Kepemimpinan merupakan aspek yang paling banyak dibahas manusia, berbagai teori kepemimpinan menjadi bacaan wajib untuk menyelesaikan problematika kepemimpinan yang pelik dan rumit. Tak salah jika pelatihan-pelatihan kepemimpinan yang paling banyak diburu, teori-teori baru untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan bertaburan, banyak, mulai kepemimpinan berbasis kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kepemimpinan partisipatif, delegatif dan lain sebagainya. Instrumen untuk membantu perjalanan kepemimpinan juga banyak diungkit, seperti loby, komunikasi efektif, cara memimpina rapat, pengambilan keputusan, kreativitas, merubahan mind sett. Bahkan dalam beberapa hadist banyak diungkit tentang kepemimpinan yang berbasis moral dan kemampuan. Dalam salah satu doa yang dipanjatkan Umar bin Khattab adalah “ya Allah jauhkanlah saya dari orang soleh yang tidak kuat dan orang fasik yang memiliki kekuatan”. Lebih dari itu, Rasulullah dalam salah satu hadistnya menjelaskan “kalau suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”. Buku Machiavelli yang banyak dihujat dan disanjung ternyata banyak membahas bagaimana mempertahankan kepemimpinan ditengah manipulasi, culas dan intrik.
Dalam konteks kepemimpinan, tampaknya aspek kafaah menjadi aspek paling tinggi dalam penentuan kelayakan untuk memimpin, baik pada aspek ruhiyah, moralitas dan intelektualitas. Hal ini secara nyata dapat ditemukan dalam sirah Rasul dan khalifaturrasyidah. Beberapa khalifah memang menunjukkan kemandirian finansial yang cukup, namun khalifah yang masuk dalam kategori konglomerat adalah Utsman bin Affan.
Permasalahan kepemimpinan bisa jadi menjadi rumit ketika dihadapkan dengan komunitas yang homogen seperti di Indonesia khususnya di kota Malang, di mana pemikiran demokrasi menjadi arus utama dalam menentukan pemimpin, siapapun bisa jadi pemimpinan selama memperoleh dukungan dari rakyat. Semua orang dipandang sama, semua manusia dihitung satu meski kadar kualitasnya berbeda-beda. Kondisi seperti ini sejatinya membuka peluang bagi siapa saja –baik yang memiliki agenda busuk ataupun sebaliknya- untuk menancapkan kekuatannya tanpa mengalami kendala yang berarti.
Kacung Marijan (2006) melihat tiga modal yang perlu dimiliki calon untuk menjadi pemimpin daerah. Pertama modal politik. Instrumen politik yang paling kuat di Indonesia adalah partai politik, meski sekarang terbuka bagi calon independen untuk menjadi pemimpin, namun syarat yang harus dipenuhi cukup berat, sehingga para calon independen harus memanfaatkan (melamar) partai politik untuk menjadi mesin politiknya. Tentu saja pilihan ini membuat partai politik berada di atas angin, sebab partai politik memiliki kuasa untuk menjawab ya atau tidak, tergantung pada kompensasi yang dapat mereka terima.
Kedua modal sosial. Maksud dari modal ini adalah kepercayaan (trust) publik yang hadir dari kredibelitas moral yang dimiliki calon. Modal sosial seirngkali dibangun melalui pencitraan yang baik. Kemenangan SBY-Kalla disinyalir kuat pada aspek modal sosial, yang sebelumnya SBY dicitrakan sebagai profil yang terzalimi Megawati. Pilihannya menjadi nyata sebab rakyat juga mengakumulasi kekecewaanya pada megawati yang tidak kunjung mampu menyelesaikan masalah bangsa ini.
Ketiga modal finansial, sebagai modal untuk membiayai tim sukses, mempermudah turunnya rekomendasi politik untuk mendukung dirinya sebagai calon. Perhitungannya tentu saja memiliki modal sendiri atau dimodali. Di saat calon memiliki modal sendiri, tentu menempatkan bakal calon pada posisi kuat, namun ketika pilihannya dimodali, tentu saja menjadi resisten, sebab para pemodal akan menagih kompensasi yang pernah dijanjikannya.
