Jumat, 04 Juni 2021

APRESIASI RASA MALAS

Memilih bersikap keras kepada diri sendiri dengan alasan bahwa hidup itu perjuangan untuk menaklukkan diri sendiri adalah cara yang neorotik dengan logika penaklukan. Sebab anda membuat berjarak semakin jauh dengan diri anda sendiri, justru yang dari awal sudah memberi kontribusi terbaik dalam pencapaian hari ini.


Berjarak dengan teman sudah banyak memberi dan berkorban itu rasanya tidak nyaman. Apalagi berjarak dengan diri sendiri yang terus kita bersama.


Ada harga yang harus dibayar saat anda keras terhadap diri sendiri,  salah satunya sering mengalami kegagalan saat sukses itu sudah dihadapan. Orang bilang sial, namun itu sebenarnya anda dibajak dan disabotase oleh diri sendiri.


Rasa malas itu perlu disikapi cermat.  Bahwa kemalasan itu berarti penuruan produktifitas memang benar.. Namun lebih arif jika berdialog dengan diri tidak dibangun dengan narasi industrial kapitalis yang di kalkulasi secara mekanik.


Malas adalah sinyal dari diri ada yang gak seimbang, ada yang tidak beres, ada yang tertinggal bahkan ada yang tidak adil yang kamu berikan kepada diri sendiri. Apakah kamu terlalu kerja keras lupa memberi asupan yang seimbang, atau bisa jadi ada nilai nilai hidup yang kompatibel bagi orang lain tapi diri anda sendiri memandang itu tidak layak. Misal bagi orang lain, memiliki kendaraan merk tertentu cukup worth untuk hidup mereka, apakah Anda pun perlu berlaku hal yang sama? Bisa jadi yang Anda butuhkan adalah keamanan finansial, atau bisa jadi yang Anda butuhkan adalah keterhubungan maksimal dengan keluarga.


Rupanya konsep umum bahwa malas itu buruk bahkan syetan pun tidak tertarik untuk menggoda orang malas membuat sikap reaktif dalam menindas rasa malas yang sebenarnya itu hanya efek dari banyak hal. Bisa dikatakan mobil anda mogok, bukannya memilih untuk menepi untuk ke bengkel namun sering kali sikap yang ada adalah memaksakan diri untuk mendorong, untuk injak gas dan mukul stear. Pemaksaan ini selain membuat amarah semakin memuncak, juga membuat mobil semakin rusak. Itu lah kira kira analoginya.


Sy pernah mengalami mogok kendaraan bersama teman, saat itu perjalanan ke blitar Selatan yang cukup jauh akses ke perbengkelan. Kala itu kendaraan kami mogok di sisi jalan, kiri kanan hutan jati. Semua panel kita cek semua baik baik saja, dan keringat mulai deras membasahi baju. Saya coba berfikir jernih dah cari posisi nyaman, hanya buka tank bensin semua terjawab, isi bensin habis tanpa disadari karena panel indikatornya rusak. Kita menepi untuk isi bensin dan kendaraan pun kembali menyala.. Sesimpel itu sebenarnya analogi mengelola malas.


Jika sekedar membasmi rasa malas sebagaimana banyak pelatihan hari ini yang memberi dampak mujarab sesaat, namun karena sumber persoalannya tidak beres maka malas ini akan kembali menyapa dengan penuh kemenangan, hello broo.. I am coming back. Dan anda pun kembali terlelap dalam buaian malas yang menenangkan itu.


Pernah gak kita mendirikan sejenak, sekedar menyapa, eh kenapa hari ini aku malas? Ada salah apa? Nti semua terjawab berupa respon respon yang hanya diri kita yang faham, apakah berupa lintasan pikiran, apakah rasa lapar yang mendera, atau tiba tiba ingin berdzikir, dsb.


Memang dunia yang makin sibuk dan askes informasi yang hanya dalam genggaman tangan asal ada kuota, rasa ingin tau ini benar benar menagih kita untuk searching apa pun yang berloncatan di saraf saraf kita, dan menariknya semua begitu mudah. Menariknya dunia luar mbuat kita tidak peka dengan ketidakberesan dalam diri kita yang berteriak melalui rasa malas yang mendera. Kita abaikan semua dan anggap semua akan baik baik saja. Sangat mungkin semua mereda, tapi itu hanya soal waktu, iya menunggu waktu sampai dorongan protes dalam diri itu sampai tidak tertahankan untuk meledak.


Pernah gak kita tiba tiba sakit keras, pernah gak tiba tiba kita stuck, pernah gak tiba tiba gak bisa mikir dan banyak masalah. Bersyukurlah itu terjadi, segera mendiri dan menyapa.. Maafkan aku yang lupa merawat diri. Dan entah kenapa dalam waktu tidak lama kita kembali bugar, kembali dinamis dan kembali luar biasa.


Sebelum kita terlalu tua untuk menanggung persoalan yang menumpuk karena tidak peka. Gak jadi soal juga hari hari kita isinya dialog sama diri kita, bahkan hanya sekedar beli kaos. Jika itu kita suka ya beli saja. Urusan orang lain suka apa gak suka, itu mah urusan nomor ke 35.


Jangan jangan selama ini hidup yang kita jalani, profesi yang kita lakukan bukanlah jalan yang kita inginkan.


