Minggu, 09 Desember 2007

menakar kekuatan kaum muda

MENYIAPKAN KAUM MUDA ISLAM UNTUK MEMIMPIN
Romi Anshorulloh*



Pemuda, Sosok Pemain Sejarah
Pada prinsipnya setiap manusia dalam pandangan Allah adalah khalifah yang bertugas untuk menyembah Allah dan memakmurkan bumi, seperti yang difirmankan Allah SWT “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan mereka khalifah di muka bumi” (QS.2:30). Fungsi kepemimpinan dalam Islam sendiri tentu saja meliputi kepemimpinan atas orang lain dan kepemimpinan terhadap dirinya sendiri yang semua akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT kelak.
Jika ditilik pada perkembangan kekuatan manusia yang berpuncak pada pemuda, secara tidak langsung menjadikan para pemuda tampil menonjol dibanding kalangan lainnya. Kekuatan yang terbangun dari kekuatan fisik, gejolak idealisme, puncak kematangan berfikir menghadirkan pemuda sebagai salah satu kekuatan penopang kewibawaan umat. Adalah Hassan al Banna mempercayakan perubahan suatu bangsa kepada kaum muda, naik dan turunnya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas kaum mudanya. Dalam perjalanannya pemuda berulang kali menorehkan sejarah dengan tinta emas yang luar biasa. Tak salah jika Proklamator Soekarno pernah mengatakan yang dibutuhkan negara ini adalah pemuda yang tangguh dan trengginas. Hanya dengan 10 pemuda saja, dunia akan digoncangkan dan akan semeru akan dipindahkannya. Secara metaforis, ungkapan mewakili betapa starategisnya aspek generasi muda.
Tonggak berdirinya Islam pun tidak jauh dari kehadiran pemuda-pamuda idealis yang konsisten membela Nabi dan ajarannya, semua orang tahun betul siapa Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash dan Mushs’ab bin Umair. Dalam pergerakan di dunia Islam kontemporer pun mengenal Muhammad ar-Rantisi, seorang pemuda yang mendampingi pimpinan spiritual syekh Ahmad Yasin. Che Guevara dari Amerika Latin yang berhasil menumbangkan rezim Batista pada tahun 1959 yang kemudian ditembak mati pada usia muda (39 tahun).
Di Nusantara sendiri peristiwa sumpah pemuda merupakan bukti nyata bahwa kehadiran kaum intelektual muda membawa warna perubahan dalam perjuangan merebut kemerdekaan, sebut saja Ki Hajar Dewantara, Syahrir, Soekarno dan Hatta, para pemuda terpelajar ini tahu benar arah cara perjuangan yang efektif. Dari sejarah di atas pemuda selalu bersenyawa dengan tikungan-tikungan perubahan masyarakat. Ketika perubahan ekonomi, sosial dan kultural berada di tangan pemuda maka perubahan menjadi tinggal menunggu waktu.
Seolah tiada kehabisan iron stock, para pemuda selalu menghadirkan tenaga baru, seakan memperlihatkan pada dunia bahwa pemuda memiliki kualifikasi untuk diberi kepercayaan. Tengok saja Bill Clinton menjadi Presiden Amerika Serikat di bawah usia 50 tahun. Kini Barack Obama pada usia yang kurang dari 45 tahun sudah menjadi calon presiden di Amerika Serikat. Anie Bawesdan yang memimpin Univ Paramadina pada usia 38 tahun. Terlalu banyak contoh manusia muda yang telah teruji dalam memegang tampuk kepemimpinan.

