Kamis, 03 Desember 2009

Kawan


Hari ahad kemarin saya diundang ke walimahan teman saya Aziz, alhamdulillah menikah juga dengan teman saya satu Almamater di Malang. saya mengiyakan untuk hadir, karena kedua mempelai itu teman saya dan saya juga tidak ada agenda lain, banyak hal yang saya dapati di sana, saya ketemu dengan teman lama saya, teman seperjuangan teman binaan, teman nongkrong dan yang lain sebagainya.wah ini jadi ajang reunion ni saya membatin.

Kebanyakan dari teman saya tidak banyak yang berubah, mereka tetap ramah dan hangat, friendly dan kebanyakan mereka punya nasib yang sama, hehe baru menjadi ayah. Diantara mereka ada yang memutuskan untuk menjadi pebisnis, ada juga yang menjadi staff ahli dewan, ada yang menjadi guru, pedagang bakso, aktivis LSM, menangani proyek peternakan bahkan ada juga yang jungkir balik mencari akses/ suaka politik ke salah satu pentolan di partai tertentu hehe (sebentar lagi kab Malang pilkada boz).

Nauansa kebahagiaan ini sulit saya cari sebab selain masing-masing dari kita sibuk, juga momentum pertemuannya juga agak sulit ditemukan, hal inilah yang kemudian saya sekuat mungkin untuk hadir di walimahan teman saya ini.

Namun saya akui di samping beragam kebahagiaan ternyata terselip sedikit rasa sedih juga ni atas beberapa perubahan yang terjadi pada teman saya ini. bukan pada perubahan apa-apa, namun pada perubahan mentalitas. mentalitas petarung yang handap asor. Sekilas memang tidak ada persoalan yang berarti, namun bagi saya perubahan ini cukup membuat saya merenungi dalam-dalam, ada satu pertanyaan yang terus meneracau dalam jiwa saya selama perjalanan pulang, apa yang membuatnya begini?

Terus terang saya suka bila pertemuan yang saya jalani ini, terutama pertemuan reuni adalah pertemuan yang membangun semangat yang menyentuh hati, nah sementara ini saya kali ini bertemu dengan salah satu kawan yang ternyata begitu yakinnya mengatakan kepada saya bahwa dia memiliki relasi dengan anu dan anu, pencapaian prestasi politik ini dan itu. Selain itu dia pun menanyakan kepada saya terkait dengan rencana pengembangan karir organisasi, dan saya pun menjawab

“kalau saya diminta dan saya mampu insyaallah saya akan terima amanah itu”

Yang agak mengejutkan ternyata dia kemudian menimpali

“mang dengan orang ini prospektif akh?”

Saya pun kemudian menjawab

“dimana pun selama itu bisa memberi kemaslahatan, saya bersedia” itu jawaban saya. Titik, setelah itu saya tidak mendapati dialog yang segar dan membangun setelah itu.

Saya kemudian berfikir apakah segala kesuksesan itu harus dibangun dari percepatan karir dan finansial, jadi semua kemudian diukur indikator keberhasilannya dari seberapa kuat lompatan karir (khususnya politik). Hatta pada gerak ruang sosial organisasi yang seharusnya dibangun atas dasar kesadaran pengabdian selalu dimasukkan ruang seberapa cepat dengan amanah ini lompatan karir (politik, yang imbasnya ke finansial) saya akan melesat.

Saya mencoba memahami kejadian ini dan kebetulan saya sempat mengalami rasa itu, dan secara subjektif (mungkin hanya saya yang mengalaminya) saya sering merasa hampa, sebab pada kenyataannya memang tidak semua dunia itu hanya melulu politik dan tidak semua gerak nyata ini ditakar untung dan ruginya.

Di akhir dialog saya sempat menyampaikan pendapat saya

“akh kalau semua amanah ini dilihat pada prospektif karir ke depan, maka hidup ini akan kering, sebab pada kenyataannya rizqi itu semuanya di tangan Allah, sementara jalan yang kita lampahi harus selalu menuju RidhoNya”.

Mungkin pendapat saya ini kolot dan jadul, namun terus terang saya mendapati kebahagiaan dari sana.


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)