Saya bukan provokator yang membenci lingkungan, lagi pula menjadi provokator bukanlah pilihan yang tepat untuk lingkungan saat ini yang kelelahan dengan segala bentuk intimidasi kemiskinan dan kebodohan, namun sebagai praktisi pendidikan, saya merasa sekali betapa beratnya yang dirasakan oleh anak-anak saat ini yang sedang tumbuh berkembang dengan belajar dari lingkungan sekitarnya.
Bukan persoalan banyaknya mata pelajaran yang harus mereka kuasai, bukan pula persoalan mahalnya biaya pendidikan, sebab hal itu semua sudah tahu, namun persoalannya pada banyaknya peristiwa ambigu yang dilihat oleh mata mungilnya, di sekolah mereka diajarkan shalat berjamaah sementara di rumah tidak diajarkan itu, siapapun pendidiknya semuanya mengatakan bahwa kekerasan bukanlah pilihan yang baik untuk menyelesaikan masalah, namun tontotan televisi yang begitu akrab dengan mereka mengajarkan teknik-teknik baru untuk melampiaskan kemarahan. Di sekolah guru menjadi model untuk mengisi karakter mereka, namun di sinetron diperlihatkan sosok guru kolot dan mudah untuk dikelabui.
Saya melihat media harus bertanggung jawab juga dalam membenahi pendidikan, sebab diakui atau tidak sesungguhnya media telah menciptakan lingkungan saat ini menjadi lingkungan yang penuh kekerasan. Secara literatur, beratus studi telah menunjukkan dengan jelas bahwa media yang banyak menampilkan adegan kekerasan berkontribusi terhadap tingginya kekerasan (e.g., Anderson, 1997; Berkowitz, 1993; Paik & Comstock, 1994; Wood et al, 1991, dalam Baron & Byrne, 2000). Mungkin belum hilang dalam ingatan kita peristiwa kematian anak kecil yang meninggal dan beberapa mengalam i patah tulang belakang setelah mempraktekan adegan gulat yang sering mereka tonton di film smack down.
Saya coba untuk nongkrong depan televisi baik pagi maupun sore dan malam, saya merasa heran, kenapa anak negeri ini termasuk pelaku perfilman sangat menggandrungi adegan kekerasan. Pagi hari, biasanya televisi menyuguhkan film kartun seperti tom and jerry, sekilas tampak lucu namun bila ditelaah lebih lanjut ternyata kelucuan itu hanya menjadi bungkus dan aksi-aksi yang sadistik. Begitu juga film kartun lainnya seperti Naruto. Para sutradara lokal pun masih menggandrungi adegan kekerasan. Bagi saya film ini harus dihentikan, sebab karena faktor kedekatan justru membuat sinetron lokal itu sangat berpeluang untuk ditiru anak.
Faktor kedekatan sinetron dengan anak dapat dilihat dari pilihan lokasinya dan pemainnya; Lihat saja dalam beberapa sinetron seringkali lokasi yang dipilih adalah sekolah, pemerannya pun pelajar, posisi guru sering diperankan sebagai pelengkap, kolot dan mudah untuk dikelabui dan pemain utamanya adalah para remaja yang sering menangis dan menampar. Dari sisi itu anak kemudian menginternalisasikan apa yang dia lihat.
Adalah Bandura yang jeli meneliti bagaimana manusia melakukan belajar sosial (sosial learning), ternyata menurutnya manusia belajar selain mengamati juga mereka melakukan imitasi terhadap objek yang mereka lihat (Hall & Lindzey:2005). Proses belajar ini menjadi semakin berarti di saat orang yang diimitasi adalah model yang signifikan dalam kehidupan mereka.
Siapapun tahu kalau anak adalah peniru yang hebat yang pernah ada di dunia, namun sebaliknya film sinetron saat ini justru sangat kental dengan motif ekonomis namun alpa dengan pesan-pesan edukasi yang seharusnya lebih menonjol untuk memperkokoh karakter bangsa.
Pelan tapi pasti, kita akan melihat betapa bangsa yang ramah ini telah menjadi bangsa yang tidak lagi peka perasaannya, barangkali korelasinya dengan film dapat dijelaskan oleh teori de-sensitization effects, di mana kepekaan kita terhadap kekerasan itu menjadi tumpul. Menurut Pitaloka (e-psikologi, 2006) yang mengutip dari penelitian Baron (1974) menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain.
Ternyata kata-kata sayyidina Ali cukup bertuah “ajarilah anak-anakmu sebab mereka akan menghadapi masa yang lebih berat dari masamu”. Ungkapan itu telah menemukan realitasnya, beberapa orang dewasa terpaksa harus terpengap-pengap melihat kontrasnya masa kecil mereka dengan kenyataan hari ini, barangkali kegetiran batin mereka terwakili oleh kata-kata “dulu masa saya tidak ada seperti ini”.
Bila tayangan televisi tidak memiliki orientasi pendidikan, maka bangunan pondasi kepribadian anak akan menghadapi tembok tebal oleh ambigunya lingkungan yang melingkupinya; Ibu mengajarkan kasih sayang, sementara para bintang pujaanya berteriak sambil menampar, Guru mengajarkan tatakrama, sementara dalam sinetron guru tampil sebagai pemeran pelengkap yang sering tidak tampil sebagai soko guru, atau barangkali di saat sekolah mengajarkan kemandirian, sementara di rumah anak dimanja, bisa juga terbalik, di rumah anak diajarkan pengertian sementara di sekolah tidak begitu tanggap dengan kebiasaan anak yang suka mengejek.