Kualifikasi untuk Memimpin
Jika kepemimpinan dianalogikan sebagai puncak strata dalam masyarakat, maka kompetensi yang dibangun didalamnya pun mesti kompetensi yang terbaik. Kepemimpinan yang tidak berbanding balik dengan kekuatan kompetensi membuka peluang sebesar-besarnya untuk terjadi kehancuran. Oleh sebab itu Rasulullah bersabda ”kalau suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahli maka tunggulah kehancurannya”. Oleh sebab itu diperlukan beberapa kualifikasi untuk memenuhinya yaitu kompetensi mentalitas, kompetensi fikri dan integritas. Kekuatan mentalitas menjadi prasyarat seseorang sebelum memimpin, seperti yang dijelaskan oleh Quraish Syihab dalam bukunya secercah cahaya ilahi bahwa ada empat syarat kepemimpinan yang direkam dalam surat al anbiya ayat 73 tentang kualitas mental dari pemimpin yang diperagakannya dalam kehidupan sehari-hari
1. Selalu memberi petunjuk dengan perintah Kami
2. Ahli Ibadah
3. Orang yang yakin
4. Selalu taat kepada Allah swt.
Secara tegas seorang pemimpin mutlak untuk memiliki kekuatan spiritualitas yang terbangun atas kedekatan dirinya dengan Tuhannya, yang dariNya mereka meminta petujuk dan meminta kemudahan. Lebih dari itu kekokohan spiritualitas yang terbangun dari kedekatan antara dirinya dengan Allah SWT akan memunculkan kepribadian yang berintegritas yang jauh kemungkinannya untuk memilihkan jalan untuk manusia yang dipimpinnya kepada jalan kerusakan. Seiring dengan itu, Allah swt berfirman ”hai orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang berada di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu (QS.3:118). Selebihnya, Allah menambahkan bahwa kepemimpinan akan berbanding lurus dengan kondisi stabilitas mental yang dimiliki, seperti yang dijelaskan dalam surah assajdah ayat 24 “Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka tabah/ sabar”. Ketabahan dan kesabaran merupakan konsideran pengangkatan kepemimpinan yang ditopang oleh beberapa sikap mental lain yang melekat dalam diri pemimpin..
Kompetensi fikri memegang peranan yang tak kalah penting, sebab aspek kompetensi fikri yang menentukan akurasi penyelesaian masalah. Salah satu dari kelebihan yang diberikan Allah kepada para Nabi dan Rasul yang menjadi contoh ideal kepemimpinan adalah kecerdasan (Fathanah) mereka yang di atas rata-rata. Dengan kekuatan fikiran, maka problem yang melanda bangsa ini dapat diselesaikan secara sistematis, runtut dan penuh perhitungan. Salah satu tradisi baik yang dibangun para kahlifaturrasyidah adalah kecintaannya untuk berkumpul dengan para ulama untuk dimintai pendapatnya, kebiasaan serupa diteruskan oleh khalifah Umar bin Abdil Aziz. Kebiasaan efektif ini merupakan kumpulan tim ahli yang kemampuannya tidak diragukan lagi dalam merumuskan kebijakan pemerintah.
Dalam al baqarah :124 dijelaskan bagaimana nabi Ibrahim diberi predikat pemimpin oleh Allah SWT, dan Ibrahim meminta supaya kelebihan ini dimiliki juga oleh keturunan setelahnya. Ada dua hal yang patut dicermati dalam dialog antara Ibrahim dan Tuhannya ini, yaitu :
1. kepemimpinan merupakan ikatan perjanjiang dengan Allah disamping kontrak sosial dengan masyarakatnya.
2. pemimpin menuntut keadilan.
Dilihat dari kualifikasi diatas, tampaknya tugas kepemimpinan bukanlah hal yang mudah, sebab ia banyak menuntut pra syarat kompetensi fikri, kekuatan mental serta penguasaan geopolitk.

