Tanggal 28 Mei kemarin saya minta izin untuk tidak ngantor dengan alasan mau menyelesaikan urusan wisuda. Hmmm tak terasa saya akhirnya bisa wisuda juga, sebuah prosesi yang njlimet bagi manusia seperti saya. Terus terang saya belum pernah menjalani aturan sejelimet ketika bikin skripsi, spasi diatur, kata hubung jangan ada di depan kalimat, semuanya harus ada dalil dan kutipan, bahasanya pun diatur sedemikian rupa supaya terkesan ilmiyah, pernah saya buat kalimat yang awalannya “dahulu kala”, ternyata harus dicoret. Saya fikir dosen tidak keliru, sebab beliau hanya melaksanakan sistem saja. Bolak-balik harus direvisi. Meski demikian memang terus terang saya lumayan takjub juga dengan perkembangan UIN Malang saat ini terutama pada bangunannya. Soal orangnya yang saya takjub dengan beberapa dosen tapi juga tetap bisa belum mengerti pada beberapa aspek, terutama di fakultas saya, fakultas Psikologi. Kok bisa, gimana itu ceritanya.
Begini ceritanya; saya berangkat dari blitar jam 17.30 sampai ke Malang jam 20an. Kebetulan hari Ahad, jadi warnet langganan saya biasa ngasih diskon. Kesempatan ini gak saya sia-siakan. Suntuk juga memang, sekitar jam 23 adik kelas saya Ridho menghampiri saya, kok tahu-tahunya saya ada di sana, anak ini memang suka bercerita apa aja, tentang organisasi, tentang kuliah, akademik termasuk tentang fakultas, berjam-jam bicara sama dia tiada habisnya, nah sampailah pembicaraan kita ke fakultas. Yang dibicarakan oleh dia adalah konsep keilmuan dan implementasinya yang cukup njlimet untuk otak ukuran rata-rata orang pragmatis, apalagi yang mata duitan, namun jelas hal ini dinikmati banget oleh orang penerawang yang suka konsep abstrak.
Jelas benar itu, setiap seminar psikologi yang diadakan di UIN rata-rata mesti filosofis, contoh; integrasi sains dan islam, menjadikan psikologi Islam sebagai trademark, puiiih berat banget. Nah kebetulan (bukan kebenaran yaaa) temen saya baru magang di salah satu perusahaan ternyata gak ditanya blas bagaimana marketing Islami haa….haaa.haaaa. ujungnya aaaah. Dugaan saya, fakultas sedang bereksperimen untuk menentukan positioningnya, sebab kalau berkutat dalam bidang yang sama (psikologi konvensional) UIN gak punya yang bisa dijual. Saya inget temen saya yang mencak-mencak sama dosen penguji skripsi.. “Pak, saya gak peduli nilai saya C,D,E lha wong ujung-ujungnya aku kerja di tambak”. Keterlaluan memang.
Kembali pada positioning, namun pada saat yang sama, Tawaran UIN pun masih abstrak dan belum implementatif, tawaran UIN jelas Psikologi Islam, namun konsep itu masih abstrak, saya menduga hal itu disebabkan karena kapasitas pelaku pendidikannya masih dalam tarap uji coba. Nah loooo. Sekarang lebih berat lagi, ternyata para politikusnya juga sedang meregenerasi adik-adiknya, waduh ada apa lagi ni. Kenapa tidak dibahas aja tawaran Psikologi Islam dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia, terus terang selama ini (yang baru saya baca) Psikologi Islam masih banyak berkutat dalam psikologi mikro seperti pengaruh dzikir dan ketenangan jiwa, pengaruh shaum terhadap kesehatan mental. Kayaknya harus orang yang memang integral yang bisa nangani itu, kalau tidak maka akan selalu dalam kerumitan. Lha wong ngomong psikologi islam sementara hatinya bilang semua agama itu sama. Pie iki. Senang juga sih bisa ngajak beberapa orang untuk share tentang psikologi islam, meski saya lihat ruh perjuanganya belum begitu nampak.
Setelah urusan di Malang selesai, jam 17.30 saya putuskan untuk pulang, biar gak terlalu malam, sekalian nunggu kereta api ke penataran yang berangkat jal 18.45, masih ada waktu sekitr 60 menitan lagi batinku. Tiba-tiba mata saya menangkap sesosok wajah yang sudah lama saya tidak ketemu, ya… itu Zulfikar, teman se kelas saya. Kita pun ngobrol ngaler ngidul yaa kira-kira 30 menitan, sampai dia pamit untuk beli tiket.
Tapi kok……tiket untuk ke blitar belum dibuka, heran jadinya, saya pun tanya ke penjaga tiket.
“Bu, kereta yang ke penataran jam brapa?”
“keretanya sekarang masih di surabaya, paling sampe sini jam 21 an. Gubrakkk, asli saya kesamber gledek, antara lucu dan rasa lucu bercampur baur jadi satu.
“Panjenengan mau ke Blitar?” tanya saya ke seorang Bapak separuh baya
“Inggih mas” jawabnya ramah.
