Minggu, 27 April 2008

Kelas 6 ku, ooooo, hu...hu... ha..ha... juga... yes

Lebih dari 2 bulan saya ditugaskan untuk mendampingin anak-anak.
“Pak Romi antum diamanahi untuk mendampingi anak-anak kelas 6 untuk menghadapi UASBN” begitu yang disampaikan Bu Susi, hal senada disampaikan ulang oleh Bu Binti.
“Saya sama siapa aja Bu? Saya ingin tahu kira-kira dengan siapa saya berpartner.
“Dengan Pak Avian dan Pak Wardi”

“Puih, Gila Rom, kamu belum punya istri udah punya anak, mana 12 lagi”
Begitu tanggapan teman-teman saya setelah mereka tahu kalau saya jadi pendamping anak-anak. Saya Cuma tersenyum aja, lucu memang, sebenarnya saya juga berfikir begitu, tapi sebelum menjadi sampah pikiran, jadi ya saya delete aja ide gila itu.

Saya pun berangkat ke asrama, beberapa guru bilang boarding yang sekarang untuk kelas 6 seperti astana giri bangun, gila, kayak kuburan keluarga Pak Harto aj, tapi setelah didalemi, mungkin ada benarnya juga, coz rumahnya itu memang old style, ada pohon rambutannya, besar dan memang sekilas angker. Beberapa Ustadzah menolak ide Ketua yayasan yang menginginkan siswa untuk tinggal di sana. Gila bener ide ini, saya sempat berfikir begitu. Tapi ya namanya juga bekerja, sudah tentu jadi pembuktian siapa yang paling tahan dalam kondisi sulit.

Hari pertama adalah hari bulan madu, di mana saya begitu dekat, mesra dengan anak-anak, saya atur kamar-kamarnya, karpetnya dan tempat belajar, sekalian dipersiapkan juga heater. Puiiih ngatur rumah yang baru ditempati bikin mumet juga, tapi mengasyikan.

“Bu, Gimana nilai anak-anak” tanya saya ke Bu Binti, wali kelas 6,
Saya ingin tahu aja perubahan setelah mereka tinggal di boarding
“Alhamdulillah Pak, nilainya pada naik” ujarnya dengan mata berbinar.
“Besok ada pertemuan dengan orangtua, ntm bisa ikut? Tanyanya berharap
“Ok Bu, kebetulan saya gak ada agenda.

Rapat dengan orangtua dimulai, meski belum semua datang, tapi biasanya mereka nongol satu persatu. Beberapa laporan dari orangtua menunjukkan perubahan yang positif dari kemandirian anak-anaknya. Mendengar itu optimistis saya tentu bertambah.
“Alhamdulillah Pak, anak saya sekarang sudah bisa mencuci baju, shalat tahajud. Dan cuci piring sendiri, padahal dulu, untuk bangun subuh aja sulitnya minta ampun Pak”. Ujar salah seorang ayah dari siswa kelas 6. beberapa orangtua ada juga yang melaporkan sebaliknya
“Anak saya kok kelihatannya malah tertekan ya Bu, mungkin karena di rumah selalu sendiri mungkin ya” ujar salah seorang Ibu laporan ke Bu Binti, wali kelas 6.

Variasi laporan itu kemudian dapat diambil kesimpulan, rata-rata tingkat kepuasan konsumen cukup tinggi. Apalagi kemudian wali kelas melaporkan bahwa grafik nilai siswa cenderung menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Semuanya saya lalui dengan penuh semangat, bagi saya selama pekerjaan itu menyangkut pada hubungan antar pribadi, selalu saja menyimpan keasikan demi keasikan yang terkadang ada juga lonjakan afeksi, namun justru di sinilah seninya. Beberapa konflik kecil mengiringi perjalanan ini, ya karena perbedaan karakter dan pandangan aja, beruntung saya dipartnerkan dengan orang yang tidak memilih konflik yang berkepanjangan untuk menyelesaikan persoalan, kalau tidak, wah bisa jadi perang dunia ketiga.

