Hasil
Itsbat Kementerian Agama memutuskan bahwa tanggal 1 syawal 1440 jatuh pada hari
Rabu, 5 Juni 2019. Keputusan ini berkesesuaian dengan hasil Ru’yat PBNU dan
Hisab PP Muhammadiyah. Lebaran bersama sama ini tentu saja menggembirakan. Sebab
beberapa kali memang umat Islam dengan Ormas terbesar ini tidak bareng
merayakan lebaran. Tidak ada masalah memang tapi tidak nyaman.
Sengaja
saya bahas apa sih relasi iedul fitri dengan arti bahagia selama ini. Duit itu
sebenarnya hanya manifest saja. Apakah uang ini bisa memberi kebahagiaan ? bisa
iya dan bisa tidak. Tidak ada jawaban tunggal, karena setiap orang mengelola
dana berbeda-beda. Apakah uang bisa memberi kebahagiaan ? faktanya iya, dengan
memberi angpao kepada saudara bisa membuat mereka bahagia. Transfer dana kepada
orangtua pun akan membuat bahagia, memberi zakat kepada yang tidak mampu pun
akan membuat bahagia.
Namun,
diskusi menjadi semakin mendalam jika kita mulai bertanya. Mana yg lebih
dahulu, apakah uang yang akan mendatangkan kebahagiaan atau kebahagiaan yang
akan mendatangkan uang ?
Hari
ini, dengan fintech yang semakin maju, uang mengalir begitu deras ke mana mana
secara efisien, beli tiket tidak perlu antri di bank atau pun antri di stasiun,
sebab aplikasi smartphone sangat kompatibel memesan tiket. Yang lebih menarik
banyak orang Milyader baru yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya, faktor keluarga
tidak begitu signifikan berpengaruh lagi dalam membentuk kekayaan. Coba saja
kemarin kemarin siapa yang kenal Elon Musk, Jack Ma, atau pendiri Amazon; Jeff Bezos.
Kekayaan
yang berkemelimpahan memang akan membawa kebahagiaan, namun saat manusia
dibatasi oleh rasa bosan dan berujung kepada rasa hampa yang pelan pelan
menjalari batin. Jika kita suka bakso dan kemudian setiap hari makan bakso, bisa
jadi di piring ke 20 kita mulai merasa hambar. Piring ke 21 sudah habis
antusias, piring ke 30 rasa itu mulai menjalar menjadi mual.
Jika
traveling ini sangat membuat kita membuncah bahagia, bisa jadi rasa itu
bertahan untuk traveling ke 15 dan 16. Selanjutnya pun traveling menjadi hambar.
Kita bisa menanyakan itu kepada agen travel yang sudah ratusan kali mengguide
tamu mendatangi tempat tempat indah, rasa bosan itu hinggap karena rutintas
jalur, dan narasi cerita keindahan yang dibumbui sedikit informasi bombastis
itu itu saja yang diceritakan kepada setiap tamu. Its only job
Untuk
mengembalikan kembali rasa yang sedang hambar ini ke titik awal antusias, kita
cenderung menambah dosisnya, apakah varian makanan jika itu makanan, atau
menambah ekstrim tempat yang dikunjungi, atau menambah dosis minuman jika itu
drug. Tapi ini manusiawi bahwa perasaan antusias ini akan kembali membentur
rasa bosan jika terus berulang ulang dilakukan.
Rasa
bosan ini dibentuk sebagai mekanisme pertahanan diri yang efektif untuk
memungkinkan manusia untuk berkembang secara maksimal diluar kebiasaan yang
sudah dilakukan, emosi yang timbul berupa rasa bosan ini jika dilawan akan
mengarah rasa hampa yang berkelanjutan.
Namun,
mau kah kita secara sadar mengakui bahwa rasa hampa karena kemelimpahan ini sedang
merasuki batin kita ? butuh kejujuran terhadap diri sendiri, alih alih jujur
namun banyak yang menyangkal.
Ukuran Bahagia
Ada
paradok yang terjadi hari ini, di saat kompleksitas kehidupan banyak diberi
kemudahan, jejaring antar individu menjadi tanpa sekat sama sekali, namun
banyak orang yang merasa kangen dengan masa lalu, di mana smartphone ini belum
dipegang semua orang, semua begitu orisinil dengan kediriannya. Kita tentu
masih ingat di mana setiap pertemuan di mana pun begitu membekas tanpa kehadiran
makhluk mungkin yang setiap saat mengintervensi berupa dering jejaring social.
