Terkadang kita sering memaklumi sebuah konflik sebagai sebuah hal yang lumrah? Apalagi hal ini diperkuat oleh statemen beberapa tokoh masyarakat dan tokoh nasional yang mengatakan bahwa adanya konflik menandakan bahwa iklim demokratisasi dalam organisasi tersebut berjalan, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa adanya konflik berarti organisasi tersebut sedang mengalami proses pendewasaan.
Apakah pernyataan itu betul? Dalam beberapa segi saya sepakat, apalagi saat ini hasil penelitian ilmu manajemen organisasi menyatakan bahwa konflik organisasi adalah hal yang tidak mungkin kita hindari, oleh sebab itu kita tidak boleh menghindari konflik, strategi yang membahas itu dinamakan sebagai manajemen konflik, ini artinya bahwa konflik tidak boleh direpresh namun diatur. Begitulah mudahnya. Artinya kalau tidak bisa mengatur konflik maka konflik itu justru akan berputar balik menikam kita, itu mungkin penjelasan lebih jauhnya.
Terlepas dari pernyataan diatas, saya memandang bila dalam organisasi tersebut ada konflik, berarti memang di dalam organisasi tersebut ada masalah, apakah masalah itu dalam skala besar, skala menengah atau skala kecil. Masalah-masalah tersebut biasanya berawal dari beberapa hal seperti :
Kepemimpinan yang Lemah
Kepemimpinan yang lemah sangat riskan sekali untuk memunculkan masalah, sebab saya ibaratkan kepemimpinan ini adalah genggaman, semakin kuat kepemimpinan seseorang, maka semakin kuat juga genggamannya dalam memegang organisasi, sebaliknya juga semakin lemah kepemimpinan seseorang, biasanya semakin lemah juga daya cengkramnya dalam organisasi. Kepemimpinan lemah ini biasanya muncul dari lemahnya kapasitas dalam membangun visi organisasi dan merealisasikannya, serta ketidakketegasannya untuk bertindak.
Bila kapasitas pemimpin ini lemah, maka akan banyak orang yang tergoda untuk berfikir “kenapa bukan saya saja yang memimpin? toh kalau diukur dari track record dan kapasitas, kok kayaknya saya lebih mampu dari dia” ini hal biasa muncul dalam setiap orang di saat melihat pemimpinnya terlihat kurang perkasa. Anda mungkin bisa melihat dari sejarah bahwa kudeta kekuasaan salah satunya muncul karena kepemimpinan yang lemah.
Sementara itu pemimpin yang tidak tegas justru membangun kejengkelan dari anggotanya yang melihat pemimpinnya seperti tidak punya prinsip dan lagi-lagi terus berputar-putar dalam arus diskusi, nah di saat pemimpin terlihat tidak tegas itu sama saja membuat banyak orang berfikir untuk mencari orang alternatif -selain pemimpin sekarang-, yang bisa bersikap tegas dan berani. Itu tabiat manusia, suka dipimpin oleh orang tegas dan cerdas.
Entah anda sepakat atau tidak, pemimpin memang selain dilahirkan juga dibentuk. Nah pemimpin yang terlahir dan sudah terbentuk biasanya mudah sekali terlihat dari mimik wajah dan dari gesturenya. Hehe, mereka biasanya tampil energik, tegas, berwawasan dan berpikir jauh ke depan
Finansial
“Semua orang akan terlihat bermata hijau bila melihat duit” itu pada dasarnya, kecuali beberapa orang yang mengalami shifting paradigm dan titik balik yang membuat pilihan yang tepat mengenai uang, dan organisasi tidak bisa memaksa semua orang untuk memaklumi bahwa atas nama perjuangan kemudian mereka rela digaji kecil. Namun setahu saya bahwa sumber persoalan yang ada pada finansial justru tidak terletak pada besar dan kecilnya namun pada transparansinya. Maksudnya semua orang bisa mengerti kenapa saya mendapat uang sebesar ini dan sekecil ini. Jika orang kemudian bertanya-tanya “kenapa saya dapat gaji segini?” dan manajemen tidak punya seperangkat manajemen gaji yang jelas dan benar untuk menjawabnya tentu saja pertanyaan ini selalu menggelayuti si penanya, dan pada akhirnya, sebuah hipotesa yang wajar muncul mendentang dalam pikirannya, “ngapain capek-capek membuat inovasi kerja kalau toh juga yang didapat sama aja”. Nah kalau pikiran ini sudah keluar, sementara itu manajemen pura-pura sibuk sehingga tidak sempat mengurusi itu, saya kira sebentar lagi konflik agresif pasif akan hadir. Sekedar informasi, orang yang agresif pasif sebenarnya orangnya agresif tapi dilancarkan dengan cara yang pasif, seperti mengundurkan diri, malas bekerja, dll. Dan lagi-lagi atasan mesti ngomong, “si anu banyak perhitungan ya?, gaji-gaji aja kok ditanya-tanya, di sini ladang untuk beramal mas, kalau mau kerja,