Jika hanya sekedar untuk hidup tanpa ada rasa bahagia di dalamnya, bisa jadi ini sumber kemalasan yang kemudian merembet jadi masalah seperti ini.


Yuk sekarang bertanya kembali ke dalam diri.. Apakah kamu bahagia dengan ini semua?


BANYAK SYARAT

Manusia itu sendiri sudah menjadi keajaiban dalam penciptaan, bahkan tanpa ikhtiar keras manusia sekali pun, keajaiban itu secara otomatis terinstal dirinya kebahagiaan.


Berkah dari Allah selain terinstall dalam dirinya kebahagiaan juga sarana kebahagiaan pun disiapkan semuanya. Sesederhana itu.


Pengkondisian sosial yang cukup masif tentang bagaimana mendapatkan rasa bahagianya sebenar cukup halus untuk memberi tahu bahwa bahagia itu berada di luar sana dan kamu kalau tidak mengejarnya, kamu pasti merasa tidak bahagia. Dari situ kemudian bahagia menjadi rasa yang hadir jika memiliki sesuatu dan bahagia nya jika menggapai sesuatu berhasil membuat tafsir yang setipe yaitu aku bahagia jika memiliki ini. Dari sini bahagia ini menjadi bersyarat.


Di sisi yang lebih simpel kita sering  dapat nasihat kesuksesan, bahkan nasihat ini sering kita dapatkan sejak bangku kuliah, jika ingin dapat nilai bagus kamu harus berhasil mencuri hati dosen, dan kenyataanya cara ini berhasil, dalam dunia kerja jika ingin cepet karir kamu harus melakukan pendekatan tertentu.


Lambat laun, beragam teknik sukses itu bukannya memberi bahagia lebih, yang ada malah memberi tambahan beban. Padahal jika mau, untuk sukses fokus aja kerja yang bener dan jujur, selesai kan?  Tanpa atribut apa pun.


Dan atribut itu kemudian memberi rasa lelah dalam batin, seraya berkata, untuk sukses kok seribet itu ya.. Males ah.

SEDERHANAKAN SEMUA DAN 0.

Tanpa apa pun manusia akan memberjalankan dirinya untuk aktual secara maksimal, makin lepas makin ringan di jiwa, kurang lebih begitu lah.


Pada banyak hal, malas itu bermakna rem sedang diinjak, rem diinjak ini karena ada sesuatu yang membuat dirinya Insecure. Di sini cara berfikir hit and run menemukan relevansinya, namun manusia pun bisa memilih untuk sejenak diam dan mencari sebab kenapa saya harus lari dan kenapa saya harus agresif.


Banyak orang fokus bagaimana menindas sikap penundaan, dengan menambah dosis motivasi, namun apakah membereskan akar masalah?  Bisa juga iya, namun akar masalahnya apakah beres?


Kita cek dalam hari hari kita yang biasanya semangat berangkat ke kantor, namun kita mendapati orang yang kurang sreg secara kinerja tiba tiba di daulat menjadi pimpinan proyek dan kita berada di dalamnya.


Atau suatu saat kita pernah kan malas pada hari tertentu ? Sebab pada hari tersebut ada pelajaran yang kita gak dalam posisi maksimal dan kebetulan pula diampu oleh guru yang kurang menyenangkan.


Para motivator sering memberi solusi, supaya semangat belajar, coba deh temani kopi, coba pajang foto impian supaya memacu semangat belajar, dan lebih menyedihkan, orang tua menyarankan anaknya punya pacar, supaya diantara mereka berdua bisa saling memberi semangat hahahaha.


Dalam hal kerja pun, motivator menyarankan untuk membuat to do list, membuat dream book, memajang barang impian yang ingin dimiliki, yang disinyalir itu semua dapat memacu semangat kerja, sekilas heroik, namun itu semua malah menjadi tugas tambahan bukan?


Cek sebentar, persoalan kita sebenarnya berada didalam, rem kita injak karena ada faktor psikologis yang belum kita release yaitu emosi negatif, apakah kepada guru atau kepada teman yang ditunjuk sebagai pimpro.


Banyak orang mengabaikan alarm itu, menekan tombol mati alarm dan kembali lelap, apa yang terjadi, semua bencana terjadi karena semua sudah terlambat.


Kesalahan itu lazim terjadi, karena kebiasaan kita mencari jalan keluar, sementara masalah sesungguhnya ada di dalam. Akibatnya kerja semakin memburuk karena desakan desakan emosi negatif ini semakin membuat pikiran semakin tumpul, dan semua menjadi berantakan.


Jujur dengan perasaan yang sedang dialami adalah awalan yang baik untuk mencegat semua musibah terjadi, karena dengan jujur akan mempermudah tahap selanjutnya yaitu melepas rasa kecewa, melepas rasa tidak percaya diri, melepas rasa tidak aman. Percaya deh, dengan melepas emosi negatif, perlahan malas pun akan pudar dengan sendirinya. Sesederhana itu bukan ? Dan ada saatnya nanti anda tidak perlu motivator lagi, karena semua sudah beres dan energi anda sdh hadir nyata dalam diri.


Sederhananya, Malas, itu sinyal dari diri kalau hidup yang sedang dijalani terlalu rumit.


EmoticonEmoticon