Beberapa minggu kemudian, saya bertemu wali kelas di depan kantor, dengan wajah sayu yang ditutup-tutupi, dia berujar “Pak Romi, nilai anak-anak nurun” lirih.
Sekilas saya menangkap bahwa saat ini anak-anak sedang memasuki fase penurunan, setelah mencapai performance puncaknya, saya yakin bila hal ini tidak diantisipasi, nilai anak-anak akan semakin turun tanpa bisa dibendung. Beruntung sore harinya, saya ketemu sama pak Yopi, rekan saya di Litbang yang pada kesimpulannya kita menangkap ada persoalan pada psikologis pengajar kelas 6, (mungkin saya juga termasuk). Sejenak saya termenung, mungkinkah penurunan nilai UASBN anak-anak disebabkan pola hubungan saya yang terlalu tegas, getaran sukma ini terasa betul menggoncang.
“Ok Pak, kayaknya kita perlu ketemu dengan guru kelas” ujar saya memberi solusi.

Pagi itu, Matanya perlahan memerah, wajahnya yang ceria benar-benar terlihat terpukul ketika Pak Yopi mencoba untuk menhipno alam bawah sadar. Saya benar-benar tak tega melihat kenyataan ini, untuk pertama kalinya saya melihat Bu Binti menangis. Saya beri isyarat ke Bu Eni untuk mencarikan tisu. Hmmm benar, ternyata ada kekecewaan yang terrepres yang membuat dia terpukul, benar-benar terpukul oleh statemen yang langsung menghujam ulu hati batinnya tanpa bisa dia tahan sebelumnya.

Saya tidak berupaya untuk membombardirnya dengan ungkapan motivasional, sebab saya melihat Bu Binti adalah profil yang bisa memotivasi dirinya sendiri, dan hipno dari pak Yopi benar-benar telah membuatnya lumpuh untuk sementara, yaa tahapan yang harus dilalui untuk menuju proses penyembuhan batin.

“Tawakkal saja, apapun hasilnya, selama kita yakin telah melakukan hal yang terbaik, dan saya melihat Panjengan telah melakukan hal yang terbaik” ungkapan Pak Yopi itu benar-benar telah membuat matanya terbelalak, “get motivated” closing yang sukses.

“Sekarang saya sudah bisa bangkit kembali, syarap saya yang selama ini kusut alhamdulillah sudah lurus kembali” ujar Bu Binti.

Pertemuan dengan Wali murid kemarin kembali melaporkan kondisi yang sama, sayang saya gak bisa datang untuk membantu bu Binti untuk menjelaskan kondisi yang ada, namun alhamdulillah bisa dia tangani sendiri, keluhan yang sama masih terdengar, bahkan ini justru berasal dari wali murid yang muridnya memang pintar, bayangkan, anak yang biasanya menempati rangking 1 justru terlempar ke peringkat ke 13, kekecewaan itu memang terjadi dan itu memang diungkapkan, beberapa juga mengungkapkan yang sama. Namun yang menarik justru meroketnya beberapa siswa peringkat midle, anak yang biasanya ranking 12-14 sekarang berdiri kokoh di peringkat ke 6. hal ini jelas membuat kita kesulitan untuk mendefinisikan. Berbeda dengan kelas 6 tahun lalu yang gelombang perubahannya nyaris tidak ada, yang pasti mereka yang menteger di puncak akan terus di sana, begitu juga dengan anak yang rangkingnya berada di posisi juru kunci.

Anak kelas 6 saat ini benar-benar penuh pergolakan, kegelisahan dalam diri saya melihat kondisi yang tidak terprediksikan ini tampaknya telah menyentuh palung batin saya. Berkali-kali kita coba bereksperimen, mulai menghipno gurunya, melakukan try out di rumah, dan yang lebih gila lagi, membuat cover try out dengan cover yang gaul, tahu itu ? covernya berwarna pink, buat siswa putra gambarnya laki-laki kartun yang berkofiyah yang bertulisan, “semangat”. Sedangkan yang putri bergambar anak perempuan yang berjilbab. Yang lebih kasihan lagi, anak laki-laki dapat kover yang bergambar perempuan yang berjilbab. Ha....ha.....ha.... sekarang dicoba untuk belajar dikelas, anak-anak jelas berlarian ada juga yang naik sepeda pancal ke sekolah, kebayang capeknya... harap tahu aja, jarak dari asrama ke sekolah kurang lebih hampir satu kilo.

Beberapa hari yang lalu Bu Binti kembali membuat laporan yang membuat jantung saya kembang kempis....

