Nama itu yang tiba-tiba muncul di benak saya ketika bangun pagi tadi, kebetulan juga dia mengirim pesan pendek, pesan seperti biasanya, pesan yang menggambarkan gelora dalam batinnya, kejadian sering yang dialami para idealis ketika dihadapkan pada pilihan.
Saya kenal dia sekitar 1 semester yang lalu, saat itu saya bersama teman-teman berangkat ke Sukoharjo, ke walimah teman saya, temen saya bilang "Rom kita berangkat rombongan aja, sama si anu, si anu, dan Ari".
Kening saya berkenyit siapa itu Ari? Saya balik bertanya
"arek iki" jawabnya ringan
"Oke, sekalian saya cari kenalan baru". Saya jawab ringan juga.
Saya ketemu rombongan di terminal Solo, sebab saya berangkat dari Tasik dan mereka dari malang, jadi ketemunya di Solo. Perjalanan ke walimah dan pulangnya ke Malang sepertinya meninggalkan moment yang terlalu luar biasa, semuanya berjalan seperti apa adanya.
Lama setelah pertemuan itu, saya ternyata bertemu kembali dengan teman saya ini, Ari.
“he...he sering banget ya ketemu” batin saya,
“kok mau-maunya bantu agenda kita, padahal dia itu bukan siapa-siapa, “ saya membatin.
Meski begitu saya merasa bahagia karena pada saat itu saya memang butuh bantuan teknis dan Ari ini saya kira cukup telaten untuk menangani panitia yang dadakan itu.
Setelah beberapa kali komunikasi dengan Ari, lebaran Ari menyampaikan tahni’ah iedul fitri dan beberapa hari yang lalu dia mengabari bahwa tanggal 25 bulan ini mau kembali ke Surabaya, hemm orang luar biasa ini akhirnya pulang juga.
Terus terang saya tidak begitu banyak memahaminya terlalu dalam, sebab pertemuan dengannya cukup singkat bahkan terlalu singkat untuk menuai persahabatan, namun saya akui chemistri psikologis sudah terbangun karena pembawaannya yang kalem dan mengalir, tidak banyak tuntutan, mrimo namun bermartabat. mudahnya perwujudan tipologi manusia jawa dengan gemblengan pesantran yang belum terkontaminasi modernitas ternyata banyak terpenuhi dalam dirinya. Siapa pun orang yang pernah mengenalnya, dia akan terlihat seperti merpati, terlihat jinak dan mudah didekati tapi sulit ditangkap, karena pilihan hidupnya yang prinsipil. Itu yang membuat dia terlihat beda.
Ada beberapa hal yang saya sukai dari diri Ari ini, namun yang paling penting justru terletak pada orisinilitas kepribadiannya, tipis sekali mask nya, itu yang membuat dirinya cukup punya tempat dalam hatinya saya, so di saat dia memutuskan untuk kembali ke surabaya, saya merasa kehilangan banyak. Ini adalah kehilangan ke 2 setelah teman saya dari madura memutuskan untuk kuliah di negeri seberang. Perasaan ini saya akui tidak masuk akal, sebab zaman sekarang, koneksivitas bukan lagi kendala. Ya biasa, rasa hampa itu diam-diam menjalari sanubari saya, saya kira siapa pun akan mengalami yang sama.
Pertanyaannya adalah kenapa saya harus merasa kehilangannya, padahal ketemu aja jarang, apalagi saya bukan siapa-siapanya?, nah saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini secara mendetail, barangkali kimiawi psikologis yang sinerjik membuat rasa itu hadir begitu saja.
Meski saya supel dalam bergaul namun untuk mengkavling seseorang dalam batin saya ternyata butuh waktu yang lama, namun untuk teman saya Ari ini ternyata mengalami istisnaa. Pengalaman ini cukup unik bagi saya.
Yaaa saya berharap teman saya ini bisa sukses di surabaya, menjadi apa pun pililhan benarnya. Memang tidak usah melupakan jaringan persahabatan ini, namun pandangan jauh di masa depan harus di kuatkan, bila tidak, maka perjalanan ini akan menjadi travel yang hanya melihat ke kaca spion.
Ads 970x90
Selasa, 21 Oktober 2008
Ari Nugroho
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon