Tak bisa disangkal bahwa musdalub ini membawa pengaruh psikologis yang mendalam, meski saya akui itu subjektivitas saya, sebab selain pertama dilaksanakan di Kota Malang, juga ada beberapa pertanyaan teman-teman saya yang saya fahami muatan politis dan psikologisnya terasa mendalam, tampak beberapa dari mereka merasa bahwa ini adalah pilihan yang tidak bisa ditolak, diantara yang lain mencoba untuk mempengaruhi saya untuk meninjau ulang pilihan mundur dini. Ya Allah terkadang perasaan terlalu cinta ini membuat saya tidak bisa memandang jauh.
Saya akui mungkin ini hanya tanggapan berlebihan saya aja, dalam artian saya terlalu geer melihat tanggapan mereka dalam melihat kinerja tim generasi sekarang yang saya anggap sebagai generasi emas. Tak berlebihan saya kira saya mengklaim sebagai generasi emas. Lihat saja peta kekuatan yang bersinar terlihat lebih merata meski beberapa perlu banyak pembenahan. Kembali pada kegeeran saya ini, saya melihat dari dua asumsi. Asumsi yang pertama, kalau kinerja tim saat ini buruk, tentu saja respon dari kader adalah perasaan suka cita, namun saya menemukan respon sebaliknya, saya menangkap ada ketakutan yang mungkin ada pada hati mereka kalau-kalau pengganti saya dan mungkin beberapa personal berada dibawah ekspektasi mereka, mungkin saja begitu, atau karena kedekatan emosional yang secara inhern saya suka melakukan hal itu -meski saya akui saya kurang merasa hangat kalau berada di sisi orang yang konservatif dan moralis, sebab bagi saya mereka memiliki tipikal granat yang secara diam-diam menilai dan kemudian suatu saat akan meledak tanpa bisa saya antisipasi-. Jangan salah jika saya merasa nyaman berbicara dengan ketua komisariat, staf dan yang lainnya. Saya tentu saja terkejut ketika melihat salah satu ketua kamda berbicara dengan para a’dhanya dengan wajah yang tegang.
Apapun kondisinya saya harus memilih pilihan saya, dan saya yakin itu. Hemm rasa cinta saya kepada KAMMI dan kadernya terlanjur mendalam, itulah, saya tidak bisa membayangkan wajah kecewa mereka atas pilihan saya. Bukan tidak mungkin LPJ saya ditolak mentah-mentah oleh peserta musdalub.
Yahh ini sangat menyentuh sekali, di penghujung musdalub ini ingatan saya kembali menerawang di saat saya terpilih menjadi Ketua Kamda, saya merasa bahwa dunia tengah berhenti, betapa peran yang sama sekali tidak ada dalam fikiran saya ini kini secara tiba-tiba mendekat bahkan telah menjadi bagian dari diri saya. Saya pun merasa sekali betapa ketar ketirnya hati saya, sebab saya tidak tahu siapa sosok manusia yang akan menjadi pendamping saya, yang memahami visi dan bisa mengurangi kelemahan saya, seakan saya berlari ke sana kemari tanpa tahu arah. Sayapun masih teringat pertemuan pertama yang mana tidak begitu banyak manusia yang saya kenali. Sungguh beberapa pekan pertama keberadaan saya di kesekretariatan kamda seperti terasing di dalam keramaian. Saat penunjukkan saya menjadi ketua kamda, saya hanya berupaya untuk meyakinkan teman-teman supaya mereka tenang dan yakin meski untuk sementara dengan kemampuan saya; ”saya tipe pembelajar cepat”. Sepintas bisa dipahami bahwa saya sedang belajar dengan suasana yang baru.
Di awal-awal kepemimpinan saya pun saya sadari kalau kata-kata sumbang itu beberapa kali terdengar membangunkan saya untuk membuka mata, yaah saat itu seringkali saya harus menarik nafas berat, ingin rasanya menumpah ruahkan segala beban yang tidak saya kehendaki ini. Tapi tidak mungkin itu saya lakukan.
Beberapa keretakan karena ide dan cara yang tidak ketemu mewarnai perjalanan kamda di bawah kepemimpinan saya, mulai dari sistem kaderisasi, mind set, penempatan personalian dan yang lainnya, namun hal itu tidak sampai berujung pada kemandekkan, saya pahami saat itu adalah manifestasi dari idealisme sendiri-sendiri. Saya lebih memilih untuk akomodatif, sebab salah langkah malah akan membunuh idealisme itu sendiri. Ini lebih berbahaya.
Kini diujung musdalub saya merasakan hal lazim saya alami disebuah penghujung, yaitu kecemasan. Saya faham itu adalah bentuk ketakutan antisipatif meski itu belum tentu terjadi. Dari kedekatan emosional yang telah kita bangun bersama, bauran asa yang telah tercipta selama ini, keakraban yang mengudang tawa dan sedih, atau ekspresi-ekspresi kekecewaan yang terlontar dalam bentuk milis, surat dan yang lainnya. Terlalu berat kebersamaan ini untuk kita tinggalkan, terlalu indah kenangan ini untuk kita lupakan.
Ada sebuah perasaan bersalah yang menyelinap dalam hati saya di saat kader saya dipukul oleh aparat sementara saya berlelah dalam mukhoyam, meski saya tahu saya harus menjalani itu. Ada perasaan bersalah di saat teman saya harus bermasalah dalam kuliah sementara saya tidak berdaya untuk bebuat lebih. Ya Allah betapa bayang-bayang kelalaian itu telah membuat saya sulit.
Akankan kebersamaan ini akan menemui ajalnya di saat fikrah kita tidak lagi sama di masa yang akan datang, dikala beban dunia ini mulai ditanggung sendiri-sendiri, akankah kebersamaan ini akan berlanjut di surga nanti, yang kemudian kita bercengkraman bersama sambil mengenang kebersamaan kita di dunia? Wallahu alam saya itu wewenang maha kuasa.
Di sisi ini mungkin ada benarnya juga pendapat mantan sekum saya di komsat ukhti Anita Putri yang mengatakan bahwa saya ini lebih sensitif dari seorang akhwat, dalam kondisi seperti ini saya akui itu, tapi pada dimensi lain saya menyangkal, karena tipikal saya justru tidak, bahkan cenderung tidak menyukainya orang yang bertipikal makhluk venus dalam kerja-kerja rasional.
Ads 970x90
Kamis, 03 Januari 2008
DI PENGHUJUNG MUSDALUB
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon