Sabtu, 19 April 2008

Tidak Lulus

Rasa iba, sedih, kasihan bercampur aduk, bergelora dalam batinku, setelah melihat salah seorang ibu dari anak yang saya kenal itu tahu dan sadar bahwa anaknya tidak bisa masuk testing ujian masuk sekolah yang menurutnya ideal. Saya dan beberapa partner saya memanggilnya Mbak. Berhari-hari wajahnya terlihat muram durjana, meski setiap bertemu dia selalu mencoba untuk tersenyum, namun jelas terlihat guratan di wajahnya rasa getir yang tiada ketara, antara rasa sakit hati dan keinginannya untuk bersikap realistis terhadap kenyataan pahit yang baru saja menghampirinya.

Perlahan namun pasti, kelabu dalam sukma benar-benar menjalar dan menguasai sampai palung asa, saya...saya tidak kuasa untuk menyangkal bahwa hari itu saya merasa kasihan, merasa berdosa, ingin rasanya menolong ibu itu, namun apalah daya, saya harus berhadapan dengan sistem pendidikan yang selama ini masih berpihak kepada orang yang hemisfer kirinya lebih kelabu, sedangkan tipe selainnya adalah pelengkap.

Siang itu saya masuk di ruang mulitmedia, sengaja ingin menuliskan segala gumpalan asa yang menggelayuti batinku, tiba-tiba salah satu ustadzah masuk ruangan, tiba-tiba saja, tanpa dinyana, mulutku bebicara, “Bu..... sakiiiit rasanya hati saya” tatapanku lurus ke depan, namun kosong, hampa seperti suasana hati saya ketika itu, tak terasa, pipi saya terasa basah, hangat. Ups saya harus bisa menguasai diri, ini kantor bos, kebetulan Ustadzah itu memang tahu persoalan itu. Saya benar-benar terkejut, dengan kejadian yang baru saja terjadi, mulutku benar-benar berbicara otomatis, setelah itu saya langsung tergopoh-gopoh minta maaf, syukur dia benar-benar memahami persoalan ini dan sama-sama punya rasa simpatik.

Beberapa hari itu saya mencoba untuk menghindarinya, karena saya betul-betul sentimentil dengan kenyataan ini, betapa anak yang secara akhlak tidak banyak persoalan, kognisi yang cukup baik, namun sistem pendidikan yang diambil bangsa yang indentitas anak bangsanya banyak menggado-gadokan bahasa Inggris dengan bahasa indonesia ini benar-benar keji.

Ahhh kok sentimentil begini, padahal dia ini anak orang lain, memang sih benar, namun terkadang kedekatan saya dengan seseorang sering mendorong kedekatan afektif juga. Saya tahu betul dia, meski tidak sempurna namun bagi saya dia dibandingkan anak seusianya saya kira cukup baik. Saya tahu itu, karena sehari semalam memang dia bersama saya.

Saya kemudian merasa muak, benar-benar muak dengan kemunafikan yang selama ini betah tinggal bersama saya, rasa malu tidak bisa memaksimalkan potensinya, rasa malu karena kepribadian saya temprampental memang selalu saja menyembul dalam ruang nyata padahal sekuat mungkin saya tidak memperlihatkan itu. Rasanya saya ingin membayar hari yang telah saya lalui bersamanya, memancing ikan, menyuruhnya tidur, berdoa bersama, qiyamullail, waaaah rasanya terlalu indah untuk diungkapkan. Anak kalem ini sering membuat saya penasaran, sikapnya yang cuek, seenaknya sendiri, namun tidak kasar, ini yang membuatku menyukainya. Hidupnya sepintas terlihat statis, namun saya benar-benar terkejut setelah melihat dengan jelas, dia dan teman sekamarnya mendesain tempat tidurnya menjadi kemah, ya, benar-benar kemah. Sehari kemudian saya lagi-lagi dikejutkan, dia mendesain tempat tidurnya dari dua kursi tali karetnya, dan dia...dia benar-benar mendengkur dengan nyenyaknya, damai.

Sore harinya saya melihat anak itu duduk sendirian, menatap halaman depan rumah, dia merenung, namun entah apa yang dia renungi, entahlah apa yang dia pikirkan, dirinya memang selalu diselimuti misteri, baru saya melihatnya merenung. Ahh kau ini memang membuat saya merasa terharu.

“Mas, lagi ngapain?” saya tanya
“Nggak Pak” jawabnya pendek.

Mas, saya tak kuasa banyak membantu, hanya ini yang bisa saya lakukan. Beberapa hari kemudian, saya bertemu dengan Ibunya dan langsung saya tanyakan kabar anaknya, sekilas terlihat kegetiran dalam hatinya, betapa anak sulungnya itu tidak memenuhi harapannya untuk bersekolah di tempat unggulannya, betapa dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mendalami dunia anaknya yang unik itu. Memang sangat banyak ilmu yang perlu saya pelajari dan saya pelajari lagi. Supaya bisa memberi manfaat yang lebih banyak lagi.

2 hari yang lalu saya melihatnya tergolek sakit, saya terkejut, karena pagi itu dia masih terlihat ceria, seperti hari-hari sebelumnya. Sampai saat ini dia sakit, terasa betul saya merasa kehilangan dia, anak unik yang saya sendiri hanya tahu apa yang dia tampilkan, anak misterius, kreatif, seenaknya sendiri, tapi ramah. Semoga cepat sembuh.


EmoticonEmoticon