Oleh peteryg - 18 Maret 2009
Dunia hari ini adalah dunia citra. Dunia simulacrum yg bertujuan mengontruksi ulang kenyataan dan esensi hidup. Keaslian menjadi langka. Kemasan lebih penting daripada isi. Berpakaian tidak lagi sekedar sekedar menutup ketelanjangan dan aurat, melainkan utk bergaya, bahkan tidak masalah bila memperlihatkan sedikit lekuk tubuh atau bahkan, bila perlu semi-telanjang. Media tayang seperti televisi dan internet juga menjadi ruang baru utk menampilkan citra diri dan eksistensi. Promosi menjadi hakekat dan penting utk ditayangkan, meskipun dgn wajah buruk rupa, serta berpenampilan layaknya Superman utk menarik simpati suara masyarakat. Program instant jauh lebih penting daripada pemberdayaan masyarakat dengan rentang waktu yg lama serta bekorban tenaga juga pikiran. Orangpun diperhamba dan diperbudak dgn kerakusan daya beli uang. Rakyat miskinpun dijejali teologi pengharapan ttg sosok pahlawan dini hari yg membagi sembako dan uang Rp.10.000,- utk jatah transportasi kampanye atau jadi pendukung partai karbitan. Tiba-tiba semua orang merasa mampu menjadi wakil suara pengharapan semua orang. Kita memperbudak pikiran orang agar ia terus bodoh, semakin tolol, dan tidak pernah berpikir bhw kebenaran itu ada dan benar-benar memerdekakan pikiran orang ! Para pelayan masyarakat yg tidak dikenal oleh masyarakatnya ini, kemudian tiba-tiba datang memaksa kita utk memilih.
Eksistensi menekankan keberadaan bukan keapaan sesuatu. Ada lebih penting dari makna. Eksis lebih mujarab daripada esensi (Bagus, 2002) Oleh sebab itu menjadi ada perlu dilakukan sedemikian rupa agar kita eksis, up to date, dan tidak ketinggalan jaman. Bila perlu bayar media utk memaksa tampilnya kehadiran kita di permukaan layar. Berbuat amalpun harus diliput sehingga harga diri terangkat naik, jasa terlihat agar kita tercitra sbgi orang berbudiluhur, welas asih, dan panjang sabar. Kebenaran ttg tangan kanan memberi dan tangan kiri jangan tahu, adalah cerita lama dan usang yg melawan ideologi eksistensi diri. Kesombongan terselubung ini dibungkus dgn pakaian kepahlawanan gaya baru utk menjadikan kita tampil bak seorang pendeta. Oleh sebab itu gaya pencitraan ala Syech Puji jauh lebih mudah dicerna daripada gaya tutur dan pencitraan berpikir analitis ala pengamat politik yg menjemukan. Oleh sebab itu bila ruang sebagai konsep keberadaan abstrak yg terwakili dgn keberadaan tempat sbgi wujudnya, maka hadirnya gelombang situs web 2.0 seperti Blogspot, Friendster, hingga Facebook menjadi antitesis kemapanan media ruang eksistensi lainnya yg sulit utk diterobos, guna menampilkan eksistensi diri yg salah arah. Sayangnya kehadiran media lebih dimaknai sbgi altar ritual hura-hura daripada digunakan utk media penyampai pesan. Esensi tdk lagi penting, yg utama ialah eksistensi rupa yg tanpa jejak dan pemaknaan. Musim kampanye saat ini bagi caleg bagai tempat subur eksistensi diri seperti halnya kita dgn Facebook. Guna menanam kebutuhan eksistensi diri yg kebablasan, terutama buat pemilih yg tidak punya pilihan selain golput !
Para calon wakil karbitan ini tiba-tiba muncul dan tidak merasa malu utk mewakili suara kebanyakan orang yg sudah lelah oleh kebobrokan moral dan akal. Rakyat kecil memang tidak bodoh, mereka hanya sudah tidak peduli. Karena tidak bodoh, maka mereka hari-hari ini juga sangat senang dibandingkan hari biasanya. Musim kampanye akan memberikan sedikit tambahan jaminan hidup “sepuluhribuan” dan sembako kampanye musiman yg dibagikan caleg karbitan yg butuh eksistensi diri. Ibarat air dan ikan, musim kampanye saat ini bagaikan air bagi caleg agar dapat eksis. Mereka butuh tampil sejenak jadi pahlawan kesiangan, meski tidak pernah terlihat rekam jejaknya, dan tiba-tiba merasa mewakili kepentingan saya, Anda, dan masyarakat pinggiran yg sdh tdk peduli lagi.
Mungkin buat sebagian orang golput adalah alternatif jitu utk melawan, tapi buat mereka yg terpinggirkan eksistensi diri mereka ditentukan dari apa yg dimakan hari ini agar bisa tetap bertahan ada dan hidup di hari ini. Sementara yg karbitan perlu ruang utk menggemakan keberadaan, kehadirannya, dan syukur-syukur berhasil mewakili suara kita di parlemen. Inilah kenyataannya : ” Saya butuh suara Anda, saya harap Anda memberikannya utk saya. Sembako dan “tip-tip-an” terima kasih sdh diamplop dan Anda terima. Tidak perlu banyak pikir, yg diperlukan hanya contrengan Anda saja !”. Utk melihat pohon durian menghasilkan buahnya jgn harap dalam tempo cepat. Sementara utk melihat toge tumbuh, cukup dalam tempo hitungan hari atau minggu. Utk menjadi caleg yg mapan dan matang jgn harap butuh waktu cepat. Sementara utk jadi caleg karbitan tinggal siapkan sepuluhribuan atau klik kanan masuk account Facebook seperti saya, kan yg penting bisa tetap eksis !
Saran saya :
Lebih baik tetap memilih. Paling tidak pilih tetangga Anda, yg Anda kenal dan yg kebetulan jadi caleg, daripada tidak pilih alias golput. Daripada yg menang pemilihan adalah monster galak ala Hitler, kan’ lebih baik Anda pilih “siapa” laah ! Atau pilih saya saja, sbb saya guyon dan lucu, hny sayang saya tidak mewakili diri jadi caleg manapun dan saya termasuk bagian yg karbitan plus butuh eksistensi diri juga ! Tetap eksis juga utk Anda yaa ! He he he he he !
Salam eksis !
http://public.kompasiana.com/2009/03/18/caleg-karbitan/
Notes :
1. Bagus, Lorens, 2002. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Ads 970x90
Rabu, 18 Maret 2009
Caleg Karbitan !
Related Posts
- Alhamdulillah akhirnya saya bisa menulis kembali di blog, setelah disibukkan oleh kegiata
- v\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:* {behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:ur
- Atas instruksi dari Ketua KPU Kab Blitar, penghitungan suara Kecamatan Garum dilaksanakan
- Mungkin sudah menjadi garis kehidupan siapa pun, kalau timbul tenggelamnya sebuah bangsa
- Kita semua pernah berhubungan dengan evaluasi, apakah itu posisi kita sebagai evaluator
- Lama sekali saya berfikir, kenapa diantara manusia ada yang memutuskan untuk menjadi seor
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon