Kamis, 21 Agustus 2008

Menakar Arti Kemerdekaan

Sudah sering kita melakukan peringatan 17 agustusan dengan segala variasi kegiatannya, umbul-umbul yang berwarna merah dan putih menghiasi jalan raya dan jalan kampung, rumah-rumah dan perkantoran seakan tidak mau kalah, mereka mengecat temboknya dengan warna putih, seakan mereka ingin mengatakan bahwa mereka telah bersih dari segala noda dosa, seberat apa pun kesalahannya. saya kira siapa pun orangnya, selama dia mengaku berbangsa satu berbangsa Indonesia mesti akan melakukan perayaan kemerdekaan, kecuali mereka yang telah mengalami pengalaman traumatik dengan arti kemerdekaan bangsa ini.
Saya coba untuk melakukan conter refleksi, adakah perbedaan di saat saya merefleksikan arti kemerdekaan dengan tidak merefleksikannya sama sekali, apakah ada perbedaan ketika saya ikut panjat pinang dan meneriakkan kata “MERDEKAAAA” dengan tidak? ternyata apa yang terjadi ? tidak terjadi apa-apa sama sekali, saya tidak dicekal karena negara tidak mengurus refleksi, saya juga tidak dituduh makar, sebab definisi makar hanya bagi eksekutor, bukan bagi para reflektor.
Alhasil saya pun mengkondisikan mental saya untuk menanggapi seremoni kemerdekaan dalam kadar biasa saja. Kalau begitu apa arti dari sebuah perayaan kemerdekaan bagi saya dan mungkin dan yang lain juga? Sejatinya arti kemerdekaan bukan pada perayaan namun lebih pada kondisi diri kita yang terbebas dari segala penyakit jiwa yang selalu menghinggapi manusia-manusia alpa, itu definisi saya pribadi.

