Kondisi manusia yang dipenuhi kabut misteri membuat psikologi menjadi ilmu yang menarik untuk dipelajari, baik praktek di lapangan atau pun di bangku kuliah, jadi pada intinya selama ada manusia maka psikologi akan selalu menarik untuk dipelajari kapan pun dan di mana pun, selama dia berani untuk untuk belajar. Mungkin suatu saat kita akan bergumam “ sarjana psikologi kok gak psikologis, ini jelas tanggapan murni dari lubuk hatinya di saat melihat para sarjana psikologi ternyata gagal dalam memahami dirinya sendiri dan gagal keluar dari keegoannya yang berlebihan. Atau mungkin suatu saat muncul lintasan fikiran “akhir-akhir ini ternyata sarjana psikologi makin banyak yang nganggur”. Bisa jadi ini ada benarnya, padahal objek pekerjaan insan psikologi adalah manusia, alam kecil yang terkoneksi langsung dari jagat luas. Nah kalau begitu kayaknya psikologi telah hilang spiritnya. Padahal di mana ada manusia maka di sana pasar psikologi.
Beberapa waktu yang lalu saya dapat sms dari salah seorang teman saya yang mengaku bahwa dirinya selalu was-was ketemu orang psikolog, he…heee mang mereka punya mata kayak paku yang bias menembus isi batin manusia, ah itu mah Cuma perasaan aja, tapi memang perlu diakui, ada memang beberapa orang sebel banget lihat orang psikologi, bisanya nganalisa orang, sampai dalem, kayak malaikat yang bias melihat dan menilai niat seseorang, tapi lupa bahwa yang perlu dianalisa sebenarnya adalah dirinya sendiri.
Bapak pernah minta saya untuk kuliah di fakultas syariah atau fakultas keislaman lainnya supaya bisa meneruskan Bapak, saya akui saya tidak mengikuti saran Bapak, ya seperti biasanya, Bapak dan Mamah tidak memilih untuk memaksa saya, Jujur saja, salah satu alasan saya mempelajari dan kuliah di fakultas psikologi karena saya merasa kesulitan untuk memahami siapa diri saya, saya fikir ini pertanyaan eksistensial yang perlu perenungan yang mendalam, saya terkadang begitu bersemangat, idealis, namun ada saatnya saya merasa begitu rapuh dan lemah, saya pun sering bertanya-tanya, kenapa orang-orang begitu betah membicarakan dirinya sendiri di depan saya tanpa merasa bosan.
Di sisi lain saya sering merasa takjub (ajiib) melihat interaksi manusia yang rumit, seperti konflik, cinta segitiga, kerja sama, ketertarikan dengan lawan jenis, pengalaman puncak, konsistensi, kepemimpinan maupun ide. Mmm, terkadang ada keinginan untuk menarik orang yang saya cintai untuk masuk dalam “dunia” saya, ada kalanya saya ingin masuk dalam dunia beberapa orang yang saya kagumi.
Salah satu yang sering membuat saya berdecak kagum adalah peranan kimiawi psikologi dalam meraih impian dan ambisi. Kimiawi psikologi yang baik adalah kondisi batin yang membuat perasaan nyaman berada di sisinya, merasa aman untuk berbagi dan merasa yakin berbagi bersamanya.
Mungkin saja kimiawi psikologis itu tidak dapat ditempatkan pada semua urusan, mungkin kimiawi ini hadir dalam innercycle hidupnya saja, dari lingkaran hidup inilah hidupnya menjadi begitu berarti. “Kenangan manis bisa datang dari sebuah permen” ungkapan ini secara tidak sengaja saya temukan dari salah satu film mandarin. Bias jadi ini ada benarnya juga, bila permen ini punya akses langsung kepada bungker memori yang mengingatkannya pada pengalaman yang berarti dalam hidupnya. Permen itu telah menjadi pematik ingatan yang kemudian membuka lembaran-lembaran ingatan maknawi itu.
Kembali kepada kimiawi psikologis, ada kalanya saya merasa begitu rapuh dan lemah, merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini hadir di sekeliling saya, merasa dilemahkan oleh orang yang selama ini sering saya bela dan saya sapa di saat mereka mengalami kesulitan. Mereka (atau mungkin saya) seakan sudah tidak peduli lagi dengan untaian benang pertemuan hidup yang membuat kita saling kenal dan rela mengorbankan harta dan waktu demi sebuah idealisme, saat itu saya tengah tidak menjadi diri saya yang kuat dan bersemangat, saya tidak lagi menjadi diri saya sendiri.
