah nikmat kepada kita semuanya. Bukankah dalam Surat Ibrahim ayat 7 ini, bahagia dan kemelimpahan ini bertemu dalam 1 titik ?


EmoticonEmoticon