Organisasi tidak jauh dari tabiat manusia, bisa sakit bisa sehat, bisa berumur pendek atau pun panjang, tergantung organ yang ada di dalamnya serta gaya hidup tentunya. Semakin baik kesehatannya maka harapan hidup organisasi tersebut semakin baik dan panjang, atau minimal kematian mendadak yang naas itu bisa dihindarkan, walau semua tahu bahwa ajal itu hanya milik yang Maha Kuasa.
Banyak sekali organisasi di Indonesia, beberapa di antaranya bertahan hanya dalam hitungan beberapa tahun, seperti partai politik yang menjadi juru sorak itu, ada juga yang hidup sebentar kemudian mati, pendirinya pun bersyukur karena tidak banyak biaya yang dia keluarkan, bahkan beberapa lagi, harus mati sebelum berdiri, ya organisasi itu hanya hidup dalam bayangan para organisatoris, yang hobi bernegosiasi dengan pegawai akta notaries, berdebat mencari harga yang pas untuk melegalkan organisasi yang baru saja dia dirikan itu.
Namun tidak semuanya begitu, Beberapa organisasi hidup di Indonesia ternyata mampu berusia panjang, Muhammadiyah misalnya hingga saat ini mampu eksis mengisi setiap langkah bangsa ini, sejak jauh sbelum proklamasi ini dibacakan, tepatnya pada tahun 1912, beberapa tahun kemudian disusul NU dan yang lainnya.
Aturan bahwa organisasi harus sehat jika ingin berusia panjang tampaknya perlu direnungkan kembali. Aturan ini tidak hanya berlaku untuk organisasi politik, organisasi laba, juga organisasi nirlaba yang banyak berupa yayasan yang membidangi pendidikan dan anak yatim. Semuanya dipaksa secara otoriter untuk mengikuti aturan itu jika ingin bertahan, jika tidak, sejarah secara gesit memberi warta tentang kejatuhan organisasi-organisasi yang akan hinggap dan menyatu dengan nasibnya.
Memang tidak baik jika berharap bahwa organisasi itu berjalan menuju kuburannya sendirian dalam waktu yang tidak lama, namun tidak bijak juga jika tidak belajar mengerti betapa waktu selalu memberi kita kesempatan untuk belajar, tanpa sedikit pun memberi tahu kita cara untuk memahaminya, namun itulah caranya waktu mengajari kita untuk mengerti, kepada siapa pun waktu tidak pernah berbicara, dia menerangkan dengan caranya sendiri.
Sudah sejak lama sekali saya mereka-reka dan mencoba untuk mengerti kenapa organisasi itu hidupnya banyak kemiripan dengan gelombang, sesekali di atas dan sesekali dibawah, ada juga yang maju, ada juga yang digilir untuk mundur, tak jarang juga yang mundur itu berkesempatan untuk maju kembali, bahkan ada juga yang dibawah terus, tidak terlihat namun progresif.
Tempat saya mencari ilmu, tepatnya saat saya memasuki periode akil balig sampai remaja, adalah salah satu sekolah- yang dapat membuat orangtua siapa pun menyesal jika anaknya gagal melewati tes saringan murid baru- yang memiliki daya gebrak yang tinggi di jawa kulon, hanya dalam waktu beberapa tahun saja, lomba pidato bahasa arab dan inggris selalu ada dalam genggaman, lebih dari itu sekolah saya pun berhasil memperoleh NEM tertinggi se provinsi, dan lain sebagainya, namun perlahan daya unggul itu mulai mendapat saingan, mereka yang terkapar kalah terpaksa harus belajar kembali dan nyatanya mereka bisa bangkit, sementara itu kami terlalu terkejut dengan kemajuan yang berlangsung sangat cepat itu, alhasil kamipun selalu dan menjadi selalu kagum dengan prestasi yang dahulu pernah dibuat, perlahan, hanya dalam beberapa tahun pula, kita menjadi begitu bahagia meski hanya bisa berkoar di tingkat kabupaten saja. KEPUASAN DAPAT MENGHANCURKAN MENTAL PARA PEMENANG
Cerita kedua tidak kalah tragis, organisasi ini sama seperti organisasi pertama, ia pernah mencicipi nikmatnya pemandangan dari puncak ombak, perlahan namun pasti, kelelahan untuk berprestasi itu hinggap dalam jiwa pengelolanya, kini rupanya organisasi itu mulai merasa cepat capai untuk berbicara prestasi, sebab mengelola konflik di dalam rupanya telah menguras energy yang tidak sedikit.
