Rabu, 12 Desember 2007

hati yang keras

Hati Yang Keras
Kemarin saya dicurhati salah seorang teman yang sedang kecewa berat, karena atasan seperjuangannya bilang :”lho koen sapa”, saya sempat tidak percaya, ternyata yang tidak mempercayainya justru bukan dari orang lain, tapi dari lingkaran dalam orang-orang yang dia percayai. Saya sendiri tidak mengorek lebih lanjut betapa perasaan teman saya itu terpecah berantakan, dari sorot matanya yang nanar terlihat dia kehilangan harapan untuk terus bersamanya. Masyaallah jika saja perkataan itu menimpa saya, niscaya perasaan tidak berharga seperti yang teman saya rasakan juga akan saya rasakan. Dunia seakan berhenti berputar, berpaling sejenak bahwa ada orang yang tidak berharga tengah hidup di buana ini.

Akhi, siapa orang yang mengatai kamu lha koen sopo...?
saya coba mengorek, siapa tahu orang itu adalah teman saya atau malah saya sendiri.
Tarikan nafasnya cukup berat, dan saya merasakan sendiri bahwa penghinaan itu merupakan pukulan hebat yang membuat psikologisnya sempoyongan.

Akhi ....... teman saya menjawab polos
Masyaallah saya kenal betul dia, dan dia merupakan pejabat penting yang seharusnya mengayomi.

Sejenak saya terdiam, betapa syetan ini cukup cerdas masuk dalam ruang-ruang kelemahan manusia, hatta orang yang saya anggap dewasa itu sampai hati mengatakan itu yang sebenarnya tidak perlu disampaikan kepada jundinya, yaa Allah bisa jadi saya sendiri sering mengatakan itu, meski saya sadar itu salah.

”Akhi antum tidak perlu patah semangat seperti ini.... ” saya coba menguatkan meski pun bisa jadi kalau hal itu terjadi pada diri saya, yaa mungkin sikap saya lebih parah dari dia.
”Dua hal yang perlu antum tegaskan dan itu milik antum selalu, kebebasan dan tanggungjawab. Antum dengan amanah antum bebas bermanuver ke manapun antum mau, selama tidak dilarang, bagi saya bekerja yang baik bukan mengerjakan perintah, tapi mengerjakan yang tidak dilarang (berdosa)”.

Lagi-lagi dada saya berdegup, banyakkah teman-teman saya, yang satu amanah merasa tersakiti hatinya, oleh ungkapan lisan saya yang menyakitkan, hanya karena sedikit lalai, padahal dia bukan babu saya, dia sama-sama insan merdeka, apakah sikap saya telah membuat semua teman teman saya terbelenggu kemerdekaannya dalam bersikap.

Upp... tahan-tahan jangan sampai ketahuan air mata saya jatuh. Sulit bagi saya untuk menerima kalau orang lain tahu saya sedang menangis. Akh, afwan sebentar, ana ke kamar dulu. Di sana saya benamkan kepala saya ke bantal, menangis sejadi-jadinya.

Tidakkah kerajaan Allah bergoncang kuat di saat tahu bahwa ada hambanya disepelekan? Masyaallah, dosa-dosa ini ternyata tidak terasa dikerjakan oleh kita-kita yang katanya usia kalender dan kematangannya sudah teruji, namun sempoyongan di saat mengontrol pikiran untuk tidak sombong dan menekan. Tampaknya saya harus membaca kembali buku-buku ust Ibnu Qayyim tentang hati yang sakit, atau buku inspiratifnya; Raudhatul Muhibbin.

Di saat kita dibangunkan oleh kekuatan ruhiyah, maka penyakit itu merupakan bagian dari sisi manusia yang harus direduksi, jalan mundur ini ternyata telah jelas bukan ada di depan kita tapi berada pada diri kita.
Di saat kaum muslimin merasa bangga dengan kekuatannya melebihi musuh, maka Allah memberikan kejutan bahwa kemenangan sesungguhnya di tangan Allah. Tidak ada satu pun musuh yang bisa mengalahkan kita, karena musuh itu adalah diri kita sendiri.
Astaghfirullah, ternyata diri ini, tidak kuat melawan serangan-serangan setan, meski itu kecil.


EmoticonEmoticon