“Pak Romi, pas ujian matematika, si X tidur”
Gubrak..... untung aja respon fisik saya bukan lesu, tapi ketawa.
“Bagus, bagus...” sambil menenangkan diri.
“Lho, kok bagus”, ujarnya protes.

Terus terang aja, saya terkejut mendengar berita itu, tapi hal ini mengingatkan saya ketika dulu di pesantren, saya dan beberapa teman se gang juga tidur pas ujian, beberapa teman saya mukanya jerawatan itu berwarna putih, setelah dapat lemparan penghapus yang masih berlumuran kapur, yang kelihatan hanya hitam matanya aja, mulai bibir, pipi, hatta rambutnya putih. Beruntung saya selamat dari serangan penghapus itu, sebenarnya kalau Cuma lemparan biasa gak jadi masalah, tapi ini... lemparan dari tangan pemegang sabuk hitam tapak suci.... pendekar rek.

“Terus pak Romi.... pengawas itu nanya ke temannya, mbak mang si x ni pinter ya matematikanya”
“Trus, gimana jawabannya si mbak” tukas saya penasaran.
“Dia Bilang, yaaa kadang-kadang bagus, kadang-kadang juga jelas Pak” ujar Bu Binti menahan tawa.

Saya, hanya bisa tersenyum, tapi asli, gigi saya semuanya kelihatan dan perut saya benar-benar sakit menahan tawa.

Hari kamis kemarin saya dihubungi wali kelas, dia punya rencana untuk rihlah, supaya anak-anak bisa represhing.
“Gimana Pak?” tanyanya minta pendapat.
“Oke Bu, saya sepakat” jawab saya tangkas nian. Kalau urusan kayak ginian memang gak perlu dipikir terlalu berat dan filosofis.. tempat yang disepakati adalah rumah makan katineung. Beberapa usulan untuk rihlah ke pantai sendang biru, gunung gedang harus ditolak dengan pertimbangan anggaran dan tenaga.
“Pak, ntm PJ outboundnya” ujar wali kelas meminta.
“Siap Bu”.

Hari sabtu telah tiba, saya sama pak avian sudah siapkan hendikem, pak wardi gak bisa ikut, coz lagi kuliah akta 4 di Malang. Kita semua berangkat ke sana, puiiih ngebut nian mobil itu, wajar si pak Rohmah yang jadi supir.

Ok, anak-anak, alhamdulillah kita telah sampai di rumah makan katineung, bla...bla...bla.... tak lupa saya bercerita, tetapnya latihan mendongeng tentang arti dari kesabaran, semangat dan perhitungan. Acara dari awal sampai akhir berjalan sesuai rencana.

Siang harinya, perut saya benar-benar telah kenyang, mata saya telah dipuaskan oleh puluhan ikan kelaparan yang sewot makan tulang sesamanya yang kita lempar dari piring. Berkali-kali mulut saya membuka, menguap.... eh..eh...eh, tutuo loh mulut, 10 menit kemudian nguap lagi, samapi-sampai saya gak bisa berguman lagi......... kecapean.

Gengsi rek kelihatan ngantuk, akhirnya saya menguatkan diri, menegarkan diri yang pasti. Pak Yopi dan Bu Binti muncul depan kelas 3, klop deh... ayo kita koordinasi. Setelah itu kita pun berkumpul, Saya, Bu Binti, Pak Yopi berkoordinasi, gak formal, tapi solusi justru banyak dari sini. Kesimpulannya adalah, anak yang nurun nilainya diprediksikan tidak cocok dengan pola pembelajaran klasikal, sedangkan yang nilainya ningkat setelah diasramakan diprediksikan cocok. Nah solusinya yang diambil adalah; anak yang nilainya turun akan dipulangkan, sedangkan anak yang nilainya naik akan tetap dipersilahkan untuk meneruskan tinggal di asrama.

Sampai tulisan ini selesai di buat, belum ada keputusan yang diambil.
Wallahu a’lam bishowaab.

1 komentar

  1. wah... kalo ane jadi anak2nya antum, masuk kategori anak yang nilainya nurun. makanya ga pernah mau diasramakan, ga enak. lebih enak belajar di rumah sendiri... bisa sambil makan-minum, dengerin musik, jungkir-balik, tiduran,kalo lelah belajar, tidur beneran.

    BalasHapus


EmoticonEmoticon