Modal Lain
Di alam demokrasi ini, kepemimpinan merupakan barang mahal yang diperebutkan oleh siapa saja tanpa memperdulikan kualifikasinya. Dalam konteks kepala daerah, Kacung Marijan dalam bukunya demokratisasi di daerah menilai, setidaknya ada 3 modal yang harus dimiliki untuk menjadi memenangkan pilkada, yaitu modal sosial (social capital), modal politik (politic capital) dan modal ekonomi (economic capital).
Tidak semua orang memiliki tiga modal sekaligus, namun kesempatan untuk dipilih menjadi pemimpin setidaknya akan semakin besar jika ketiga-tiganya dimiliki. Modal sosial menjadi modal yang terbangun dari kepercayaan publik terhadap integritas kepribadian orangnya. Pola hubungan yang terbangun adalah pola hubungan kepercayaan. Oleh sebab itu para calon akan sekuat mungkin membangun politik pencitraan supaya mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat. Begitu juga dengan modal politik menjadi penting peranannya mengingat sistem pemilihan baik kepala daerah, presiden maupun legislatif menggunakan sistem partai sebagai mesin politiknya. Partai politik terbesar dapat dianggap sebagai partai yang mewakili kepentingan rakyat yang paling banyak tentunya. Terakhir adalah modal ekonomi. Pemilu maupun pilkada membutuhkan ongkos yang tidak sedikit, baik untuk membiayai tim sukses, pencitraan maupun untuk membayar pengurus yang telah memberinya peluang untuk menjadi calon. Dengan tiga modal ini, maka siapapun yang memilikinya berpeluang untuk memperolehnya, tanpa harus menjadi kader partai tertentu.
Problematika
Kurang lebih ada tiga problematika umat ini yang dapat dipetakan yaitu kebodohan, kemiskinan, dan keterpecahan. Kebodohan dan kemiskianan selalu saja menjadi lingkaran setan, di mana ada kemiskinan di sanalah ada kebodohan, begitu juga sebaliknya. Dengan kebodohan seseorang akan mudah dimanfaatkan. dengan kemiskinan seseorang akan selalu berada dalam posisi tawar lemah. Ironinya pemuda muslim ternyata menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebodohan dan kemiskinan. Sehingga citra yang terbangun untuk para pemuda muslim adalah layu, terbelakang dan asosial. Jika Muhammad Hatta memandang pilihan pemuda Indonesia untuk terjung ke dalam dunia politik sebagai pilihan logis akibat kondisi lingkungan masyarakatnya yang carut marut sehingga perlu diperjuangkan dan diperbaiki sana sini, maka pemuda pada saat ini tidak lagi mampu untuk bangkit mengobarkan idealismenya, namun ia terpuruk karena merasa tidak mampu bangkit karena kurang modal pendidikan, akses dan mentalitas. Lonceng kematian umat ini sedang berdentang keras.
Selanjutnya kaum intelektual mudanya cenderung berjuang dalam bingkai terkotakkan baik dalam bingkai nasionalisame maupun dalam kotak islamisme yang sesungguhnya pembingkaian ini merugikan umat islam itu sendiri, sebab kedua-duanya sama-sama didukung oleh pemuda islam itu sendiri. Bukan perkara mudah untuk menyatukan umat, sebab akan dihadang oleh isu-isu primordialisme, sengaja dihembuskan supaya kekuatan umat dapat dilokalisasi dalam fragmen lokal saja.
Dalam konteks partai dan tujuan dari partai itu sendiri masing-masing dari kita memiliki ketidaksamaan persepsi akan arah akhir dari perjuangan bangsa ini, beberapa diantara mereka ada yang merindukan penegakan syariat ada juga yang melihatkan potensi disintegrasi bangsa dikala Islam dilegal formalkan. Titik akhir perjuangan partai yang di dalamnya pemuda dalam perjuangannya akan mengakibatkan tidak bertemunya cita-cita ini. Alhasil kita akan kecapaian berjuang, sebab sparing partner kita adalah saudara kita sendiri.
Mengharap pemuda umat ini terbebas dari kebodohan, kemiskinan dalam waktu dekat ini rasanya sulit terwujud, sebab kedua-duanya memerlukan waktu penyelesaian yang panjang. Meski demikian sumber daya manusia (human resourches) pemuda islam yang banyak akan kembali membuka peluang untuk menancapkan kembali cita-cita pengembalian kepemimpinan umat atas bangsa ini. Namun untuk membangunkan umat dari keterpecahannya, dan menyatukan tujuan kita untuk memimpin bangsa, akan menjadi batu sandungan bagi umat Islam, sebab selain faktor pendidikan dan cara pandangan keagamaan yang berbeda-beda juga akan dihadapkan dengan isu-isu sekterian dan aliran yang akhir-akhir ini sering dihadapkan dengan isu nasionalisme.
Jika menilik pada kualifikasi dan modal yang perlu dimiliki untuk seorang calon, baik dalam pilkada maupun presiden, tampaknya cukup berat. Mungkin saja beberapa dari para pemuda muslim itu memiliki kemampuan baik dari segi kompetensi personalnya, kualitas pribadi, baik namun beberapa modal seperti modal politik dan modal finansialnya tidak mencukupi untuk membiayai hal itu semua. Namun dibalik itu semua, bisa jadi ada beberapa orang yang kompetensi pribadi yang diragukan namun memiliki modal finansial dan modal politik, sehingga mereka dapat merebut kursi kepemimpinan tersebut.
Tampaknya doanya Umar bin Khattab yang pernah dipanjatkan kepada Allah untuk dihindarkan kepada dua hal, yaitu kekuatan yang berpadu dengan orang fasik dan kelemahan yang berpadu dengan kesolihan sudah menampakkan kenyataan historisnya. Pandangan Jauh Umar telah menampakkan wujudnya nyatanya pada diri umat Islam yang secara pribadi memiliki hubungan erat antara dirinya dengan Tuhannya, namun lemah dalam aspek penguasaan teretorial dan geopolitik yang berakibat mereka hanya menjadi komoditas politik yang dijual dan terombang-ambing kemana-mana.

