Selasa, 11 Juni 2019

MANAJEMEN LIBURAN



Alhamdulillah liburan sudah hampir selesai, artinya kita kembali kepada rutinitas kita yang biasa. Memang manusia ini didesain untuk menghabiskan waktunya dalam lingkaran yang rutin, dari tidur ke tidur lagi, makan, ibadah, kerja dan semacamnya.

Saat kita keluar dari rutinitas, ada semacam persepsi bahwa kita sedang menuju kebebasan. Kebebasan dari bangun pagi menuju cheklock kantor, kebebasan dari tuntutan meeting yang membosankan, dan kebebasan dari kemacetan kendaraan lalu lintas dengan segala polusinya.

Tapi psikologis manusia berbicara lain dalam menerjemahkan kebebasan. Kebebasan terasa heppy hanya bertahan 2 dan 3 hari saja, selanjutnya manusia mengalami kehampaan, mengalami disorientasi, karena menghadapi ketidakpastian rutinitas. Ini memang anomaly, mengharapkan kebebasan namun kebebasan ini kemudian berujung pada ketidakbebasan manusia dari kebingungan dan kehampaan.  

Kita bisa saja menyangkal kehampaan ini dengan berkata liburku asik, liburku heboh. Dan memang banyak menjadikan heboh dan asik ini sebagai takaran keberhasilan dari liburan. Kalau tidak heboh maka liburan jadi sia sia. Yang menggelikan, heboh kemudian diterjemahkan dengan aktivitas yang diluar kelaziman. Tentu melelahkan sekali jika indikator keberhasilan liburan harus diterjemahkan demikian. Pertanyaan sederhananya adalah, jika sudah heboh apa yang kita dapat kan ? hanya heboh ? hanya heboh dan popular memang dan itu bagus untuk membangun brand, tapi ada semacam rasa addict untuk meningkatkan kehebohan. Semakin heboh semakin popular dan semakin baik hasilnya.

LIHAT ANAK
Dari beberapa obrolan dengan orangtua yang mendampingi anak anaknya selama liburan, diakui secara khusus anak anak mengalami kemunduran, baik secara emosi yang biasanya sabar menjadi pemarah. Bahkan di chek setelah liburan, Guru guru mengakui banyak anak anak yang lupa mata pelajaran yang sudah diajarkan.

Mari kita lihat harian kegiatan anak, saya sendiri secara detail mengamati aktivitas anak anak saya. Bangun tidur pun menjadi lebih siang karena libur, efeknya sarapan, mandi lebih siang dan sholat pun lebih siang. Sekilas tampaknya kemunduran ini hanya sekedar kemunduran waktu yang biasanya mandi jam 06.00 menjadi 07.30.

Tapi bukankan kemunduran ini karena tidak ada agenda yang mendesak yang membuat dia harus segera mandi ? berbeda halnya jika tidak libur, anak terdesak harus mandi karena jadwal masuk sekolah jam 07.00 jadi dia harus sepagi mungkin untuk mandi dan sarapan. Kalau tidak ada jadwal masuk sekolah maka tidak ada kewajiban apa pun yang mendorong dia harus mandi.  

Coba luangkan waktu sejenak untuk mengingat ingat, bukankah hal yang sama juga sedang terjadi, misalnya dalam hal solat, dalam hal sarapan bahkan tidur malam. Satu satunya yang bisa membuat Anak bergerak untuk mandi adalah instruksi Anda kan ? parahnya lagi ternyata instruksi itu sering kali diabaikan karena anak sedang menonton tv. Kalau begitu, apa jadinya jika Anda sedang tidak di rumah ?

Pertanyaan ini sangat mahal jika Anda bisa menjawabnya ? sebab jawaban Anda menjadi kunci persoalan yang sedang terjadi dalam cara Anda mengedukasi anak. Lagi lagi persoalan terbesar bukan pada anak tapi justru pada model yang dipilih orangtua dalam mengasuh anaknya.

Oke, kita mulai dari mulai dari dasar dulu, kita gagal menginternalisasi kedisiplinan anak yang mandiri, gagal membangun kedisiplinan yang menjadi dasar survival anak untuk hidup. Penyebabnya bukan dari siapa siapa tapi dari cara kita dalam menerapkan disiplin berdasarkan desakkan eksternal bukan desakan waktu. Terlalu sering kita meminta anak mandi karena sebentar lagi berangkat sekolah, yang lebih jauh lagi, menohok pada harga diri yang tidak terlalu penting,yaitu supaya tidak malu badannya bau.
Mendorong anak disiplin yang dibangun dari desakkan eksternal menghasilkan dorongan mekanik jika dorongan itu sudah tidak ada maka disiplin pun menjadi tidak diperlukan.

