Minggu, 09 Mei 2021

DI AMBANG BATAS KESABARAN

Tadi siang, saya bersama isteri dan anak anak keluar rumah, belanja beberapa barang yang diminta ibu mertua. Berhubung ibu sedang dapat amanah stroke ringan, tentu mobilitasnya terbatas, kami kami yang sehat memback up beberapa keperluan beliau.


Keluar di siang hari ini memang ujian tersendiri, panas, lapar kompak bergabung menjadi 1 kesatuan utuh, apalagi saya mengajak 3 anak, termasuk yang balita.


Seusai belanja titipan ibu, istri mentraktir saya beli sandal, wah menarik juga nih, sesekali ditraktir istri kayaknya gak akan menurunkan level kelelakian saya, saya pun mengiyakan. Saat saya belanja, memang cuaca cukup terik, anak yang bungsu usia 2 tahunan ini mulai terasa indikasinya menuju rewel, mulai ngoceh, banyak maunya dan tidak fokus. Saya sudah hafal banget polanya diluar kepala.


Ya gabungan antara lapar, penat, sumpek dan cuaca panas.  Eh bener, si bungsu mulai dia mulai nunjuk nunjuk beberapa barang dia sukai, minta digendong, terus minta turun dan jalan kaki ke jalan raya, wah ini, gak bisa saya titipkan ke si sulung, yang saya lihat juga sedang capek dan lapar. Yes saya putuskan turun tangan, handle sendiri. Sementara istri belanja di dalam. Yuh, lapar ini gak terlalu mengganggu, namun lemasnya badan rasanya gagal mengimbangi power si bocil ini, energinya seperti tidak ada habisnya. Anak  ini bak robot dengan energi penuh, dan benar, perut agak mual, dan agak sesak, saya hafal betul ini tanda yang biasa ada jika saya sedang memasuki ambang batas kesabaran.


Menepi sejenak itu bukan pilihan baik, sebab saya harus gendong anak supaya tidak lari ke jalan raya, namun emosi terus berdentuman, bergelagak minta diekspresikan. Duh pakai metode apalagi ini, berselancar antara rasa bahagia dapat sendal baru dan rasa lelah, sumpek dan lemes bergabung.


Istri keluar tidak membawa hasil, karena ukuran sendal yang sesuai dengan kaki saya ternyata belum ketemu.


Okey, urusan sandal lupakan sejenak, bisa cari di toko yang lebih sepi. Akhirnya keputusan terakhir adalah kembali masuk ke mobil, dengan AC level akhir.


Apakah masalah sdh berakhir? Belum ternyata, si bocil yang ngantuk tapi tidak mau tidur kembali berulah, apa pun yang dilakukan si kakak semua tampak salah, semua menjadi dalih untuk dia kembali heboh dan berteriak.


But no problem, AC di mobil ini setidaknya menciutkan nyali emosi saya untuk ngajak gelut, dan selebihnya memberi tenaga saya untuk kembali stay cool di titik netral.


Ada pun sandal akhirnya terbeli, semua titipan mertua pun terbeli, si kakak pun sudah makin cooling download meski si bungsu tetap mengoceh. Sesampainya di rumah jam 14.20, yang saya cari cuma 1, kasur, terkapar sejenak dan langsung terbuai lelap.


Bahagianya lelaki ini sederhana sekali, biarkan makan kenyang dan biarkan tidur lelap, yang lain lain mah urusan akan kelar dengan sendirinya, dan siang ini saya benar benar hanya ingin tidur.  Jujur saya beruntung sekali menjadi lelaki.


Sabar kata beberapa orang memang levelnya di bawah ridlo, sebab secara harfiah sabar itu menahan, bukan plong. Namun kalau  bisa meresapi perkataan Abu Bakar "Memang sangat sulit untuk bersabar, tetapi menyia-nyiakan pahala dari kesabaran itulah yang lebih buruk " Pada akhirnya kita semua makin pandai, ya pandai memilih waktu dan tempat yang tepat untuk merelease emosi negatif, tepatnya  meledakkan emosi, atau membiarkan emosi amarah itu ciut dengan sendirinya, itu soal selera dan kemampuan.

 


EmoticonEmoticon