Orang bilang hal itu biasa, namanya hidup, Bapak pun pernah menasihati, hidup itu seperti berjalan, ada kalanya harus menghindar ke kiri atau ke kanan, atau mungkin mundur, sering pula mengharuskan kita untuk terus maju. Ungkapan di atas memang benar adanya, namun saya harus jujur pada diri saya bahwa saya tidak dapat menyangkal, bahwa saya kecewa, perasaan ini malah menjadi ambigu di kala orang itu datang meminta bantuan…. Hhhh saya perlu berulang kali menarik nafas berat saya. Pengalaman buruk itu kembali berkelebat dalam fikiran saya, namun menolak memberi bantuan bukanlah bagian dari sifat seorang muslim.
Saya kembali dan berulang kali mendefinisikan arti ukhuwah yang selama ini kita fahami dan yang selama ini kita praktikkan, dalam hal ini termasuk saya di dalamnya, mengartikan kata pertolongan dalam bingkai yang objektif, lagi-lagi tidak bisa. Ya “terkadang” saya merasa dalam komunitas di mana kepentingan telah menjadi panglima, dzan telah banyak membuat kabut di sekeliling ukhuwah ini menghalangi pandangan jernih. Tidak ada satu pun yang dapat menyiksa batin ini selain mendapati kenyataan bahwa mata teduh itu telah menatapku asing. Meski saya sadari mata saya sering menghianati juga persahabatan ini. “Ya Allah kembalikanlah cahaya terang matahari itu yang kini sedang bersinar kelabu”.
Ahh lagi-lagi gerak hati ini sedang mencoba berpaling dari nur ilahi, tidak ada satu pun yang dapat membuat saya terasing selain saya melihat sahabat itu telah menjadi orang lain dan merasa saya telah menjadi orang lain bagi dirinya.
Ada rasa rindu yang menyelinap dalam hati saya akan sebuah nuansa kebersamaan yang membuat hati ini nyaman dari “penilaian”, mungkin setengah mustahil ini akan terwujud, namanya juga keinginan, terkadang idealis. Memang ada orang yang menasihati bahwa mungkin saja kali ini kita merasa betapa kita tidak membutuhkan komunitas, sampai suatu saat kita akan sadar bahwa dari dan melalui komunitas itu justru kita menjadi sesuatu, sampai saat ini saya masih merasakan bahwa ungkapan itu mungkin akan mendapatkan kenyataan. Insyaallah.
Mungkin saya sedang khilaf kalau uji kesetiaan itu justru di saat badai itu datang, di saat itulah akan terlihat siapa yang setia.
Beberapa waktu yang lalu saya dapat sms dari salah seorang teman saya yang mengaku bahwa dirinya selalu was-was ketemu orang psikolog, he…heee mang mereka punya mata kayak paku yang bias menembus isi batin manusia, ah itu mah Cuma perasaan aja, tapi memang perlu diakui, ada memang beberapa orang sebel banget lihat orang psikologi, bisanya nganalisa orang, sampai dalem, kayak malaikat yang bias melihat dan menilai niat seseorang, tapi lupa bahwa yang perlu dianalisa sebenarnya adalah dirinya sendiri.
Bapak pernah minta saya untuk kuliah di fakultas syariah atau fakultas keislaman lainnya supaya bisa meneruskan Bapak, saya akui saya tidak mengikuti saran Bapak, ya seperti biasanya, Bapak dan Mamah tidak memilih untuk memaksa saya, Jujur saja, salah satu alasan saya mempelajari dan kuliah di fakultas psikologi karena saya merasa kesulitan untuk memahami siapa diri saya, saya fikir ini pertanyaan eksistensial yang perlu perenungan yang mendalam, saya terkadang begitu bersemangat, idealis, namun ada saatnya saya merasa begitu rapuh dan lemah, saya pun sering bertanya-tanya, kenapa orang-orang begitu betah membicarakan dirinya sendiri di depan saya tanpa merasa bosan.
Di sisi lain saya sering merasa takjub (ajiib) melihat interaksi manusia yang rumit, seperti konflik, cinta segitiga, kerja sama, ketertarikan dengan lawan jenis, pengalaman puncak, konsistensi, kepemimpinan maupun ide. Mmm, terkadang ada keinginan untuk menarik orang yang saya cintai untuk masuk dalam “dunia” saya, ada kalanya saya ingin masuk dalam dunia beberapa orang yang saya kagumi.