SURVIVAL MANUSIA
Dasarnya manusia akan selalu siap untuk survival, mekanisme dalam tubuh, fikiran dan jiwa sudah kompatibel dengan hal apa pun dengan kompleksitas rutin manusia, bahkan manusia akan sendirinya tersiksa dengan aroma tidak sedap jika tidak mandi. Apalagi dalam menghadapi rasa lapar, dengan sendirinya akan mencari makan. Namun hal ini berbeda responnya jika kebutuhan makan itu didorong teriakan orang tua sekaligus ancama jika tidak makan anak sakit.

Beberapa kawan dan family yang mengkondisikan anak seperti itu akan menghasilkan respon pasif pada anak saat lapar. Memilih lapar dan sakit lebih disukai anak anak yang diteriaki makan daripada harus bergerak untuk makan. Cara orang tua menumpas basic survival anak untuk bertahan dan mencari makan secara mandiri terbukti efektif dengan teriakan dan intimiadsi supaya anaknya tidak sakit. Siklus anak sulit makan direspon ancaman sakit, kembali pada respon pertama yaitu anak kembali sulit makan, dan itu akan berlangsung seterusnya.  

Dulu saya sering berdialog sama istri, terkait manajemen tidur anak yang berantakan, anak sangat sulit untuk tidur, padahal secara fitrah, siapa pun manusia akan tidur jika sudah lelah. Tidur menjadi mekanisme biologis untuk membangun keseimbangan dalam tubuh. Tapi kenapa anak kesulitan tidur ?

Beragam metode pernah dipakai,  mulai memasang jadwal disiplin tidur, nyuruh tidur juga tidak berlaku. Akhirnya saya kembali pada aturan main dasar manusia, makan minum, tidur, tanpa belajar pun manusia akan melakukan jika sudah saatnya dimana pun. Saya sebagai orang yang suka eksplorasi alam, dalam kondisi ekstrim missal dalam guyuran hujan deras sekalipun manusia akan bisa tidur, bahkan anda mungkin pernah lihat para pekerja konstruksi terlelap tidur siang dengan alas seadanya, dibawah hingar bingar dentuman alat kontruksi yang penuh debu.

Saya sebenarnya bukan orang yang terlalu ketat dalam menerapkan disiplin baik buat anak atau pun buat saya sendiri, karena kedisiplinan sebenarnya bagian dari basic penciptaan manusia, disiplin bukan hal yang menakutkan. Manusia pun dalam skala tertentu hidup dalam lingkaran disiplin tertentu misal bangun tidur jam sekian dan tidur lagi jam sekian, makan jam sekian. Manusia pra sejarah sekali pun belum mengenal jam sudah mendesain dirinya dalam lingkaran disiplin waktu tertentu, mereka tahu kapan harus berburu, kapan waktu ritual keagamaan dan seterusnya.

SEMAKIN NATURAL SEMAKIN BAIK
Sengaja atau tidak, banyak cara asuh kita atas nama kasih sayang justru semakin menjauhkan anak dari pertumbuhan naturalnya. Tanpa diintimidasi sakit pun anak sebenarnya akan dengan sendirinya berikhtiar makan. Hal yang sama dengan tidur. Tanpa di suruh pun anak akan tidur di mana pun itu. Bahkan anak dasarnya suka air, dia akan mandi dengan sendirinya jika merasa badannya gerah.

Manajemen natural bagaimana yang bisa memutuskan rantai intimidasi ektresnal untuk disiplin anak. Saya pribadi lebih melekatkan disiplin pada jam bukan pada dorongan kegiatan, sambil membuang hal hal yang secara nyata menciptakan kekacauan kedisiplinan.

Saya merasakan betapa beratnya sebagai orangtua untuk ketika anak libur. Langkah pertama sederhana sekali kok, tidak ada tivi tidak lihat hp selama liburan. Pemberontakan anak berupa komplen tangisan, rengekan cukup masih terdengar di 2 hari pertama. Pada hari selanjutnya, anak secara alami akan mencari kesibukan, mulai main ke rumah tetangga, manjat pohon, memberi makan ayam dan bikin sungai buatan. Langkah yang hebat menurut saya.

