Minggu, 22 Juni 2008

KAMIS, 19 JULI 2008

Sore itu saya harus menyerahkan surat peminjaman lapangan milik perkebunan teh bantaran, saya sama pak Eguh berangkat, saya beruntung bisa kenal dengan pak Eguh, menurut saya, dia itu tipe laki-laki pekerja keras, tangguh, dan sabar. akan lebih hebat lagi bila dia punya partner pemikir. Di awal pertemuan saya dengan dia pada tahun 2006, saya menyangka kalau Pak eguh itu seorang pemuda lajang, ternyata setelah saya tanya, dia baru punya dua anak. Yaa untuk hal ini, rupanya dia lebih leading ketimbang saya.

Setelah penyerahan surat, badan saya merasa bener-bener lelah, jadi setelah sampai ke rumah, saya hanya bisa tiduran, karena kebetulan nafsu makan ketika hari itu sedang bermasalah, jadi fisik saya sedang dilanda ujian internal yang luar biasa.

Setelah magrib, telepon berdering dan terdengar suara pak Wardi, “Pak ditunggu ngurus jenang”, dengan suara memelas dia meminta pertolongan saya, kasihan juga, tapi badan saya gak bisa diajak koordinasi, akhirnya saya offer ke Pak Avian dan dia menyanggupi. Wah saya di rumah sendirian nih, entah kenapa tiba-tba energi dalam tubuh saya menjalar hangat mulai dari jantung, terus ke tangan dan ke kaki, dan saya kemudian berkata “ saya siap membantu untuk menuntaskan jenang malam ini juga” saya pun berangkat sama pak avian.

Sesampainya di tempat pengolahan jenang, terlihat beberapa karyawan dan tetangga, wah kalau gini saya senang sekali bisa cangkrukan sama mereka. Ternyata ngolah jenang itu sulit sekali, namun setelah beberapa menit kekakuan saya pun hilang, saya jadi ekspert di divisi pengolahan jenang dan kalau bisa jadi staf ahli sekalian.

Jenang itu ternyata buat walimahan Pak Gunawan yang nikah sama Bu Ambar, saya pun bersemangat sekali, karena jenang itu akan digunakan oleh walimahan rekan saya, panas dari kompor tradisional yang berbahan bakar kayu tidak saya hiraukan, luapan asap dari jenang menusuk-nusuk mata saya juga saya biarkan, lelehan keringat kerja keras saya membasahi kaos saya, seolah saya mengalami trans saat itu, suara jangkrik, dan binatang malam lainnya seperti musik pematik semangat saya untuk terus mengolah-mengolah dan mengolah jenang, sampai minyak kelapanya habis, pada saat itu waktu seakan berhenti sejenak menyaksikan kerja keras kita semua, olah, terus olah. Canda demi canda menemani kerja keras ini, malam bulan purnama kali ini penuh arti.

“Ayo Pak makan dulu” ajak Pak Nasuha. Hah bener, nafsu makan yang sempat hilang itu kembali tumbuh bermekaran dalam perut saya, “oke pak” sikaat, hahh ini sayur kesukaan saya, saya berguman dalam hati.

Sambil makan, saya mengamati detail dari dapur tempat saya makan dengan beberapa orang yang juga ngurus jenang, saya jadi teringat dapur punya Emak dari Bapak di Ciamis, di dapur itu ada kompor tradisional, ada juga peralatan pertanian seperti cangkul dan wajak, air putih di simpan dalam kompan minyak, celana berlumpur yang tadi siang dipake ke sawah, semuanya tampak di dapur itu, bener-bener sederhana, tapi style dapur itu kemudian membangkitkan kembali kenangan saya yang sempat terkubur beberapa puluh tahun yang lalu sebelum Abah saya meninggal dunia ketika saya kelas 5 MI. Konsep dapur orang Jawa dan orang Sunda ternyata sama, kedua-duanya tidak punya konsep, sebab dapur hanya sebagai alat pelengkap dan tidak begitu banyak dihiraukan, mereka bisa makan sambil bersilang kaki, atau kaki satu diangkat, mau makan di luar, sambil balakecrakan ditemani krupuk dan sambel, tidak perlu banyak berpikir untuk makan pake sendok di kanan dan pisau di tangan kiri, dengan kepala berjarak dengan piring, atau pake celemek, persetan amat dengan aturan makan, makan aja kok ada aturan, aturan kok di makan, gitu kata Pak Isa dalam democrazy. Terus terang saya kangen dengan suasana makan seperti itu, saya seperti tercerabut dari akar budaya saya sendiri, saya sendiri sebisa mungkin untuk menghindari makan dengan suasan formal seperti di restoran, kaku dan tidak barokah, tidak bisa guyon, rasanya perut ini nolak makanan yang suasananya seperti rapat yang penuh aturan. Usut punya usut, ternyata konsep dapur yang birokratik itu diadopsi dari penjajah belanda oleh para bangsawan lokal, bener-bener keterlaluan, “bangsa yang kalah selalu mengikuti adat bangsa yang menang” begitu kata Ibnu Khaldun.

Usai makan, saya kembali ke kompor , diam sejenak dan langsung menggantikan Pak Nasuha mengolah jenang, terus saya olah dan saya olah, namun fisik ini memiliki keterbatasan, tangan saya pegal-pegal, saya pun beristirahat. Jam 20.30 olahan sudah selesai. Alhamdulillah ternyata kerja keras ini membuah kan hasil.

“Pak, ngolah jenang ini butuh berapa jam? Tanya saya ke Pak Narno
“Ya antara 10-12 jam” ujarnya ringan
Gubrak... saya langsung melamun, berarti jenang ini diolah mulai tadi siang. No problem, meski telat tapi saya sudah berbuat dengan semangat, sebelum pulang saya berbicara dalam hati, “Pak Gun, nikmati jenang hasil buatan saya semoga pernikahan ntm berdua selalu dinaungi rahmah dan mawaddah dari Allah SWT. Saya kemudian berimajinasi kalau jenang itu penuh dengan kilatan energi yang saya transfer dari tangan saya, seperti dalam film kung fu purna. Ha ha ada ada aj.

Setelah itu saya pamit pulang.

2 komentar

  1. Wah..
    Lama juga ya bikin Jenang.
    Jadi bisa bikin filosofi tentang Jenang ^_^
    Semoga Jadi pernikahan yang penuh berkah, Amin.

    BalasHapus
  2. di artikel cocoknya kasih judul "jenang" trus dikasih gambar jenangnya pula. seru. saingan ma blognya ibu-ibu hehe...

    BalasHapus


EmoticonEmoticon