Kaderisasi kepemimpinan
Wacana kepemimpinan kaum muda merupakan wacana lama yang akhir-akhir ini diangkat untuk menyikapi kondisi perjalanan bangsa ini yang semakin terpuruk akibat dari peran pemimpin sepuh di segala sektor. Penyikapan ini yang membuat beberapa tokoh nasional angkat bicara tentang kepemimpinan kaum muda. Reaksi terhadap wacana ini bermacam-macam meski pada dasarnya semuanya menyambut wacana arus besar ini. Menguatnya arus wacana kepemimpinan kaum muda sejatinya menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti kepemimpinan model apa yang hendak ditawarkan kepada masyarakat, sebab untuk sementara ini wacana kepemimpinan kaum muda baru sebatas wacana dan belum menawarkan tipe kepemimpinan yang sama sekali baru. Serta tawaran apa yang hendak digulirkan kepada masayarakat.
Pemuda Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari NKRI ini tentu perlu merumuskan ini semua. Adalah Hassan Al-Banna yang melihat pada diri pemuda sebagai rahasia kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa. Fakta historis berulang kali diangkat dalam cerita-cerita kepahlawan Islam betapa ketangguhan Muhammad al-Fatih dalam usia 21 tahun mampu memaksa bizantium sebagai negara adi daya pada saat itu bertekuk lutut. Di sini dapat terlihat bahwa kepemimpinan kaum muda dalam wacana politik Islam bukanlah hal yang baru.
Akankah wacana kepemimpinan kaum muda ini menjadi fosil dalam khazanah sejarah islam, akan menjadi kesalah besar bagi kaum muda islam jika tidak datang dan berkontribusi kepada bangsa dan negara. Pertanyaannya adalah adakah kemungkinan bagi kaum muda untuk memimpin dan bagaimana langkah strategisnya. Pandangan optimistik harus selalu ada dalam umat ini, sebab pada dasarnya Allah mewariskan bumi beserta isinya untuk hamba-hambanya yang saleh, pertanyaannya adalah bagaimana mempersiapkannya. Ada beberapa langkah untuk menggapai kualitas kepemimpinan yaitu pertama mempelajari segala aspek keilmuan yang akan menyokong kekuatannya untuk memimpin baik dari segi ilmu humaniora, teknologi dan keislaman. Pada masa Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, Umar, Abu bakar dan Utsman merupakan pelahap ilmu dari Rasulullah, pasca Rasul wafat, mereka tampil menjadi seorang pemimpin yang kompetensi keulamannya yang handal. Dalam salah satu atsarnya, Umar berkata; “tuntutlah ilmu sebelum memimpin”.
Kedua, uji publik dengan cara diberikan amanah publik yang dengan itu mereka akan dinilai oleh masyarakat tentang kualitas kerjanya. ketiga, membangun membangun tim keumatan yang kokoh yang memungkinkan kader terbaiknya dapat dihantarkan menjadi puncak pimpinan disegala posisi, sebab tanpa amal Jama’i umat akan kembali menjadi penonton pesta yang sesungguhnya untuk dirinya. Kesatupaduan umat akan berbanding lurus dengan daya tawarnya. Semakin kuat jalinan ukhuwah, maka akan kembali menaikkan posisi tawar umat.
Meski demikian, kualitas pribadi seseorang tidak selamanya berbanding lurus dengan hasil yang akan didapatkan, sebab partai-partai masih belum melirik kaum muda yang tidak memiliki tiga modal, yaitu modal sosial, modal finansial dan modal politik. Hitung saja, siapa manusia muslim yang pintar, terkenal serta kaya raya. Tentu saja masih terbatas, oleh sebab itu lagi-lagi kepemimpinan akan diraih oleh kaum tua yang mapan. Hal ini tentu akan berubah jika para pemuda mengalami percepatan dalam kematangan karakter, kekuatan finansial dan kemampuannya, sebab popularitas dapat didongkrak dengan tim sukses yang handal. ‘ala kulli haal, kepemimpinan realistisnya adalah yang layak dipilih menurut versi komunitasnya, sebaik apapun kualitas kepemimpinan seseorang, jika rakyat tidak menghendaki, maka cita-cita itu tinggallah keinginan belaka. Oleh sebab itu, saya sepakat jika kepemimpinan adalah pertarungan pengaruh dan perebutan persepsi.
Alhasil bagaimanakah propektif ke depan tentang kepemimpinan kaum muda, dalam waktu dekat rupanya masih sulit untuk terrealisasi, namun seiring dengan kedewasaan publik, percepatan kematangan pemuda dan perubahan kebijakan partai maka kepemimpinan kaum muda akan bisa terrealisasi. Insyaallah


*Pemerhati sosial politik Islam, tinggal di kota Malang, sekarang diamanahi sebagai Ketua
KAMMI Daerah Malang periode 2006-2008


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)