Namun kenapa masyarakat masih begitu antusias untuk merayakan hari kemerdekaan? Mungkinkah masih ada segenggam kekuatan dalam bungker jiwa anak bangsa ini untuk berani menatap tanahnya yang kian kerontang karena dikerontangkan sejumput manusia? Saya hanya mengira-ngira saja jawabannya, sebab tidak ada jawaban logis yang saya temukan untuk menemukan arti dari antusiasme anak negeri ini di tiap HUT RI ini.
Akhirnya saya coba untuk melihat dalam diri anak bangsa ini, barangkali jawabannya justru terletak pada harapan yang ada dalam masing-masing diri anak bangsa ini, ya…harapan bahwa suatu saat bencana yang menimpa tanah, air dan langit mereka akan segera sberakhir, namun kenyataannya seringkali haparan itu tidak dibatasi oleh waktu, sehingga harapan tinggal harapan, meski ruh telah meninggalkan raga, dan harapan pun hanya dikenang oleh satu generasi setelahnya saja. Kasihan sekali para mayoritas pandir yang telah menjadi objek para minoritas. Padahal bumi ini hanya didesain untuk memenuhi kebutuhan para penduduknya secukupnya saja, bukan untuk si serakah.
Bagi saya, selama anak negeri ini berkuasa atas dirinya sendiri, arti kemerdekaan hanya sebuah slogan yang disematkan untuk anak negeri ini supaya harapan itu tetap ada dalam dada, sementara darah mereka diserap oleh segelintir manusia serakah, anak negeri ini mungkin saja tertawa tapi tawanya mereka kian hari kian melemah. Mungkin ini adalah pandangan yang radikal, namun untuk menebas kabut waham, perlu sekali untuk berfikir radikal.
Dalam setiap dzikir pagi, beberapa dari kita mewajibkan dirinya untuk membaca al ma’tsurah, dalam doa itu ada doa yang menjadi penawar penyakit jiwa, yang artinya kurang lebih “ Ya Allah jauhkanlah saya dari kebingungan dan kesedihan, dari perasaan lemah dan kemalasan, dari sifat pengecut dan kikir, dan dari dominasi manusia serta lilitan hutang. Ada bagian dari raga saya yang bergetar bila membaca doa itu, itu adalah doa yang lafaznya bertenaga, sebab bila hal yang digambarkan dalam doa itu tiada dalam diri kita, maka yang hadir adalah perasaan merdeka, merdeka dari penjajahan (dominasi manusia dan lilitan huntang), tekanan psikologis (ham dan kesedihan) serta mentalitas inlander ( pengecut, kikir, lemah dan malas).
Namun kenyataan itu masih hadir dalam diri kolektif kita, kejadian miris itu selalu menjadi berita harian anak negeri ini, cerita menyedihkan seperti berita kemiskinan dan konflik, berita ketakutan seperti pembunuhan dan teror, berita menjengkelkan seperti ketidak berdayaan aparat untuk menggeser para perusak (mufsid) tanah air ini selalu saja menghiasi mozaik batin kurus anak bangsa ini.
Berita-berita itu telah menjadi cerita harian yang menghiasi narasi perjalanan karnaval peradaban yang pernah menjadi penguasan masa lalu itu, akibatnya, rasa sedih dan iba terhadap berita negatif itu telah hilang dari jiwa anak negeri ini, kebal sekaligus bebal terhadap keterpurukan ini telah datang menggantikan keramahan yang menjadi icon bangsa melayu itu.
Pertanyaannya adalah apakah kemerdekaan ini masih menjadi seremonial atau telah menjadi pekerjaan untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme anak negeri ini sekaligus memicu rasa geram dalam dada-dada tipis ini terhadap keringkihan demi keringkihan yang antri di depan kita meski untuk mengibas lalat yang hinggap di kepala kita? Barangkali pikirannya belum ke sana. Mungkin anak negeri ini telah terlalu lelah untuk berfikir mendalam.
Rasanya tidak adil bila Allah membiarkan kita tersiksa seperti ini, sementara orang lain yang menghisap kekayaan bangsa ini sedang menjadi aktor penegak keadilan dan penyelamat ekonomi negara, mungkin sudah saatnya kita coba untuk menerawangi maksud Allah yang diwakili oleh surah 2 ayat 286 “ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…..”.
Namun pertanyaannya adalah kapan kesanggupan yang kita miliki itu berbobot lebih kuat dari pada kesanggupan para penghancur bumi ini? Sebab kenyataannya justru kita terlihat tidak berdaya.
Arti dari Sebuah Sejarah
Menerabas ilalang kering, menempuh lika-liku jalan panjang dari perjalanan bangsa ini bukanlah hal yang terlalu sulit, sebab referensinya cukup banyak, yang tersulit justru mengambil makna dari yang tersirat, tidak hanya membaca dari yang tersurat. Mungkin menjadi tragedi bila sejarah tinggal rentetan tanggal dan peristiwa yang harus dihapalkan, ia bukan kenyataan mati yang tiada arti, namun sebaliknya justru dibalik sejarah terdapat rahasia dari berbagai rahasia kehidupan.
Jika sejarawan barat meyakini bahwa sejarah adalah perjalanan lurus yang tiada ujung, adalah Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa sejarah adalah perjalanan melingkar yang satu kejadian dapat ditemui di masa depan, posisi hari ini dapat menjadi kenyataan terbalik di esok hari.
Pendapat Ibnu Khaldun itu memperlihatkan trahnya, lihat fenomena kaum Nabi Luth tampak merebak akhir-akhir ini, kesombongan kaum ‘Ad dan Tsamud cukup terlihat jelas dalam pentas politik dunia, barangkali kehancuran negeri-negeri masa lalu akan juga dialami karena salah mengelola negara dan gaya hidup yang boros. Semuanya tampak jelas terlihat.
Perjalanan bangsa ini tidak melulu dihiasi elegi, tapi banyak juga cerita Heroik tentang bagaimana komitmen patih Gajah Mada dengan sumpah palapanya berambisi untuk menyatukan nusantara, cerita perlawanan rakyat Aceh yang membuat kompeni kewalahan, cerita bagaimana kerajaan demak dengan segala kejayaannya, semuanya jelas menunjukkan bahwa anak-anak negeri ini memiliki DNA kepemimpinan dan kekuasaan.
DNA itu menunjukan realitas sebaliknya, barangkali kealpaan itu telah benar-benar melanda bangsa ini, padahal George Santayana (1863-1952) filosof spanyol pernah memperingatkan bahwa mereka yang gagal mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan dapat mengulangi pengalaman sejarah itu.
Kekuatan Diri
Setiap bangsa memiliki caranya sendiri untuk menghadapi persoalan yang dihadapinya, jadi keliru bila kita berharap orang lain untuk membantu, apalagi membuat orang lain kasihan, yang bisa membuat bangsa ini kuat adalah anak-anak zamannya. Saya melihat harapan untuk sudah mulai menemukan kenyataannya, diantaranya tidak ada lagi rezim yang sangat kuat dan otoriter, hadirnya anak-anak muda dalam pentas kepemimpinan, terlihat juga anak-anak Indonesia yang tampil menjadi juara dalam berbagai event internasional bahkan lebih dari itu, kebebasan berpendapat dan bersikap juga sudah menemukan ruangnya, ini adalah kesempatan semua orang untuk berpartisipasi mengisi ruang-ruang publik.
Kenyataan ini bermakna bahwa kita sebenarnya memiliki kekuatan untuk berdaulat penuh atas diri kita tanpa ketergantungan kepada orang lain, jawaban inilah yang saya ketahui supaya penyakit mental ini hengkang dari diri kita, tanpa keberanian untuk itu, mungkin saja kita harus mengeja kembali perjalanan karnaval panjang dari negeri-negeri yang mati. Bukankah Allah berfirman dalam surah Ar Ra’d : 11 “ Allah tidak akan mengubah nasib satu kaum sampai mereka sendiri yang merubah apa yang terjadi pada diri mereka. Dengan kata lain, upaya tersulit justru bukan melawan orang lain, namun melawan diri sendiri. Wallahu a’lam.

1 komentar

  1. dirgahayu juga buat "pemikiran" antum!!! semoga idealisme antum tidak terkikis hujan yang sudah mulai turun.

    jangan lupa amunisi untuk melawan diri sendiri: es krim, ikan nila bakar, kerak telor dan sebangsanya.
    he... he....

    BalasHapus


EmoticonEmoticon