Jejaring
social dan kemudahan lainnya untuk menengok apa yang sedang ada pada orang lain
yang terus dilayani oleh jari kita, sebenarnya menjejalkan informasi orang lain
masuk ke dalam ruang pikiran kita yang berujung mengendap dalam ruang batin
kita. Alhasil, apa yang sedang terjadi ribuan kilometer dari sini kemungkinan
akan trend dalam waktu dekat di sini. Pencapaian yang diperoleh siapa pun hari
ini, akan dengan mudah diakses di mana pun. Dan sayangnya ini semua begitu
menarik dilihat dan membuat ingin seperti mereka yang kita lihat.
Alhasil
lambat laun Ada semacam paksaan yang mendesak bahwa ukuran bahagia diukur dari berkemelimpahan
pencapaian yang tampak, sehingga banyak orang memaksakan diri untuk keluar dari
kediriannya yang asli dan mulai memakai defines bahagian seperti yang disimpulkan
dari pencapaian orang lain.
Apakah
mapan secara materi ini dilarang ? owh tidak juga. Namun streotipe ukuran artifisial
yang terlihat berupa kepemilikan bendawi yang kemudian dianut banyak orang
justru mendorong siapa pun untuk menjadi tidak bahagia.
Lebih
sialnya, memang tidak semua orang menjalani kemelimpahan dengan waktu yang
bersamaan dengan orang lain, namun menginternalisasikan nilai ukuran kemelimpahan
ini sebagai ukuran kebahagiaan yang pas pada dirinya.
Beberapa
waktu lalu ada teman, sebenarnya secara finansial cukup baik, secara keluarga
sudah lengkap bersama anak, tapi ada semacam rasa rendah diri karena factor edukasi
yang tidak begitu tinggi, padahal sedikit pun saya dan teman teman tidak
berfikiran demikian. Pemikiran bahwa
ukuran berhasil itu dilihat berupa pencapaian edukasi yang tinggi ini kemudian
dipertahankan yang sebenarnya justru membuat dirinya semakin tidak bahagia
setiap bertemu dengan siapa pun yang secara edukasi tinggi.
Jujur Terhadap Rasa Bahagia
Sempat
ada cerita sarkasme yang menjadi benturan ukuran bahagia. Cerita ini dimulai
saat direktur melakukan rekreasi ke pinggir pantai untuk melepas penat. Perjalanan
ini tentu membawa ukuran kebahagiaan versi diri yang memang secara konseptual
kekinian sudah memiliki banyak hal, money freedom. Mau belanja apa pun duitnya gak
akan habis.
Dalam
Perjalanan ini kemudian dia bertemu dengan pemancing ikan yang bersahaja yang
kegiatan setiap harinya hanya memancing ikan dan dinikmati keluarganya setiap
hari. Direktur kemudian mengajari pemancing itu teknik kaya dalam waktu cepat, sebagaimana
yang biasa dia lakukan setiap hari, mulai menyisihkan uang, kemudian terus
berusaha sekuat tenaga sampai bisa beli kapal dan punya banyak karyawan.
Pemancing
kemudian bertanya “Kalau saya sudah punya kapal dan punya karyawan banyak, apa
yang akan saya lakukan selanjutnya ? ”
Direktur
menjawab dengan nada menggurui “Kamu tinggal di rumah dan bercengkrama di rumah
bersama keluarga, sementara uang mengalir dengan sendirinya”
Pemancing
bertanya balik “Jika itu yang diinginkan, bukankah saya pun sekarang setiap
hari bercengkrama di rumah bersama keluarga ?”
Sesederhana
itu kah bahagia ? iyes, semua punya kedaulatan untuk mendefinisikan rasa
bahagianya tanpa khawatir intervensi terlalu dalam dari definisi bahagia
artifisial yang dianut orang lain.
Persoalan Kesulitan
Apakah
kebahagiaan ini berarti nirmasalah ? atau malah sebaliknya, kebahagiaan ini
adalah rentetan masalah masalah yang sudah terlalui ? atau bisa jadi apakah bahagia ini bisa
bertetangga baik dengan kesulitan ?.
Throw
back sebentar perjalanan yang sudah dilalui semuanya, kelahiran manusia yang
sangat menyakitkan ibu, faktnya selesai bayi lahir membuat bahagian seisi
keluarga, namun perjalanan menyakitkan ini belum berhenti di sini, ada ayah
yang harus bekerja menghidupi keluarga, ada Ibu yang harus terganggu tidurnya
karena rengekan bayi, dan ada bayi yang harus melalui jatuh berulangkali untuk bisa
berjalan.
