Si idealis terlihat gagah saat menyampaikan gagasan bahwa evaluasi itu harus di dengarkan karena manusia berkembang karena evaluasi. Saya sepakat dengan pendapat itu, namun sebagai seorang manusia pragmatis malah saya menyarankan untuk menyeleksi. artinya tidak semua evaluasi harus didengar. Tentu saja pandangan saya didasari pada beberapa kenyataan diantaranya pertama terkait dengan relativitas prespektif; maksudnya bahwa penilaian terhadap suatu objek tidak mesti semua orang punya penilaian seragam. Bagi si A bisa jadi baik bagi si B bisa jadi biasa aja. Kedua yang paling mengenal diri kita adalah diri kita sendiri so di saat mendengar kata orang tentang diri kita, kita perlu meneliti benarkah dan relevankah pendapat dia atau tidak. Kalau tidak, ya sebaiknya dengar aja pendapat diri sendiri aja.
Dalam dunia kerja juga terjadi hal serupa, di mana karyawan, manajer direktur semuanya terevaluasi. Dan tahukah anda biasanya ada tiga perasaan yang tertinggal dalam batin orang yang dievaluasi pertama semangat karena dia punya atasan yang perhatian kedua jengkel, karena dia merasa telah bekerja sesuai dengan kemampuannya, perasaan ini biasanya tidak berlaku bagi pekerja yang tidak niat bekerja dan terjadi pada karyawan yang tidak diberi penjelasan tentang job disc dan target yang harus dia realisasikan selama dia bekerja. Ketiga bingung biasanya terjadi bila evaluasinya tidak spesifik dan model evaluasi yang membingungkan biasanya meruntuhkan moral pekerja. Untuk mengantisipasi itu saya memiliki beberapa trik supaya evaluasi yang kita lakukan kepada staf kita berjalan baik.
Lakukan face to face
Evaluasi yang dilakukan secara face to face dirasa sangat personal dan spesial dan lebih dari itu menjaga harga diri pekerja tetap terjaga.
Spesifik
Evaluasi yang spesifik biasanya mengaju ke job disc dan target. Apakah dia bekerja sesuai dengan job disc? Apakah dia bekerja di bawah target, jika iya maka cukup evaluasi itu saja. Di beberapa tempat kerja yang sedang berkembang, job disc dan target tidak dicantumkan di depan saat kontrak kerja, kalau begitu kasusnya, maka tempat kerja itulah yang harus dievaluasi dahulu. Setahu saya ada dua tipe orang dalam bekerja, yaitu orang yang tidak mau bekerja dan orang yang tidak bisa bekerja. Orang yang tidak mau bekerja biasanya ada problem personal di tempat kerjanya, sementara kalau orang yang tidak bisa bekerja ini biasanya berhubungan dengan kapasitas kemampuannya yang lemah.
Beri harapan dan solusi
Masih ada waktu, itu biasa keluar dari mulut saya saat mendengarkan keluh kesah staf saya yang saya evaluasi dan kemudian saya berikan beberapa jalan keluar yang realistis dengan kapasistasnya.
Jeda waktu
Jeda waktu antara kesalahan dengan waktu evaluasi yang terlalu panjang malah akan merugikan evaluator itu sendiri. Saya sampai dua kali berkata begini saat dievaluasi. “Masukan saya terima namun saya menyayangkan kenapa evaluasinya tidak dari semester kemarin”. Saya berkata begini supaya ada perbaikan sistem dan alhamdulillah sampai saat ini belum terjadi apa-apa kepada saya.
Adil
Evaluasi harus dijalankan merata untuk semua orang. Sebagai pengalaman juga, semester kemarin teman saya menolak teguran atasan yang mengevaluasinya karena teman saya ini telat, saya kemudian dia bilang bahwa persoalan telat ini sudah mengakar, kenapa ketika orang lain telat tidak dievaluasi namun ketika dia kebetulan telat eh malah kena evaluasi.... sebagai solusi dia dituntut minta maaf, namun dia tolak juga karena perasaan keadilannya tidak kena.
Tegas dan terukur
Ketegasan harus ada pada seorang pemimpin terlebih saat dia melakukan evaluasi, namun ketegasan itu menjadi tidak bernyawa bila evaluasi itu tidak diiringi dengan penjelasan yang spesifik, sisi mana yang dievaluasi. Mungkin di antara anda ada yang mendapatkan evaluasi dari atasan anda begini “semester kemarin prestasi anda menurun” tanpa ada penjelasan lebih jauh sisi mana yang kurang dari kinerja anda yang kurang, dan saya yakin anda akan bingungnya minta ampun dan diam-diam anda mulai merasa terganggu dengan statement itu.
EmoticonEmoticon