“Sekarang keretanya masih di Surabaya, nyampe Malang kira-kira jam 21an kalau mau naik bis, monggo bareng sama saya” tukas saya tegas persuasif.
Bapak itu saling berpandangan, kalau boleh saya tebak, kimiawi batin yang sedang bergejolak dalam dirinya kurang lebih sama dengan yang saya rasakan tadi. Sesaat saya tunggu, karena kelamaan, akhirnya saya pamitan.
Saya pun berangkat ke arjosari, sesampai di sana, bis Restu sudah nongkrong di sana. Saya pun langsung naik dan duduk di belakang sopir. Puih lumayan lowong. Alunan lagu-lagu Sunda lumayan bisa mengobati kerinduan saya ke rumah.
“Mas, ini ke Bliltar?” saya memastikan ke penumpang lain
“Bukan Mas, ini yang ke Surabaya” jawabnya pendek
O ya..... saya mengangguk-angguk polos, tepatnya bodoh, saya langsung turun seketika. Dipikir-pikir, ada apa dengan hari ini, kok bisa rada sial gini.
Saat itu juga saya langsung nyari bis yang ke blitar, dan ….. ketemu, masih merek restu.
Posisi duduk di kursi yang sama dengan yang saya ambil di bsi restu pertama tadi, bedanya sekarang bukannya lantunan lagu-lagu sunda yang kalem, tapi suara dangdut koplo dari player bis itu menusuk-nusuk telinga saya,…..Masyaallah, ternyata……. Wah, bener-bener aboot. Penyanyi itu loh, kepala saya pun saya putar ke samping kanan, saya lihat pemandangan yang telah saya lalui berpuluh-puluh kali, ada pohon, toko dll. Bosen tapi lebih parah kalau malaikat pencabut nyawa itu datang ketika saya nonton dangdut yang aduhai. Leherku rasanya remuk, pegel lihat ke samping kanan terus.
Duuuh gusti, masak saya harus bernasib sial lagi… ternyata bener. Supirnya jadi panas atinya setelah bis Bagong nyusul, ini supir bisa saya pastikan kalau gak mabuk mungkin seperti mabuk, bayangin bis itu dipepet sampai jaraknya setengah meter dengan kecepatan tinggi, terus di selorejo, jalan yang berliku-liku itu dia terjang dengan kecepatan tinggi, jantung ini benar-benar kembang kempis. Gila ni sopir, kalau saya punya 9 nyawa dan kekebalan tubuh yang tinggi, bisa jadi saya memilih luncat dari bis itu, tapi yaaaa umat Islam gak boleh berandai-andai.
Yup, POM Bensin Agung sudah terlihat
“Pak Kiri Pak”
Segeer, ternyata nyawa ini masih menteger dalam raga ini, terima kasih ya Allah. Sesampai di asrama, saya harus merenung sehari itu, astaghfirullah barangkali ada kekeliruan yang tak saya perhitungkan sebelumnya.
Fisik, pikiran saya benar-benar minus malam itu, saya ambruk dalam perenungan, tidur pulas.
Begini ceritanya; saya berangkat dari blitar jam 17.30 sampai ke Malang jam 20an. Kebetulan hari Ahad, jadi warnet langganan saya biasa ngasih diskon. Kesempatan ini gak saya sia-siakan. Suntuk juga memang, sekitar jam 23 adik kelas saya Ridho menghampiri saya, kok tahu-tahunya saya ada di sana, anak ini memang suka bercerita apa aja, tentang organisasi, tentang kuliah, akademik termasuk tentang fakultas, berjam-jam bicara sama dia tiada habisnya, nah sampailah pembicaraan kita ke fakultas. Yang dibicarakan oleh dia adalah konsep keilmuan dan implementasinya yang cukup njlimet untuk otak ukuran rata-rata orang pragmatis, apalagi yang mata duitan, namun jelas hal ini dinikmati banget oleh orang penerawang yang suka konsep abstrak.
Jelas benar itu, setiap seminar psikologi yang diadakan di UIN rata-rata mesti filosofis, contoh; integrasi sains dan islam, menjadikan psikologi Islam sebagai trademark, puiiih berat banget. Nah kebetulan (bukan kebenaran yaaa) temen saya baru magang di salah satu perusahaan ternyata gak ditanya blas bagaimana marketing Islami haa….haaa.haaaa. ujungnya aaaah. Dugaan saya, fakultas sedang bereksperimen untuk menentukan positioningnya, sebab kalau berkutat dalam bidang yang sama (psikologi konvensional) UIN gak punya yang bisa dijual. Saya inget temen saya yang mencak-mencak sama dosen penguji skripsi.. “Pak, saya gak peduli nilai saya C,D,E lha wong ujung-ujungnya aku kerja di tambak”. Keterlaluan memang.