Dalam hal makan, awalnya saya termasuk orang yang kaku menerapkan disiplin, intruksi jam sekian harus makan ternyata menciptakan pertengkaran yang tidak penting, buktinya terlihat dari selain enggan makan, juga anak makannya lama. Saya merasa bukan begini naturalnya manusia, sesuatu yang keliru sedang berjalan.

Oke instruksi saya ganti pada ajakan makan, saya terlibat makan, yes makan di dapur, tidak di depan tv tidak di tempat main, hanya 1 di dapur, ambil sendiri nasi dan sayur, ambil sendiri sayur, dan yang ekstrim saya tidak memberi pilihan lain makanan yang tidak sehat misalnya, yang ada ya itu di makan, lelaki banget rasanya jika  anak anak berkerumun di dapur, makan sendiri dan habis. Tidak ada teriakan.

Bisa jadi saya termasuk orangtua yang konservatif, bukan hot dady atau hot papa. Tapi melibatkan diri dalam pengasuhan anak adalah hal yang paling asik dan benar benar saya merasa lelaki sekali, di mana saat waktunya tidur saya menuntun anak anak untuk istirahat, lampu di matikan, sementara aturan main tidak ada tv dan hp masih berlaku. Anak tidak ada pilihan lain, main main keluar lampu sudah mati, mau nonton tv juga aturan masih berlaku. Naturalnya ketika gelap manusia akan mengantuk. Dan tidur. Tidak ada teriakan. Sangat natural

FOKUS PADA PERTUMBUHAN BUKAN KEHEBOHAN
Tidak membuat acara asik saat liburan bisa jadi sangat menyulitkan. Jejaring media social cukup cerdas memframing liburan harus wisata, liburan harus ke luar kota, dan itu memang tidak salah. Sesekali keluar dari rutinitas itu perlu, untuk menjaga jarak dan menyegarkan jiwa setelah beraktivitas padat setahun penuh.  Namun usia manusia terus bertumbuh dan harusnya pertumbuhan ini yang perlu bangun dalam alam pikiran pengasuh seperti kita.  

Liburan menjadi waktu yang paling optimal kebersamaan anak dan orangtua, saya sendiri senang bisa memantau perkembangan anak real dalam waktu yang penuh. Jujur beberapa hari pertama saya sangat kewalahan, semua manajemen waktu yang terjadwal itu berantakan, dan itu semua terpusat pada 2 benda, yaitu HP dan TV. Dua benda ini pun cukup bagus membuat anak anak menjadi asocial.

Pertumbuhan apa yang hendak dicapai oleh anak anak saat liburan ? saya secara pribadi pertumbuhan softskill kemandirian anak dan etika, bagi saya ini problem yang banyak dialami oleh anak anak kota Bahkan orang dewasa sekali pun.

Caranya sederhana, pengasuhan natural memilih membenahi bukan berdasarkan teori rigid. Tapi berdasarkan apa yang sedang terjadi saat itu, misalnya saat bertamu, saya melibatkan anak untuk menyambut dan saya ajari bagaimana mempersilahkan tamu untuk duduk. Beberapa menit kemudian, kaki anak saya naik ke kursi, saya hanya memberi kode supaya kakinya diturunkan.
Waktu yang lain saat ngobrol sama anak, saya ajarkan beberapa cara membaca yang baik, cara manajemen konflik dengan teman, bahkan cara berdoa saat mimpi buruk.

Selama liburan saya seperti seorang coach yang mengarahkan sikap terbaik yang harus dimiliki anak. Beberapa hal global memang saya buatkan agenda untuk membangun pertumbuhan, misalnya seperti berikut ini  :
  1. Pagi                        : Bersih kamar, lari pagi, sarapan bersama dan mandi
  2. Malam                     : Makan, baca buku dan tidur jam 20

Sesimpel itu ? iya karena ketika HP dan TV kita matikan, dengan sendirinya anak akan bergaul dengan teman sebaya yang akan menguras tenaga fisik, membangun kemampuan social. Simple kan ? yes. Untuk anak yang berkebutuhan khusus saya membuat lebih detail misalnya
1.       Memberi makan ayam
2.       Memanjat pohon
3.       Lari pagi
4.       Main air sambil mandi
5.       Bakar sampah
6.       Makan non gula, mie, coklat dan sejenisnya
7.       Kegiatan akademik.

Hasilnya cukup efektif membuat anak berkebutuhan khusus semakin mudah diatur, semakin terkontrol secara emosi dan terpenting nafsu makannya semakin membaik.