Kini saya harus menyaksikan cerita ketiga dengan narasi yang tidak berbeda dengan cerita pertama dan kedua, namun berlokasi berada jauh di timur sana, tempat di mana yang ” baik” selalu menjadi pegangan dari pada yang “benar”.
Di Organisasi ini punya tradisi kemenangan yang tidak sedikit pula, setidaknya dapat dilihat dari banyaknya photo terpajang, ada juara tingkat provinsi berikut pialanya, juara tingkat kabupaten berikut pialanya, sementara itu untuk juara tingkat kecamatan dengan sengaja tidak saya sempatkan mata saya untuk menatap, sebab mungkin hanya dengan sekali tatapan saja, piala kecamatan itu sudah berada dalam genggaman, sementara anak didik dari instansi lain harus ikhlas mendapat kesempatan untuk memandangi piala saja, tanpa sempat mencicipinya, tentu saja gurunya akan bilang; “sabar nak, yang penting kita sudah berjuang”
Dari semua pencapaian itu selalu membuat mata saya berbinar dan bangga terutama saat saya menjadi pemula di sana. Bertambah binar pula saat pemimpinnya selalu menyempatkan datang untuk menjenguk saya hanya sekedar berbincang-bincang tentang visinya yang besar untuk sekolahnya itu, saya tidak banyak ada kesempatan untuk menimpalinya, meski hanya sekedar berkicau. Saya pun memang membiarkan diri dalam kondisi seperti itu, sambil menganggung-anggukkan kepala tanda sepakat, meski saya tidak selalu mengerti maksudnya sang obsesif ini.
Di tengah perjalanan organisasi itu, ternyata Aturan lainnya tentang organisasi mulai berbicara, BAHWA SETIAP ORGANISASI MENYIMPAN RUANG PADAT DAN RUANG KOSONG, setiap kekuatan ada kelemahan. Sudah tabiat manusia untuk selalu sabar untuk merawat kekuatan, namun untuk menyelesaikan kelemahan, rupanya membutuhkan tenaga yang lebih prima supaya tuntas. Hal ini yang mungkin menjadi titik balik dari segala prestasi yang telah dituangkan selama bertahun-tahun, tenaga prima itu tidak tersiapkan dengan baik, perhatiannya masih terpusat untuk senyuman bangga akan kemenangan demi kemenangan tiap tahun datang, yang tanpa disadari kalo lemari untuk menampung piala itu sudah mulai tidak muat, itu artinya, kalau lemarin baru tidak disiapkan, maka jika bukan piala lama yang harus dikeluarkan, berarti piala baru tidak mendapat tempat. PIALA BARU ITU SUDAH MULAI TIDAK BANYAK BERDATANGAN.
Seiring dengan itu semua, Perlahan namun pasti, hingar bingar para pengumpat mulai memperlihatkan tabiat aselinya, seperti menolak amanah, apa pun yang berbau nama “priya” selalu menjadi bualan-bualan yang tidak ada ujungnya, dia benci setengah mati, sebenci dia pada buah dukuh. Persoalan para tetangganya dengan si priya dan kawan sejenisnya mulai dia koleksi dan diinternalisasikan dalam dirinya tanpa sedikit pun dia saring.
Beberapa pengumpat memilih untuk keluar setelah sadar dia perlu dunia yang lebih besar untuk mengerti makna hidup. Sementara itu, para pengumpat yang bermental inlanders’ tetap seperti sedia kalanya, datang tepat waktu, kemudian mengajar, jika waktu istirahat datang, mereka kembali berkumpul dengan komunitasnya untuk mengumpat tanpa sedikitpun tersisa keberanian untuk terus terang meski hanya untuk bergonggong.
Bisa jadi kata “pecat” telah membuatnya gamang. Gamang adalah kata untuk menggambarkan kebingungan diantara dua sikap. Ya sikap tidak menikmati pola organisasi instansinya, namun tidak mau pula kehilangan penghasilannya yang tidak sampai setengah juta itu. Ya begitulah keseharian mereka, tanpa ada kemajuan atau pun kemunduran. Setidaknya kebenaran itu masih berlaku sampai beberapa hari yang lalu saat saya berkunjung mampir ke tempat kerjanya dan kebetulan ketemu dengan dua pengumpat itu.
