
Dalam beberapa tulisan kemarin saya pernah berpendapat bahwa antara fisik dengan fikiran dan jiwa adalah kesatuan yang saling terkait namun dalam beberapa hal juga ketiga elemen itu adalah bagian yang punya cara kerja yang independent. Mungkin dalam bahasa Inggrisnya adalah interdependent; mereka bekerja sama dalam independensi. Heu heu.....
Pendapat itu keluar di saat saya kemarin merenung, menguji pendapat awal saya yang menjelaskan bahwa ketiga elemen itu kesatuan yang saling berhubungan, saya sadar bahwa pendapat itu benar (insyaallah), namun kurang lengkap.
Kenyataanya ketiga elemen itu dapat punya bekerja dengan sendiri-sendiri misalnya mereka yang memiliki fisik yang kuat tidak otomatis memiliki jiwa dan fikiran yang kuat, mereka yang memiliki fisik yang lemah justru malah menunjukkan kekuatan jiwa yang dahsyat.
Mereka yang memiliki fikiran yang cerdas sekalipun tidak menjamin akan hidup dengan jiwa yang bahagia. Beberapa tahun yang lalu terrekam suatu kejadian yang dahsyat, ketika Theodore John Kacznski meledakkan beberapa gedung, melukai 23 orang dan membunuh 3 orang (begitu Pasiak menggambarkan). Sulit dipercaya, laki-laki dengan segudang prestasi, tamat SMU di usia 15 tahun, selesai S2 usia 20 tahun dan doctor di bidang matematika usia 21 tahun itu melakukan perbuatan yang tidak berbanding lurus dengan prestasinya. Mungkin padanan kata yang sama adalah dia berprestasi meledakkan gedung (aduh...aduh).
Kejadian serupa kemudian terjadi beberapa tahun kemudian, terjadi penembakkan yang dilakukan oleh remaja SMU di Amerika melukai dan menewaskan beberapa orang teman seusianya.
Barangkali di sisi ini, terlihat jelas betapa kekuatan intelektual telah memperlihatkan keringkihannya dalam menampilkan dirinya dalam bentuk yang lebih ramah. Hal ini kemudian diperkuat di saat saya mendengar teman saya yang cerdas itu belum juga mendapat pekerjaan, bukan kurang pintar sebenarnya, tapi karena teman-temannya yang sudah sukses itu males ngajak dia untuk bergabung di perusahaannya, sebab semua orang yang satu angkatan dengan dia tahu betul kalau teman saya itu kalau narsis itu serius sekali (heu heu beda dengan saya yang narsisnya untuk guyon).
Bulan kemarin saya ke kampus (UIN Maulana Malik Ibrahim) saya ketemu dengan teman saya yang lugu, intelektualitasnya yaa sebanding dengan keluguannya (itu pendapat saya di saat pertama kali kenal), dia pun sering terlihat tidak mengerti dengan apa yang dosen ajarkan ketika duduk satu bangku kuliah dengan dia. Namun saat ini.... jeng jeng.... dia tampil berbeda, dia sudah lulus S2 dan menjadi asisten dosen. Satu hal yang belum hilang dari dia, yaitu keramahannya. Mungkin saja dengan keramahannya mampu membius orang lain untuk memberikan bantuannya; heu...heu....
Informasi itu justru memperkuat kenyataan bahwa intelektualitas telah pasrah bongkokan di depan kecerdasan emosional. Jelas kalah kalau disuruh mengarungi samudra kehidupan yang sering tidak punya landasan teori matematik.
Supaya kuat, dengan apa kekuatan intelektual harus bersanding?, bagi saya, kekuatan intelektual harus bersenyawa dengan kekuatan jiwa. Kekuatan jiwa inilah menjadi penguat segala keinginan, dan yang memberi makna dari setiap langkah perjalanan kita. Hal ini dapat dilihat dari bukunya Victor Frankl; Man’s Search for Meaning, yang menceritakan pengalamannya dibui di kamp konsentrasi NAZI di Auschwitz. Dan Dachau. Frankl menyatakan: “orang-orang yang memiliki kekuatan batin, mampu mengasingkan diri dari kehidupan yang sulit. Kata-kata dia terbukti, mereka yang punya citra diri yang negatif dan tidak punya semangat hidup yang kuat akan cepat masuk dalam ruang eksekusi.
Kalau begitu pertanyaannya adalah mungkinkah orang yang tidak bahagia bukan karena kapasitas intelektualnya yang tidak berkembang, tapi karena jiwanya yang resah? Kalau merujuk kepada pendapatnya Victor Frankl tadi, pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan ya.. sebab mereka yang punya jiwa yang resah, dan tidak mampu berkompromi dengan perubahan justru akan menjadi sumber ketidakbahagiaanya dirinya.
Ya begitulah memang, perjalanan di dunia ini agak memang susah, di sekolah kita diajarin pinter, namun hidup ini justru membutuhkan kekuatan jiwa yang tidak diajarkan sekolah, kalau begitu, (minjam kata Gus Mus) “aku harus bagaimana”? heu heu... gak pinter juga di sekolah bisa tidak bahagia, tapi kalau pintar, kapan saya belajar ilmu kehidupan..... biyung biyung.
kecerdasan emosi menjadi sentral untuk mencari kebahagiaan sosial
BalasHapus