Cukup lama saya terdiam di malam itu, terasa sekali di kepala ini ada gagasan yang menyundul-nyundul kepala saya yang belum saya mengerti detailnya, namun kondisi ini mesti tidak boleh di diamkan, karena seperti kejadian yang dulu-dulu, gagasan yang didiamkan mesti akan berontak sebelum mati, efeknya pasti, saya tidak bisa tidur!!!
Ah, kenapa wajah teman lama saya yang menyembul dalam pikiran saya?, ya…satu persatu mereka hadir dalam pikiran saya, mereka yang pernah mendapat tempat dalam diri saya, mereka yang pernah mennjadi kawan karib saya.
Pikiran saya terus meneracau, mereka yang saat ini saya pikirkan kira-kira sedang di mana ya? Dan sedang apa? Apa mereka sudah bekerja dan berkeluarga? Terus berapa anak mereka sekarang? Pikiran saya kemudian terbang ke masa lalu, ke masa-masa di pesantren dulu, di mana beban yang saya rasakan adalah beban belajar saja, sesekali beban permusuhan kepada teman, meski itu hanya sementara, sebab bila mereka tidak punya uang, pasti mereka mencari teman yang mudah di pinjami uangnya, nah saya kebetulan tidak sulit meminjamkan uang, dan seingat saya, beban yang sangat memberatkan saya adalah sulitnya untuk pulang, demi untuk bisa tidur di kamarku yang sebenarnya tidak jauh berantakannya dari kamar saya di pesantren, namun rasa di hati terasa berbeda, demi untuk merasakan enaknya masakan mamah yang belum tergantikan rasanya oleh masakah bibi dapur. tidak ada beban ekonomi sama sekali, apa lagi himpitan hutang.
Seingat saya, persahabatan yang saya rasakan begitu special terasa ketika saya menginjak kelas 3, sekarang disebut kelas 9, saat itu saya mulai belajar memahami arti kesetiakawanan. Teman saya yang saya ingat saat itu namanya guruh satrio putro, asli orang cipatujah, pantai yang terkenal ganas di tasik Malaya. Orangnya periang, Badannya pendek, berkulit sawo matang, namun ototnya berisi, teguh sekali. Karena kulitnya sawo matang, tepatnya sangat sawo matang, maka dia dipanggil teman-temannya si brewok, meski setelah saya teliti, tidak ada satu pun bulu yang tumbuh, baik itu sebagai kumis, jambang atau brewok. Namun saat itu saya dan teman satu kelas tidak peduli, yang penting dia dipanggil brewok, dan panggilan kecilnya ewok. Namun wajahnya yang sangar itu teramat berbeda dengan hatinya yang sensitive, mudah tersinggung kalau diejek, tapi anehnya dia amat suka mengejek orang, terutaama kepada orang yang berbadan kurus atau berbadan gendut yang menurut dia mudah untuk ditindas.
Dia kawan saya dalam melanggar bahasa, baik bahasa inggris maupun bahasa arab. Sementara saya yang saat itu gandrung sekali untuk belajar dua bahasa itu terpaksa harus mengikuti keinginannya menjadi pelanggar bahasa, hanya untuk satu kata, kesetiakawanan.
Selain hobi mengejek orang, melanggar bahasa, dia juga suka sekali membicarakan perempuan, siapa lagi kalau bukan perempuan yang dia taksir, katanya orangnya cantik, berkulit putih dan berambut panjang. saat itu definisi cantik itu belum saya mengerti, jadi, saat itu saya hanya banyak mendengar dengan penuh ketidakmengertian, ya atas nama kesetiakawanan saya dipaksa untuk menjadi pendengar ocehannya tentang pacarnya yang cantik itu, yang saya sendiri belum pernah melihatnya dan belum saya yakini benar, apakah perempuan cantik yang katanya pacarnya itu juga menyukai dia juga,… ah bodoh benar saya ini, kenapa keterampilan untuk bertanya (tepatnya mempertanyakan) itu saya kuasai sekarang-sekarang ini, bukan di saat di brewok itu mengoceh.