Sesaat saya datang, suara sumbang itu kembali dihembuskan tepat di depan wajah saya, bahkan menyalahkan keputusan saya untuk keluar, rupa-rupanya mereka baru saja kehilangan corong yang selama ini menutupi kekurangan mereka; KEBERANIAN. komunitas pengumpat pun terbentuk kembali, dan selalu begitu setiap saya bertemu, hingga saya pamit, komunitas pengumpat itu pun bubar sampai mereka bertemu dengan kembali kawan-kawan yang sehobi; mengumpat apa pun yang berbau priya dan buah dukuh.
KEKALUTAN
Para pemimpinnya pun bukan berarti tidak mengerti, beberapa orang secara ikhlas mensuplai informasi tentang tabiat para inlanders secara konsisten. Namun kegiatan suplai menyuplai informasi itu secara perlahan berhenti, setelah dia menyadari bahwa tidak ada niat untuk berubah dari manusia yang dia suplai informasi itu.
Para muchlisin ini mulai mengambil sikap yang berbeda, secara bertahap tentunya, diam-diam mulai mempertanyakan kapabelitas orang yang dia suplai itu, kegaduhan pun mulai menjalar, sekarang tidak lagi terkonsentrasi pada para pengumpat, namun menjalar perlahan merasuki urat nadi para pekerja pengetahuan lainnya, diantara mereka ada yang mulai radang, sebab tidak tahan ocehan anaknya yang ibunya selalu pulang hampir magrib. Namun moralnya selalu menyuruhnya untuk diam. Yang lainnya memilih untuk menjadi pekerja yang berani mengkritisi apa pun yang tidak sesuai jalan pikirannya, tak jarang hal ini membuat merah telinga pemimpinnya, namun merah itu hanya sesaat, ya kalah oleh kebingungan untuk mencari jalan keluar, yang lainnya memilih untuk mencari moment peruntungan menjadi PNS, dan lain-lain, terlalu banyak motif yang ada dalam alam manusia.
Instansi itu kini mulai beranjak dari komunitas penuh prestasi menjadi komunitas yang beraura kekalutan, beberapa diantara mereka ada yang mulai mempertanyakan masa depannya yang belum bisa mereka cium kecuali janji semata. Tentu kecuali mereka yang tidak mengerti hiruk pikuk dunianya, dapat secara konsisten menjaga kebanggaannya itu, di sinilah saya mulai mengerti letak UNTUNGNYA TIDAK BANYAK MENGERTI dan RUGINYA TERLALU BANYAK TAHU.
Oleh karena itu, mereka yang sudah lama tinggal di sana, keluar dengan suka rela, dan begitu seterusnya, mereka yang baru, akan bekerja penuh semangat, namun lambat laun kekurangan mereka pun terkuak saat mereka bekerja, dan mereka pun menjadi tidak baru lagi, itu artinya mereka sudah mulai mengerti apa yang dia lihat dan bisa menilai apa saja yang dia alami, dia pun akan mengambil sikap yang sama dengan pendahulunya, keluar dengan suka rela, dan seterusnya. Rupanya menutup telinga dan mata, serta menghentikan proses otak untuk berfikir supaya menjadi tidak banyak tahu, akan menjadi strategi legendaries untuk bertahan dalam dunia kerja yang melelahkan itu.
Sementara itu, sang pemimpin lagi-lagi tidak tampak berkutik, para pengumpat pun dibiarkan berkeliaran di halaman rumahnya, tanpa ada niat untuk menegurnya, ya teguran macan yang akan membuat para pasukan cecunguk itu lari tunggang langgang. Tapi sayang, ego itu sudah lama mati, mati karena bingung juga bagaimana melangkah. Sebab cara ini dia nikmati benar, dengan cara ini pula dia dapat power.
Udara pagi ini terasa dingin benar, namun kabut tidak juga mau hilang, meski mentari telah menunjukkan wujudnya. Pagi ini, dua leaders periode yang sudah sudah telah keluar dengan penuh pertimbangan, siapa pun akan mengerti jika keputusan ini tidak mungkin menyisakan suka cita, selalu ada nyanyian yang membuat miris hati. Dengan kunjungan saya ke rumahnya, ternyata keputusan ini telah membuka mata hatinya, bahwa dunia ini seluas cakrawalanya. Beragam ide hadir dalam benaknya untuk bertahan dalam dunia yang telah memberi mereka pelajaran dengan caranya. Pertemuan terakhir, wajah mereka terlihat lebih segar dan lebih sehat daripada sebelumnya. Dengan cerahnya itu saya bersyukur.
Sementara itu, di tempat lama kabut belum juga mau beranjak menghilang. Hangatnya mentari belum mampu membuatnya pergi di tengah deru para pekerja bangunan yang penuh semangat bekerja. entah sampai kapan.
EmoticonEmoticon