KESALAHAN TERBESAR ADA DI ORANGTUA
Beberapa bulan lalu, tepatnya sebelum ramadhan, saya janjian dengan beberapa teman untuk bermain ke pantai, bersama keluarga, dan anak anak pastinya diajak. Setelah lelah berenang di tempat yang aman sesuai petunjuk rambu rambu keselamatan di lokasi, kita makan bareng bareng, tiba tiba ada temannya istri nyeletuk, kalau gaya jalan anak saya yang pertama mirip saya.

Sejenak ungkapan itu membuat waktu terasa berhenti, kembali teringat bahwa anak adalah peniru yang ulung, hampir semua anak akan meniru significant other atau orang lain yang sangat dia idolalan. Untuk anak, significant othernya adalah orangtua dalam hal ini jika perempuan akan mengidolakan ayahnya.

Ingatan saya kembali melompat, anak perempuan saya sempat mengalami fase bandel dan ini biasa terjadi pada semua anak. Semacam mekanisme pertumbuhan psikologi anak untuk membangun independensi sebenarnya, sebuah persiapan mental yang akan membuat anak tidak bergantung kepada orang lain. Prinsipnya baik jika terkelola dengan baik, tapi itu tetap harus dibatasi batasan batasan adab. dengan cara yang smooth. Omongan ibunya dibantah, sama adik tengkar, suka berteriak, malas. Tapi bantahan itu tidak sekeras ketika saya yang mengajak.

Ini peluang hebat untuk kembali kepada visi awal parenting, yaitu mempersiapkan diri mereka untuk siap menghadapi kehidupan setelah orangtua tidak ada. Gambaran ideal ini semua ada pada orangtua. Semua orang tua ingin anaknya berhasil, namun tidak banyak orangtua yang mencintai kelelahan dunia pengasuhan.

Kita boleh saja berdalih kesibukan, dan lelah bekerja seharian. Tapi menyerahkan pengasuhan anak kepada HP dan tv adalah langkah egois yang menunjukkan kita tidak mencintai pekerjaan parenting seutuhnya.

Dunia hari ini dengan jejaring social yang memudahkan interaksi ini alih alih menciptakan perspektif yang luas tentang dunia, namun kenyataannya telah menciptakan manusia yang lebih focus memilih langkah asik dan manja dalam hal apa pun daripada membersamai anak anak yang membutuhkan sentuhan fisik dan fikiran yang total hadir bersama mereka. Dunia ini dalam banyak hal kontradiksi yang bekerja bersamaan. Kesulitan dan kemudahan. Kerja keras dan kemakmuran semua ada dalam satu paket bersama tidak terpisah.

Orangtua dan anak yang berhasil semua mengalami proses yang tidak mudah, siapa sih yang suka game hp nya di hapus dan kemudian aksesnya dibatasi. Namun itu semua bungkus permen yang rasa manisnya akan dirasakan saat proses pembiasan positif ini sudah terbentuk.

Jadi, bagaimana pun juga, saya cukup setuju dengan judul buku Sebuah Seni untuk Bersikap Masa Bodo Amat yang ditulis blogger Mark Manson. Orangtua perlu mulai bersikap masa bodo amat dengan apa pun yang berada diluar kepentingan pertumbuhan anak, masa bodo amat dengan apa pun yang mengganggu kita bertumbuh menjadi orangtua pembelajar.

Sebelum terlalu jauh kita salah dalam mengasuh anak, ayo kembali berlarian bareng anak anak, ayo bareng bareng kembali baca buku, ayo kembali bareng bareng jalan ke masjid, ayo mulai ajak anak anak untuk masak bareng di dapur. Pasti berantakan, itu pasti. Bareng bareng ini ternyata jauh lebih efektif ditiru dan dituruti dibandingkan cara kita untuk menjadi big boss yang penuh instruksi.

Dengan cara demikian, insyallah kita akan terhindar dari kekhawatiran yang disampaikan Bunda Elly Risman “Krisis moral paling nyeri adalah anak yang memaki dan membully ibunya sendiri saat sang ibu ingin menyelamatkan generasi”

1 komentar

  1. I have been browsing online more than 2 hours today, yet I never found any interesting article
    like yours. It's pretty worth enough for me. In my opinion, if all web owners and bloggers made
    good content as you did, the net will be much more useful than ever before.

    BalasHapus


EmoticonEmoticon