Kembali pada positioning, namun pada saat yang sama, Tawaran UIN pun masih abstrak dan belum implementatif, tawaran UIN jelas Psikologi Islam, namun konsep itu masih abstrak, saya menduga hal itu disebabkan karena kapasitas pelaku pendidikannya masih dalam tarap uji coba. Nah loooo. Sekarang lebih berat lagi, ternyata para politikusnya juga sedang meregenerasi adik-adiknya, waduh ada apa lagi ni. Kenapa tidak dibahas aja tawaran Psikologi Islam dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia, terus terang selama ini (yang baru saya baca) Psikologi Islam masih banyak berkutat dalam psikologi mikro seperti pengaruh dzikir dan ketenangan jiwa, pengaruh shaum terhadap kesehatan mental. Kayaknya harus orang yang memang integral yang bisa nangani itu, kalau tidak maka akan selalu dalam kerumitan. Lha wong ngomong psikologi islam sementara hatinya bilang semua agama itu sama. Pie iki. Senang juga sih bisa ngajak beberapa orang untuk share tentang psikologi islam, meski saya lihat ruh perjuanganya belum begitu nampak.
Setelah urusan di Malang selesai, jam 17.30 saya putuskan untuk pulang, biar gak terlalu malam, sekalian nunggu kereta api ke penataran yang berangkat jal 18.45, masih ada waktu sekitr 60 menitan lagi batinku. Tiba-tiba mata saya menangkap sesosok wajah yang sudah lama saya tidak ketemu, ya… itu Zulfikar, teman se kelas saya. Kita pun ngobrol ngaler ngidul yaa kira-kira 30 menitan, sampai dia pamit untuk beli tiket.
Tapi kok……tiket untuk ke blitar belum dibuka, heran jadinya, saya pun tanya ke penjaga tiket.
“Bu, kereta yang ke penataran jam brapa?”
“keretanya sekarang masih di surabaya, paling sampe sini jam 21 an. Gubrakkk, asli saya kesamber gledek, antara lucu dan rasa lucu bercampur baur jadi satu.
“Panjenengan mau ke Blitar?” tanya saya ke seorang Bapak separuh baya
“Inggih mas” jawabnya ramah.
“Sekarang keretanya masih di Surabaya, nyampe Malang kira-kira jam 21an kalau mau naik bis, monggo bareng sama saya” tukas saya tegas persuasif.
Bapak itu saling berpandangan, kalau boleh saya tebak, kimiawi batin yang sedang bergejolak dalam dirinya kurang lebih sama dengan yang saya rasakan tadi. Sesaat saya tunggu, karena kelamaan, akhirnya saya pamitan.
Saya pun berangkat ke arjosari, sesampai di sana, bis Restu sudah nongkrong di sana. Saya pun langsung naik dan duduk di belakang sopir. Puih lumayan lowong. Alunan lagu-lagu Sunda lumayan bisa mengobati kerinduan saya ke rumah.
“Mas, ini ke Bliltar?” saya memastikan ke penumpang lain
“Bukan Mas, ini yang ke Surabaya” jawabnya pendek
O ya..... saya mengangguk-angguk polos, tepatnya bodoh, saya langsung turun seketika. Dipikir-pikir, ada apa dengan hari ini, kok bisa rada sial gini.
Saat itu juga saya langsung nyari bis yang ke blitar, dan ….. ketemu, masih merek restu.
Posisi duduk di kursi yang sama dengan yang saya ambil di bsi restu pertama tadi, bedanya sekarang bukannya lantunan lagu-lagu sunda yang kalem, tapi suara dangdut koplo dari player bis itu menusuk-nusuk telinga saya,…..Masyaallah, ternyata……. Wah, bener-bener aboot. Penyanyi itu loh, kepala saya pun saya putar ke samping kanan, saya lihat pemandangan yang telah saya lalui berpuluh-puluh kali, ada pohon, toko dll. Bosen tapi lebih parah kalau malaikat pencabut nyawa itu datang ketika saya nonton dangdut yang aduhai. Leherku rasanya remuk, pegel lihat ke samping kanan terus.
Duuuh gusti, masak saya harus bernasib sial lagi… ternyata bener. Supirnya jadi panas atinya setelah bis Bagong nyusul, ini supir bisa saya pastikan kalau gak mabuk mungkin seperti mabuk, bayangin bis itu dipepet sampai jaraknya setengah meter dengan kecepatan tinggi, terus di selorejo, jalan yang berliku-liku itu dia terjang dengan kecepatan tinggi, jantung ini benar-benar kembang kempis. Gila ni sopir, kalau saya punya 9 nyawa dan kekebalan tubuh yang tinggi, bisa jadi saya memilih luncat dari bis itu, tapi yaaaa umat Islam gak boleh berandai-andai.
Yup, POM Bensin Agung sudah terlihat
“Pak Kiri Pak”
Segeer, ternyata nyawa ini masih menteger dalam raga ini, terima kasih ya Allah. Sesampai di asrama, saya harus merenung sehari itu, astaghfirullah barangkali ada kekeliruan yang tak saya perhitungkan sebelumnya.
Fisik, pikiran saya benar-benar minus malam itu, saya ambruk dalam perenungan, tidur pulas.
EmoticonEmoticon