Bagaimana dengan organisasi non profit? Saya kira tetap saja finansial akan menjadi sumber konflik. sebab tidak ada duit juga membuat orang akan berfikir ngapain saya banyak memberi di sini, toh juga saya gak dapat apa-apa, sementara itu kalau ada finansial juga akan memberi masalah di saat ada orang yang merasa bahwa pembagian jatahnya tidak adil. Hal ini biasa terjadi pada organisasi yang menuntut banyak fikiran dan waktu, sementara bagaimana dengan organisasi yang tidak menyedot banyak perhatian dan waktu seperti organisasi takmir masjid, konflik seperti ini biasanya jarang sekali terjadi sebab jarang sekali orang merasa banyak memberi pada organisasi ini, mereka biasanya bekerja bareng-bareng, dan dilakukan di sisa waktu mereka. Kalau pun organisasi takmir mesjid itu kemudian bermetamorfosa menjadi lebih profesional, menntut karyawannya untuk profesional bekerja yang menyedot banyak waktu dan perhatian, maka manusia akan kembali masuk ke dalam persoalan dasarya, yaitu mereka minta diprofesionalkan juga jatahnya.
Perlakuan
Pada beberapa orang, yang kebutuhan dasarnya sudah tidak lagi menyita banyak pikirannya, perlakuan orang lain dan atasan kepadanya menjadi unsur yang penting, beberapa orang mungkin keluar dari organisasi atau institusi karena merasa diperlakukan dengan tidak baik oleh atasanya. Cara orang tersebut bagi saya baik, sebab adakalanya orang yang merasa tidak diperlakukan dengan baik itu justru tetap kerja di institusi tersebut atau tetap bergerak di organisasi tersebut, nah di dalam kemudian dia melakukan pembusukan dengan cara ngerasani, ngerecoki atau apa pun kerjaan yang membuat kepercayaan orang lain kepada pemimpin menjadi berkurang dan mempertanyakan kemampuan manajerial pemimpinnya. Kalau sudah begitu orang-orang pun akan malas untuk memberikan kerja-kerja terbaiknya. Hehe kalau seandainya saya menjadi pemimpin tentu saja saya akan evaluasi diri, jangan-jangan orang yang merasa tidak diperlakukan dengan baik itu karena saya, kalau saya sudah saya berubah dan sistem manajemen juga sudah saya benahi, sementara dia tetap merecoki, tentu saja saya akan tegas, atas nama AD/ART, peraturan institusi, SOP, maka saya nyatakan orang itu telah melakukan pelanggaran yang membuat dia harus dipecat. Jika dia minta ampun kepada saya dan berjanji untuk tidak mengulangi maka saya ampuni, bila ternyata terulangi lagi. Maka akan saya pecat… hehehe.
What Must We Do?
Di saat konflik organisasi itu terjadi, sebaiknya langkah pertama yang harus dilakukan adalah evaluasi diri dan langkah kedua adalah berbenah, mungkin saja kekeliruan ada di tangan manajemen atau pimpinan. Sebab prinsip normatif dari konflik itu adalah adanya persoalan yang belum terselesaikan dalam institusi tersebut. Yang harus dibenahi adalah AD/ART terutama yang menyangkut dengan orang banyak misalnya aturan keanggotaan atau aturan kepegawaian, sistem kaderisasi atau sistem penjenjangan karir, dan aturan keuangan. Itu aja dulu dibenahi dan jangan lupa, jaga diri untuk tidak banyak berstatemen, bersabarlah sampai sistem itu kuat dan adil. Selanjutnya bila itu selesai, ikuti aturan itu dan jadilah rule model yang taat aturan, karena aturan itu bisa dijadikan senjata juga untuk membungkam orang yang keterlaluan nakalnya dan bisa dijadikan alasan untuk mempromosikan orang yang memang layak untuk itu.
Jangan sungkan untuk belajar manajemen, sebab kenyataannya kemunduran organisasi diawali oleh keterbatasan pemimpin dan manajemen dalam mengelola intitusi tersebut, sementara itu setahu saya pertolongan Allah akan turun di saat manusia berada diujung kekuatannya untuk belajar dan bereksperimen untuk berbuat terbaik, sementara itu bagaimana kalau kita tidak belajar dan tidak berazam untuk berbuat yang terbaik? Tentu saja anda tahu jawabannya.
EmoticonEmoticon