Dalam
dunia binatang di alam liar, bayi jerapah yang lahir terjatuh ini harus
mendapat tendangan demi tendangan dari ibunya supaya bisa berdiri tegak dan survive
menghadapi ganasnya predator.
Namun
apakah senyum bahagia itu merekah setelah bayi lahir ? dan adakah anak yang terjatuh
saat belajar berjalan kemudian kapok ? atau kemudian ada bayi yang menengok
teman seusianya apakah dia sudah jalan atau belum ?
Kebahagiaan
ini sebenarnya dibangun dari segala kesulitan kesulitan yang sedang atau telah
dilalui dan terselesaikan secara tuntas. Hal ini kemudian berlawanan dengan
makna bahagia yang kita fahami selama ini yang memaknai bahagia itu nirmasalah,
bahagia itu berkemelimpahan.
Bahkan secara ekstrim sejatinya hidup ini adalah
serententan masalah demi masalah yang harus dibereskan sampai ajal. Mereka yang
free secara finansial adalah mereka yang telah menyelesaikan kemelut
keuangannya dan kini dia sedang bergelut dengan masalah baru.
Inventor atau
penemu yang dapat Nobel Prize pun sebenarnya adalah mereka yang menuntaskan
kerumitan kerumitan penelitan yang hasilnya memberi kontribusi besar kepada
kemanusiaan, dan kini bisa jadi mereka sedang berkutat dengan pertanyaan baru
yang harus dijawab.
Tidak
nyaman terdengar memang, ini semacam ajakan untuk melupakan romantika indahnya
hidup yang penuh gelak tawa dan hedon. Memaknai kembali runtutan hidup ini dibangun
dari runtutan jadwal yang tersusun membosankan, dari tidur, bangun kerja,
ketemu orang dan tidur lagi. Yes itu saja.
Kembali
Ke pertanyaan di atas, apakah uang bisa memberi kebahagiaan atau kebahagiaan
bisa mendatangkan uang ?
Uang
sebenarnya entitas terpisah dari kebahagiaan. Bahagia itu entitas yang mandiri
baik ada uang atau tidak, rasa bahagia itu kita yang mendaulat. Apakah kemudian
dengan memiliki uang Anda bahagia atau tidak bahagia itu bagian dari pilihan
pilihan yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.
Saya
bertemu dengan salah satu pengusaha yang asetnya akan disita, tapi masih saja
bisa guyon, yang belum punya anak di usia 40 tahun bagi sebagian orang adalah
mimpi buruk, tapi mereka memilih tersenyum saja. Mungkin saja mereka sedih
dengan persoalan yang sedang dihadapi, namun mereka memilih untuk tidak
membiarkan rasa bahagia ini terlarut lenyap dalam kesulitan.
Lagi
lagi bahagia ini bisa dibuat sama sekali tidak ada relasinya dengan kesulitan
kesulitan yang dihadapi. Keduanya bisa hidup berdampingan yang justru membuat
hidup ini menjadi penuh makna.
Namun
selama Anda tidak memiliki definisi bahagia yang independen, rasa rasanya sulit
untuk mendapat kebahagiaan. Sialnya lagi, semakin anda tidak bahagia, Anda akan
semakin tidak punya uang, percaya lah.
Lebaran
Setelah
beres menuntaskan kesulitan kesulitan berupa lapar, lemas, bau mulut, kurang
tidur dan sebagainya di bulan ramadhan, maka sudah saatnya bahagia ini akan
menyapa relung batin kita bersamaan dengan lembutnya alunan takbir malam hari
raya. Dan rasa bahagia seperti ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang tidak
melalui sulitnya ditempa di bulan ramadhan.
Masih
kah kita mendefinisikan Bahagia ini secara artifisial ? semuanya kembali kepada
masing masing individu.
Terakhir
mari kita syukuri punya pasangan apa pun itu kondisinya, punya anak yang bisa
menceriakan hidup apapun kondisinya, keuangan yang berapa pun jumlahnya, sambil terus
menerus memperbaiki yang kurang selama ini, insyallah kalau kita bersyukur,
Allah akan menambah nikmat kepada kita semuanya. Bukankah dalam
Surat Ibrahim ayat 7 ini, bahagia dan kemelimpahan ini bertemu dalam 1 titik ?
EmoticonEmoticon