Gara-gara dia juga saya mulai berani kabur dari pesantren yang terkenal ketat itu. Harap tahu saja hukuman orang yang keluar pesantren tanpa izin baik itu untuk pulang ataupun untuk belanja, semuanya dikategorikan kabur dan hukumannya amat memalukan, yaitu dipajang di lapangan dan digundul di muka umum, dan komnas HAM saat itu belum ada, jadi ustadz secara semena-mena bertindak kepada mereka yang dikategorikan santri kabur seperti kepada tawanan perang yang kepergok saat mau melarikan diri.
Tentu bukan guruh kalau gak lihai, dia yang meprovok saya untuk kabur, setelah saya terprovok dia kemudian mengatur rencana dan saya yang menghaluskan rencana itu. Biasanya saya dan guruh kabur hari kamis sore, karena hari jumat libur maka saya teruskan sampai hari sabtu. Pokoknya hari sabtu jam 6 harus ada di pesantren. Sementara itu Mamah tidak pernah terlalu mempermasalahkan kaburnya saya, sebab dalam pikirannya, kabur dari pesantren bukanlah pelanggaran separah orang yang tidak beribadah kepada gusti Allah. Mungkin Bapak yang sedikit mempermasalahkan kaburnya saya sama si guruh dari pesantren, namun karena energinya banyak terkuras di kantor, akhirnya niat untuk memarahi saya tidak urung juga terlaksana, selama shalat saya tertib, selama saya tidak meminta uang di luar anggaran yang ditetapkan Bapak setiap bulannya, bapak tidak akan marah besar.
Pernah suatu saat saya sama si guruh pulang kabur dan kembali ke pesantren, saya sama si guruh hampir kepergok ustadz, hehehe karena desain kabur kita sudah detail, sesuai renacna kalau ketemu ustaz, kita harus pura-pura lari pagi, makanya dari sebelum kabur ke rumah, kita sudah pasti pake sepatu olahraga lengkap dengan trainingnya. Yaps, ustadz saat itu hanya menyapa.
Min aina antuma (dari mana kalian berdua)?
Dengan sigap kita jawab, “riyadhah(olahraga)”
Alasan olahraga pagi saat sangat dimengerti sekali oleh ustadz karena dia tahu kalau si guruh itu juga ikut tapak suci dan saya ikut thipan pokhan, jadi olahraga pagi bagi saya dan guruh bukanlah hal yang aneh yang patut dicurigainya.
Rencana apik ini terbukti sukses lebih dari 3 kali kabur, rekor pelanggaran yang kalau ketahuan, pastinya saya dan guruh akan diusir dari pesantren. Dari sini saya dapat pelajaran hidup; buatlah rencana secara terperinci, perkirakan hal terburuk yang akan terjadi, lalu lihat apa yang akan terjadi!!!.
Memasuki kelas 10, kami berpisah, dia sekolah di kota Tasikmalaya,.mungkin karena dia merasa sekali kalau pelajaran bahasa arab dan inggris yang biasa diigunakan dalam proses belajar mengajar dipesantren itu tidak dikuasai, dan saya sendiri meneruskan di pesantren sampai kelas 12.
Meski demikian hubungan kita tetap baik, meski tidak seakrab dulu, ya sesekali saya mengunjungi kosnya dan dia juga sesekali main ke pesantren, hanya untuk melepas kangen kepada kawan lamanya di pesantren.
Di sekitar tahun 2001 dia menelpon saya dan berniat untuk meminjam uang, namun sayang sekali saat itu saya tidak punya uang sama sekali, itulah pertemuan terakhir saya dengan kawan lama saya guruh, itu pun hanya lewat telpon, ya… pertemuan yang menyisakan sesal dalam diri saya, kenapa saya tidak total membantunya?
Kini saya tidak tahu dimana ia berada? Apakah yahoo dan google bisa melacaknya? Semoga aja, saya sih berharap dia mengerti teknologi dan ikut jejaring social facebook. Supaya kepingan masa lalu itu bisa bersambung kembali dan saya bisa mampir ke rumahnya di cipatujah untuk makan ikan laut bakar, nanti di saat, saya sekeluarga pulkam.
siapa tahu dia membaca tulisan ini bang...
BalasHapusamin......
BalasHapus