"Pak, bukankah di atas langit yang gelap masih ada cahaya bebintang", ungkapan itu mengalir bebas dari mulut mungil seorang siswi bermulut mungil ini, saya terhenyak kaget, tidak menyangka kalau kata-kata itu menerabas gelapnya rongga-rongga kecil otak yang nyaris tanpa cahaya kecuali kilatan demi kilatan inspirasi. Sejenak saya ingin sekali tidak peduli dengan kata-kata itu, sebab perhatianku saat itu banyak tersita untuk melihat pertandingan bulu tangkis antar kelas. Namun apa daya, saat itu pikiran dan jiwaku terhipnotis oleh kekuatan magis kata-kata itu.
Saya hanya bisa menanggapinya dengan kata "iya, betul". Ungkapan itu baru masuk dalam sanubari. Ungkapan itu benar-benar menjadi pembuktian kalau surat yang ia buat ternyata memiliki jangkauan di atas anak seusianya, ia seperti manusia dewasa yang berfisik anak yang baru menginjak remaja.
Tahukah perasaan saya sekarang ?
Saya merasa menyesal, menyesali cara saya yang sok dalam menanggapi anak seumur jagung itu, saya sadar bahwa itu adalah cara terdungu yang pernah saya lakukan ketika berinteraksi dengan remaja.
Saya merindukan suasana saya perbicangan itu berlangsung, suasananya sangat personal meski di tengah hiruk pikuk. Kilatan inspirasi itu gagal saya tangkap sekali lagi gagal saya tangkap yang mungkin saja cahaya itu bukanlah bumerang yang akan kembali lagi. Ah betapa bodohnya aku.
EmoticonEmoticon