Pertimbangan realitas sosiopolitik rakyat dan modal (capital) yang perlu dimiliki akan mendorong konsolidasi antara pemodal dengan politisi, terlepas dari yang hitam ataupun yang putih. Pemodal butuh akses kekuasaan untuk melancarkan proyeknya, politisi butuh modal untuk mebiayai ongkos politiknya. Kebutuhan ini menjadi sinergis sebab kedua-duanya memiliki ketergantungan yang saling menguntungkan. Masalahnya menjadi mencuat ketika kepentingan pengusaha mempengaruhi kebijakan pemimpian daerah. Situasi ini menjadi bayangan yang menentukan bahkan lebih menentukan kebijakan-kebijakan di saat calon menjadi kepala daerah.
Kondisi ini bukan hal yang aneh, bahkan menjadi rahasia umum. Jika sudah seperti ini, maka sandaran terakhir berada di tangan legislatif yang menjadi ikon corong rakyat. Hubungan antara legislatif dan eksekutif dapat dikategorikan pada tiga kategori, yaitu; legislative heavy, eksekutuf heavy, check and balance.
Eksekutif heavy. UU no 32 tampaknya berpihak pada eksekutif heavy, hal ini terlihat dari berkurangnya otoritas yang dimiliki oleh DPRD dalam mengontrol kepala daerah. Logika ini dibangun atas sistem pemilihan Walikota yang tidak dipilih lagi oleh DPRD namun dipilih langsung oleh rakyat. Oleh sebab itu DPRD tidak bisa memberhentikan kepala daerah jika LPJnya ditolak.
Legislative heavy berarti DPRD berperan kelompok penekan eksekutif yang menjadi lawan politiknya. Peran ini menjadi semakin menguat jika kekuatan politik pemerintah di DPRD berada dibawah kekuatan partai oposisi, baik dari segi jumlah maupun daya desak, kepala daerah berasal dari partai kecul. Jika hal ini terjadi, efektivitas kerja pemerintah menjadi terhambat. Kompromi menjadi opsi yang paling banyak dipilih eksekutif dengan membeli suara kritis mereka. Jadi, restu walikota dalam penentuan ketua komisi menjadi hal yang tidak perlu dikeluhkan. Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat membuat otoritas legislatif melemah, namun sejatinya tidak menyulitkan legislatif untuk memiliki kekuatan di hadapan kepala daerah. Meski tidak bisa memberhentikan kepala daerah, namun kontrol terhadap kepala daerah masih ada seperti hak interpelasi, angket. Di samping itu kekuatan DPRD tidak bisa diabaikan terutama pada pengesahan RAPBD. Penolakan dewan terhadap RAPBD yang diajukan kepala daerah tentu saja APBD yang baru tidak dapat disahkan.
Chekck anda balance berarti posisi yang relatif sama antara kepala daerah dan legislatif. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan didukung oleh salah satu kekuatan politik di DPRD, sementara di DPRD terdapat kekuatan politik yang bersebrangan dengan kepala daerah. Kepala daerah tidak bisa begitu saja mengendalikan DPRD, dan DPRD akan menyulitkan kepala daerah dalam membuat kebijakan-kebijakan. Pilihan terakhir yang diambil banyak melihatkan konsensus politik yang berujung pada deal-deal antar pemegang kebijakan politik.
