Minggu, 08 Juni 2008

Kuasa Media

Tanggal 1 juni kemarin kita dikejutkan oleh penyerangan FPI terhadap AKKBB di lapangan monas, begitu informasi yang mendengung-dengung media dalam benak kita, dan saya coba memantau terus media yang meliput kejadian itu, menganalisanya baik dari diksi maupun pilihan gambar yang ditampilkan. Pengaruh dari insiden ini cukup masih terasa hingga kini. Tampak jelas bahwa insiden ini memiliki pengaruh besar baik dalam kontek hubungan beragama maupun kepentingan elit partai politik dan pemerintah. Saya tidak hendak memberikan segudang teori konspirasi yang biasa dipakai para fundamentalis, namun yang hendak saya lihat adalah bagaimana kuasanya media dalam membentuk tampilan kebenaran dan kejahatan dalam pikiran kaum pandir yang ternyata selalu hadir sebagai silent majority.


Awalnya saya tidak begitu peduli dengan aksi penyerangan itu, sebab FPI memang sejak awal identik dengan kemampuan anggotanya dalam mengobrak-abrik tempat kemaksiatan, konsisten dalam menyuarakan suara Islam yang mengakar dan mendasar lewat masa akar rumput. Namun saya kemudian menjadi terkejut di saat begitu banyak komentar dari para tokoh yang memang menyudutkan FPI dan saya juga tidak kalah terkejut di saat media secara nyata lebih banyak menampilkan kejadian penyerangan FPI terhadap AKKBB, dan sedikit sekali menampilkan aksi faktor pemicu, maupun dari kemasan aksi AKKBB dan pesan yang hendak disuarakan. Bagi saya ini seperti menayangkan peristiwa perkelahian dua kelompok, namun alpa untuk menampilkan proses sebelum perkelahian itu dan siapa yang memulai.

Surat pernyataan munarman sempat mampir ke Millis yang saya ikuti, ternyata masa AKKBB melakukan pelecehan terhadap massa FPI yang sedang aksi BBM. Ada dua hal yang kontradiksi yang saya lihat. Pertama aksi yang dilakukan FPI pada awalnya adalah aksi untuk menolak kenaikan harga BBM; kedua aksi yang dilakukan AKKBB adalah aksi untuk memperingati hari kelahiran pancasila. Persoalannya adalah kenapa dua aksi yang berbeda bisa menimbulkan kericuhan. Informasi yang saya dapatkan dari munarman sebenarnya kericuhan itu diawali dengan pengejekan yang dilakukan AKKBB terhadap FPI yang menyebutnya sebagai laskar setan, dll. Saya kira ini yang tidak banyak diungkap media.

Dalam kasus ini, media cukup berhasil dalam menciptakan simulakra, di mana persepsi orang benar-benar tidak nyambung dengan realitas yang ada, cara mudah untuk menentukan simulakra sebenarnya mudah saja, yaitu dengan cara membandingkan apa yang terjadi di lapangan dengan kenyataan imajiner yang terjadi dalam persepsi orang. Kejadian yang terjadi sesungguhnya siapa sih yang mesti ditangkap? Tentu ini pertanyaan mendasar, bagi saya sebenarnya AKKBB yang harus ditangkap, sebab sejak awal aksi mereka tidak berizin, sedangkan FPI justru sebaliknya, dan isi aksinya justru berkutat seputar BBM. Selain itu, siapa pematik kerusuhan, dalam konteks ini, saya melihat justru AKKBB pemicunya, dengan demikian, seharusnya, penyerangan FPI terhadap AKKBB justru perlu ditinjau dalam konteks seseorang yang marah karena dihina oleh orang yang sedang melakukan aktivitas yang ilegal. Namun persepsi yang terbangun di akar rumput justru, FPI yang mengamuk bagai banteng ketaton yang sengaja datang mengobrak-abrik aksi damai AKKBB.

Tentu saja tujuannya menciptakan histeria masal, di mana setiap orang yang mendengar kata-kata FPI akan muncul reaksi yang sama, yaitu kemarahan.

Saat ini saya melihat posisi FPI dalam kondisi sulit, sebab persepsi masyarakat sudah terbangun dalam gambaran negative. Saya tidak akan mengupas banyak tentang scenario dibalik itu semua, namun saya tertarik pada bagaimana peranan media secara terampil menghadirkan persepsi imajiner pada masyarakat luas (awam) yang kemudian menciptakan bayangan buruk terhadap FPI.

Bila kita merujuk pada proses memori yang selama ini dikenal, kurang lebih ada 3 proses, yaitu input, proses dan output. Siapapun tahu bahwa input, proses dan output rata-rata menciptakan hasil yang tidak jauh berbeda. Mudahnya, bila seseorang terbiasa hidup dalam dunia yang penuh kekejaman, sejatinya dia telah memberikan input kekerasan dalam dirinya, bisa dipastikan seluruh fikiran, watak dan tindakannya mesti keras. Hal serupa juga terjadi pada pelaku pemerkosaan, maupun profesional, mereka terbiasa dikelilingi oleh dunia mereka.

Dalam konteks ini, tampaknya media benar-benar mengepung imaji masyarakat dengan gempuran tampilan penyerangan FPI yang ditayangkan berkali-kali, tentu saja tidak berimbang dengan tampilan isu yang dibawa AKKBB, peristiwa pematik bentrokan dan aksi ilegal yang dilakukan AKKBB yang nyaris (tepatnya tidak) pernah diangkat oleh media.

Tampilan buruk itu kemudian menemukan momentumnya, seakan-akan semua elemen yang membenci FPI nyaris tumpah ruah mengeluarkan segala unek-uneknya. Dalam tinjauan Psikologi Sosial, Massa relatif mudah digerakan dan mereka tidak memiliki pikiran yang rasional dan, bukan tidak mustahil ada aktor intelektual yang bermain, padahal sejatinya menurut saya yang justru bersalah adalah pemerintah itu sendiri yang lamban memberi keputusan terkait dengan posisi Ahmadiyah. Jika sudah begini, maka Ahmadiyah menikmati nafas yang (bisa diper) panjang, pemerintah tidak lagi pusing dengan demo-demo mahasiswa, germo pun berpesta pora karena tidak lagi sport jantung melihat FPI. Tunggu saja sampah masyarakat akan menghampiri masyarakat, di saat aparat tidak lagi berdaya melihat cukong dan germo berkeliaran di mana-mana.

1 komentar

  1. ya itu kan politiknya media dan kepentingan politik yang bermain itu yang menggerakan massa.
    kalo ane sih ga peduli sapa yang salah sapa yang benar, itu urusan hukum.. sebagai masyarakat awam terima jadinya keputusan hukum. cuman yang tidak pernah ane sepakati adalah tuntutan membubarkan ahmadiyah ataupun pembubaran FPI. ahmadiyah punya hak atas keyakinannya, pun demikian FPI punya hak untuk berserikat dan berkumpul. jadi, wajar kalo masing2 mencari suaka untuk menyelamatkan haknya.akhirnya, ya begini ini indonesia kalo hukum tidak menjadi panglima

    BalasHapus


EmoticonEmoticon