Ah sampai kapan bangsa ini terpuruk? Barangkali sampai kita semua bangsa secara penuh bahwa persoalan pendidikan bukan soal waktu mereka di sekolah, namun soal model yang patut di contoh anak, dan itu harus ada di semua lini. Jika tidak, barangkali benar adanya, bahwa lingkungan kita memang sadis.
Bukan persoalan banyaknya mata pelajaran yang harus mereka kuasai, bukan pula persoalan mahalnya biaya pendidikan, sebab hal itu semua sudah tahu, namun persoalannya pada banyaknya peristiwa ambigu yang dilihat oleh mata mungilnya, di sekolah mereka diajarkan shalat berjamaah sementara di rumah tidak diajarkan itu, siapapun pendidiknya semuanya mengatakan bahwa kekerasan bukanlah pilihan yang baik untuk menyelesaikan masalah, namun tontotan televisi yang begitu akrab dengan mereka mengajarkan teknik-teknik baru untuk melampiaskan kemarahan. Di sekolah guru menjadi model untuk mengisi karakter mereka, namun di sinetron diperlihatkan sosok guru kolot dan mudah untuk dikelabui.
Saya melihat media harus bertanggung jawab juga dalam membenahi pendidikan, sebab diakui atau tidak sesungguhnya media telah menciptakan lingkungan saat ini menjadi lingkungan yang penuh kekerasan. Secara literatur, beratus studi telah menunjukkan dengan jelas bahwa media yang banyak menampilkan adegan kekerasan berkontribusi terhadap tingginya kekerasan (e.g., Anderson, 1997; Berkowitz, 1993; Paik & Comstock, 1994; Wood et al, 1991, dalam Baron & Byrne, 2000). Mungkin belum hilang dalam ingatan kita peristiwa kematian anak kecil yang meninggal dan beberapa mengalam i patah tulang belakang setelah mempraktekan adegan gulat yang sering mereka tonton di film smack down.
Saya coba untuk nongkrong depan televisi baik pagi maupun sore dan malam, saya merasa heran, kenapa anak negeri ini termasuk pelaku perfilman sangat menggandrungi adegan kekerasan. Pagi hari, biasanya televisi menyuguhkan film kartun seperti tom and jerry, sekilas tampak lucu namun bila ditelaah lebih lanjut ternyata kelucuan itu hanya menjadi bungkus dan aksi-aksi yang sadistik. Begitu juga film kartun lainnya seperti Naruto. Para sutradara lokal pun masih menggandrungi adegan kekerasan. Bagi saya film ini harus dihentikan, sebab karena faktor kedekatan justru membuat sinetron lokal itu sangat berpeluang untuk ditiru anak.
Faktor kedekatan sinetron dengan anak dapat dilihat dari pilihan lokasinya dan pemainnya; Lihat saja dalam beberapa sinetron seringkali lokasi yang dipilih adalah sekolah, pemerannya pun pelajar, posisi guru sering diperankan sebagai pelengkap, kolot dan mudah untuk dikelabui dan pemain utamanya adalah para remaja yang sering menangis dan menampar. Dari sisi itu anak kemudian menginternalisasikan apa yang dia lihat.
Adalah Bandura yang jeli meneliti bagaimana manusia melakukan belajar sosial (sosial learning), ternyata menurutnya manusia belajar selain mengamati juga mereka melakukan imitasi terhadap objek yang mereka lihat (Hall & Lindzey:2005). Proses belajar ini menjadi semakin berarti di saat orang yang diimitasi adalah model yang signifikan dalam kehidupan mereka.
Siapapun tahu kalau anak adalah peniru yang hebat yang pernah ada di dunia, namun sebaliknya film sinetron saat ini justru sangat kental dengan motif ekonomis namun alpa dengan pesan-pesan edukasi yang seharusnya lebih menonjol untuk memperkokoh karakter bangsa.
Pelan tapi pasti, kita akan melihat betapa bangsa yang ramah ini telah menjadi bangsa yang tidak lagi peka perasaannya, barangkali korelasinya dengan film dapat dijelaskan oleh teori de-sensitization effects, di mana kepekaan kita terhadap kekerasan itu menjadi tumpul. Menurut Pitaloka (e-psikologi, 2006) yang mengutip dari penelitian Baron (1974) menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain.
Ternyata kata-kata sayyidina Ali cukup bertuah “ajarilah anak-anakmu sebab mereka akan menghadapi masa yang lebih berat dari masamu”. Ungkapan itu telah menemukan realitasnya, beberapa orang dewasa terpaksa harus terpengap-pengap melihat kontrasnya masa kecil mereka dengan kenyataan hari ini, barangkali kegetiran batin mereka terwakili oleh kata-kata “dulu masa saya tidak ada seperti ini”.
Bila tayangan televisi tidak memiliki orientasi pendidikan, maka bangunan pondasi kepribadian anak akan menghadapi tembok tebal oleh ambigunya lingkungan yang melingkupinya; Ibu mengajarkan kasih sayang, sementara para bintang pujaanya berteriak sambil menampar, Guru mengajarkan tatakrama, sementara dalam sinetron guru tampil sebagai pemeran pelengkap yang sering tidak tampil sebagai soko guru, atau barangkali di saat sekolah mengajarkan kemandirian, sementara di rumah anak dimanja, bisa juga terbalik, di rumah anak diajarkan pengertian sementara di sekolah tidak begitu tanggap dengan kebiasaan anak yang suka mengejek.
Ah sampai kapan bangsa ini terpuruk? Barangkali sampai kita semua bangsa secara penuh bahwa persoalan pendidikan bukan soal waktu mereka di sekolah, namun soal model yang patut di contoh anak, dan itu harus ada di semua lini. Jika tidak, barangkali benar adanya, bahwa lingkungan kita memang sadis.
EmoticonEmoticon