Salah satu yang sering membuat saya berdecak kagum adalah peranan kimiawi psikologi dalam meraih impian dan ambisi. Kimiawi psikologi yang baik adalah kondisi batin yang membuat perasaan nyaman berada di sisinya, merasa aman untuk berbagi dan merasa yakin berbagi bersamanya.
Mungkin saja kimiawi psikologis itu tidak dapat ditempatkan pada semua urusan, mungkin kimiawi ini hadir dalam innercycle hidupnya saja, dari lingkaran hidup inilah hidupnya menjadi begitu berarti. “Kenangan manis bisa datang dari sebuah permen” ungkapan ini secara tidak sengaja saya temukan dari salah satu film mandarin. Bias jadi ini ada benarnya juga, bila permen ini punya akses langsung kepada bungker memori yang mengingatkannya pada pengalaman yang berarti dalam hidupnya. Permen itu telah menjadi pematik ingatan yang kemudian membuka lembaran-lembaran ingatan maknawi itu.
Kembali kepada kimiawi psikologis, ada kalanya saya merasa begitu rapuh dan lemah, merasa ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini hadir di sekeliling saya, merasa dilemahkan oleh orang yang selama ini sering saya bela dan saya sapa di saat mereka mengalami kesulitan. Mereka (atau mungkin saya) seakan sudah tidak peduli lagi dengan untaian benang pertemuan hidup yang membuat kita saling kenal dan rela mengorbankan harta dan waktu demi sebuah idealisme, saat itu saya tengah tidak menjadi diri saya yang kuat dan bersemangat, saya tidak lagi menjadi diri saya sendiri.
Orang bilang hal itu biasa, namanya hidup, Bapak pun pernah menasihati, hidup itu seperti berjalan, ada kalanya harus menghindar ke kiri atau ke kanan, atau mungkin mundur, sering pula mengharuskan kita untuk terus maju. Ungkapan di atas memang benar adanya, namun saya harus jujur pada diri saya bahwa saya tidak dapat menyangkal, bahwa saya kecewa, perasaan ini malah menjadi ambigu di kala orang itu datang meminta bantuan…. Hhhh saya perlu berulang kali menarik nafas berat saya. Pengalaman buruk itu kembali berkelebat dalam fikiran saya, namun menolak memberi bantuan bukanlah bagian dari sifat seorang muslim.
Saya kembali dan berulang kali mendefinisikan arti ukhuwah yang selama ini kita fahami dan yang selama ini kita praktikkan, dalam hal ini termasuk saya di dalamnya, mengartikan kata pertolongan dalam bingkai yang objektif, lagi-lagi tidak bisa. Ya “terkadang” saya merasa dalam komunitas di mana kepentingan telah menjadi panglima, dzan telah banyak membuat kabut di sekeliling ukhuwah ini menghalangi pandangan jernih. Tidak ada satu pun yang dapat menyiksa batin ini selain mendapati kenyataan bahwa mata teduh itu telah menatapku asing. Meski saya sadari mata saya sering menghianati juga persahabatan ini. “Ya Allah kembalikanlah cahaya terang matahari itu yang kini sedang bersinar kelabu”.
Ahh lagi-lagi gerak hati ini sedang mencoba berpaling dari nur ilahi, tidak ada satu pun yang dapat membuat saya terasing selain saya melihat sahabat itu telah menjadi orang lain dan merasa saya telah menjadi orang lain bagi dirinya.
Ada rasa rindu yang menyelinap dalam hati saya akan sebuah nuansa kebersamaan yang membuat hati ini nyaman dari “penilaian”, mungkin setengah mustahil ini akan terwujud, namanya juga keinginan, terkadang idealis. Memang ada orang yang menasihati bahwa mungkin saja kali ini kita merasa betapa kita tidak membutuhkan komunitas, sampai suatu saat kita akan sadar bahwa dari dan melalui komunitas itu justru kita menjadi sesuatu, sampai saat ini saya masih merasakan bahwa ungkapan itu mungkin akan mendapatkan kenyataan. Insyaallah.
Mungkin saya sedang khilaf kalau uji kesetiaan itu justru di saat badai itu datang, di saat itulah akan terlihat siapa yang setia.
EmoticonEmoticon