PILKADA
Kondisi kota Malang tidak bisa dilepaskan dari interaksi antara Legislatif dan Eksekutif. Kondisi ini menjadi bisa dipahami dengan melihat peta kekuatan yang ada di legislatif dan eksekutif. Peta kekuatan ekseutif dapat dilihat dari mana partai mana kepala daerah berasal? Hal ini menandaskan sedikit banyak menunjukkan peta politik. PDIP sebagai partai terbesar di kota Malang memang layak menempatkan kadernya sebagai N1,
Jika melihat pada kekuatan yang ada di kota Malang,PDIP 12, PKB 8, PD 7, PAN 5, PKS 5, GOLKAR 5, PDS 2, PPP 1 tampaknya tidak sesederhana seperti yang 3 rumusan Kacung Marijan di atas, hal ini terlihat dari kenyataan bahwa PDIP sebagai partai terbesar yang menempatkan kadernya sebagai kepala daerah, jumlah anggota dewan yang paling banyak, dengan demikian segala kebijakan yang dirumuskan kepala daerah relatif tidak mengalami hambatan apa-apa dari partai selainnya, selain itu, PKB sebagai partai terbesar kedua setelah PDIP pun tidak menandaskan diri sebagai partai oposisi. Peta konflik pun sepertinya tidak terlihat antara PDIP dan PKB.
Peta konflik yang cukup terlihat jelas justru berada pada spektrumantara PDIP dan PKS, partai dengan kekuatan menengah yang setara dengan golkar, 5 orang. Menaklukkan PKS bagi PDIP jelas bukan hal mudah jika masuk dalam arena adu argumen, dan hal ini disadari betul, oleh sebab itu cara voting sering diambil, karena dengan jumlah yang besar, PKS dapat sulit untuk banyak bersuara. Beberapa proyek kontroversi seperti MOG, MATOS, dapat menjadi referensi. Konflik inilah yang menguatkan dugaan PKS tidak diberi jatah komisi.
Menjelang pilkada, hingga kini belum banyak dinamika yang terjadi, masih sepi, indikatornya adalah masih sedikitnya calon walikota yang menampilkan profilnya ke publik. Hingga kini baru ada dua yang muncul secara terang-terangan yaitu Aries dari Golkar dan Mohan dan PAN, keduanya berkoalisi di bawah semangan ”Malangku Gemilang”. PKB secara mengusung Fathol Arifin sebagai calon walokota, namun publikasinya belum terlihat.
Peni Suparto tampaknya akan diusung PDIP untuk menjadi calon Walikota, sebab posisinya yang juga menjadi ketua DPC Malang, secara politis dia yang paling unggul, begitu juga dengan popularitas.
Jika mengaca pada perkembangan pilkada di daerah lain, tampaknya ada fenomena yang harus dipahami baik oleh incumbent atau oleh konstestan baru yang bisa jadi fenomena ini akan terjadi pada pilkada kota malang tanggal 23 juli 2008. Fenomena ini yang berkembang akhir-akhir ini adalah banyaknya para incumbent yang rontok, hal ini disebabkan oleh sejumlah hal diantaranya penolakan masyarakat terhadap kekuatan status quo dan keinginan untuk memiliki pemimpin baru (KOMPAS/17/12/2007).
Di Bojonegoro justru yang mencul sebagai pemenang adalah Suyoto dan Hartono (TOTO) yang sebelumnya merupakan calon terlemah baik dari kalkulasi politik maupun jaringan birokrasi (KOMPAS JAWA TIMUR/18/12/2007), di beberapa daerah lain seperti di Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat menunjukkan hal yang sama. Peluang Aries dan Mohan untuk menang cukup terbuka, sebab selain unggul dari segi sosialisasi, juga kekecewaan rakyat terhadap kepemimpinan Peni pun cukup banyak, tinggal dikelola saja.
Ads 970x90
Senin, 07 Januari 2008
PEREBUTAN KEPEMIMPINAN
Related Posts
- Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
- Sejak awal saya melihat proses “pernikahan” antara seorang SBY dan Boedinono ada sedikit
- Tanggal 1 juni kemarin kita dikejutkan oleh penyerangan FPI terhadap AKKBB di lapangan m
- Organisasi layaknya manusia yang perlu perawatan dan up grading, yang tentunya akan menga
- Atas instruksi dari Ketua KPU Kab Blitar, penghitungan suara Kecamatan Garum dilaksanakan
- Sudah menjadi aksioma kalau beberapa manusia berkeinginan untuk menjadi manusia besar, da
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon