Sabtu, 09 Februari 2008

AKU DENGAR KELUHANNYA.

Romy, kamu di mana? Bisa ketemu gak? Begitu isi smsnya dari si Ali, sayapun mengiyakan. Dari gedung DPR saya berangkat ke Pancoran, tempat pertemuan yang telah disepakati. Sentakan nafasku terasa berat, selalu, selalu saja pemandangan ini sama, ibu kota ini telah menjadi hutan rimba yang berisi berbagai makhluk. Hutan itu tidak berwarna hijau, sebab dia berisi tumpukan beton yang mencakar langit, makhluk buas ini pun tengah kongkow mempresentasikan berbagai rencana yang telah membuat bumi mengerang kesakitan, ditusuk, entah sampai kapan bumi ini melepaskan kelelahan menanggung beban, lihat saja, danau itu telah meluaskan dirinya, merasuki jalan-jalan yang seharusnya dihuni oleh busway, sedan mewah sampai bajaj butut. Rasakan saja, laut itu telah melebarkan kekuasaannya masuk dalam aliran air dalam tanah, sehingga sumur-sumur telah berasa asin.

Bis yang saya tumpangi berhenti, tiba-tiba makhluk berambut lurus sebahu, berkulit putih masuk, sekilas saya tidak memperhatikan, sampai dia berdiri didepan kursi saya. “apa lagi ini” keluhan eksistensial ini menjadi bertambah, setelah saya tahu kalau makhluk ini memakai rok pendek. Amarah ini tidak terlalu kuat untuk mendorong saya untuk membentak makhluk ini. Saya memilih diam dan mengalihkan pandangan.

“Bang, pancoran masih jauh gak?”, tanya saya ke salah seorang panumpang.
”Bentar lagi sampe, paling 10 menitan” jawabnya, sambil senyum, rupanya dia tahu kali, kalau pikiran saya lagi kalut.
“Pancoran-pancoran” kondektur berteriak. “Bang ni dah nyampe” ujar kondektur mengingatkan saya, tadi memang saya minta kondektur mengingatkan kalau sudah sampe.
“Makasih Bang” teriak saya sambil turun.
Begitu turun, terlihat dua orang tukang ojek, yang satu sudah cukup sepuh, dia melempar senyum sambil menyapa; “ojek bang”? .
“tidak” jawab saya.
Yang satu lagi masih muda, sekitar 35 tahunan, wajahnya terlihat hanif.

Saya miscall Ali, ngeluh juga lama-lama nunggu. “tenang aja romy, saya sudah sampai UKI sekarang” si Ali kirim sms.
Tukang ojek yang masih muda itu mendekati saya, sejenak kita tidak saling menyapa, dan saya sibuk dengan hp saya. Tak lama kemudian dia menyapa saya.
“dari KAMMI mas”
“iya Pak” jawab saya
“Gak demo lagi”? tukasnya.
“Nggak Pak, lagian sekarang demo sdh gak terlalu efektif, masyarakat juga gak terlalu peduli, sekarang kita lagi nyari cara yang lebih efektif”. Jawab saya.
“Jakarta gimana pak”? saya balik nanya.
“Ya gini-gini aja mas” ujarnya, barang masih mahal, BBM selalu ngantri, banjir.
“Abang dulu pilih Foke?” saya tanya.
“Gak, saya pilih Dani”
dari sana saya lebih memilih banyak mendengar, kira-kira sebagai ajang latihan aja, siapa tahu saya jadi anggota dewan, jadi saya gak belajar dari awal.

Sejak itu, pembicaraan saya dengan tukang ojek itu berkutat masalah SBY dan JK.
“dulu zaman Pak Harto gak pernah kayak gini, mana ada antri minyak tanah?” dia kemudian melepaskan kekesalannya dengan mengulang kenangan indah bersama Soeharto. Selaku salah satu unsur pemimpin di KAMMI, saya kemudian terhenyak, sejauh itukah keinginan dia, sebuah regresi yang cukup berbahaya. Mana kuasa saya menumpas keinginan dia yang bisa jadi perwakilan dari ribuan asa yang sampai saat ini pemerintah tidak memberi jaminan kesejahteraan dirinya, baik sekarang maupun ke depan.

“Mas kan dari mahasiswa, tolonglah perjuangkan nasib kita-kita ini.” Pinta tukang ojek itu.
“Iya Bang, Cuma saya gak bisa janjiin dalam waktu dekat ini” saya ga berani memberi janji.
“Iya, yang pentingkan sudah tahu masalah kita” ujar tukang ojek itu.
“Romy, saya sudah sampai pancoran, kamu di mana?” si Ali sms.
Sekilas terlihat laki-laki perawakan pendek, gempal, rambut cepak, berbaju oranye. “na itu si Ali” batin saya.
“Bang ni teman saya sudah sampe” saya minta pamit.

Mengingat percakapan itu, rasanya hawa menjadi gerah, dulu sampai saat ini, pemerintah lagi-lagi tidak begitu bisa diandalkan untuk menggantungkan kepercayaan dan harapan kita, tidak orang sedang apalagi orang miskin yang tidak tahu dia mengadu ke mana. Apakah dalam shalat mereka mengeluarkan desahannya kepada yang Maha Kuat dan Maha Kuasa ini sambil melaknat pemerintah saat ini, sambil bercucur air mata, dengan tangan terbuka “Ya Allah rontokkanlah rezim yang telah membuat keluarga saya kelaparan, Ya Allah mereka telah membuat anak saya mengalami busung lapar, sementara mereka menikmati hidangan demi hidangan yang penuh gizi, sambil tertawa ria, sementara kami dari orang yang tidak berpunya tidak sanggup lagi menangis, air mata ini telah kering untuk terlalu menangisi nasib yang telah disialkan oleh negara ini”.
Ataukah secara tidak sengaja kebodohan karena SPP mahal ini telah benar-benar mereka tidak tahu cara berdoa.

Ohh rezim ini telah berbuat aniaya, atas nama negara dia telah rela mebuat rakyat membeli minyak tanah 6ribu rupiah per liter, sementara anaknya mati terhanyut banjir rutin,
Ohh rezim ini telah terlalu menzalimi, atas nama kesehatan, dia telah membuat nafas kaum miskin tua tercekat kerongkongannya karena biaya rumah sakit yang mahal, kesehatan yang murah maka senyum para perawat menjadi mahal dan kasurnya menjadi penuh tinggi. Anak-anak yang kakeknya atau Bapaknya meninggal karena sakit tidak tahu kemanakah dia harus menuntut rugi.

***************



“Assalaamu’alaikum”
Suara khas emak, “lebet Mak” sambut saya.
“Ehh Jang, iraha dugi” tanya Emak
“tadi wengi” jawab saya.
Yaaah seperti biasa, ikatan batin saya dengan Emak dan Bapa begitu erat.
“Kumaha Bapak mak”? tanya saya.
“Yaa kitulah biasa tos sepuh mah?” jawab Emak seperti biasa.
Kalau di rumah anaknya, emak gak pernah bisa lama. Emak memang orangnya gak bisa diam, selalu saya psikomotoriknya jalan.
Setelah bicara ngaler ngidul, ternyata emak diam-diam selalu mendoakan anak-anak dan cucunya dalam setiap shalat malamnya, supaya generasi setelahnya menjadi orang yang lebih sukses, dari segi ekonomi biarlah emak dan bapak yang terakhir merasakan seperti ini, ilmu dan yang lainnya.

Biasa adat emak memang selalu saja bekerja, tidak mau mengandalkan keluarga anak-anaknya, padahal kalau mau numpang aja di rumah ibu atau uwak, biar gak capek kerja, tapi malah tetap memilih mandiri.

Pagi saya sengaja ke Rumah Emak sambil melihat keadaan Bapak, wahh ternyata memang bapak semakin sepuh. Dulu saya masih ingat, Bapak masih sering membersihkan mesjid jamii al barkah setiap jum’at subuh, setiap sore mesti membersihkan halaman. Sekarang bapak sudah lemah, mau membersihkan piring kotor, banyak yang pecah. Paman sekarang sudah nikah nih. Istrinya lumayan ideal, berjilbab, calm dan terlihat dewasa. Segelas kopi disuguhkan. Hmmm minuman kesukaan. Saya jadi malu, kemarin soalnya saya minta kopi kalau berkunjung. Ternyaataaaa masih ingat.

Seperti biasa, saya ngobrol sama bapak sekenanya aja, perbedaan usia antar generasi membuat saya harus menempatkan diri dalam dunia bapak, alhamdulillah, selama ini selalu pas. “Jang, mangga cimol, di ditu mah teu aya nya” ujar emak sambil menyuguhi teh (ada sunda memang kalau ngeteh gak pake gula), sekaligus air putih. Sambil nonton tv. Gak lama, saya pun pulang ke rumah, ada PR, beres-beres halaman. Semenjak Mamah kerja, halaman tidak lama seperti taman, tapi sudah kaya kebon, gatel juga tangan, ingin beres-beres. Mmmm gunting rumput, kored, sapu, semua lengkap. Jalaan. Gak terasa, sudah azan zuhur, belum selesai lagi. Tapi lumayan lah sudah lebih terlihat indah, daun-daun sudah tidak berserakan, pohon-pohon daunnya saya cukur biar rapi.

Setelah isya, saya kembali ke rumah emak, pamitan. Rutin, rasanya gak enak kalau gak sungkeman sama emak dan Bapak. Sesampai di sana, Bapak sudah tertidur pulas, melihat saya datang, emak membangunkan bapak, tahu kalau saya mau pamitan. Ada Ziyad, sepupu saya, nakal tapi lucu, anaknya supel, masih kelas 2 SD. Saya sayang banget sama dia, apalagi kalau tau riwayat masa bayinya. “Ya, yeuh” saya kasih dia 1000, seneng banget dia.

Yhaaah berat rasanya meninggalkan mereka. Pelan-pelan air putih itu saya seruput, biar bisa agak lama. Lama-lama habis juga, mmmmhm Mak, Pak, abi berangkat, pamitan. Saya sudah dari kemarin bilang ke emak supaya tidak beli oleh-oleh, kalau gak nitip gitu, wak bisa seabrek diberi. Emak nganter sampai halaman sambil memberi harapan dan doa. Wahh lagi-lagi saya sulit berpisah dalam kondisi begini. Saya memilih banyak mengiyakan, ketahuan saya nangis juga malu. “mangga mak, Assalaamu’alaikum” saya pamit sambil menyalakan motor. “Wa’alaikum salam”. Jawab emak.


EmoticonEmoticon