Selasa, 21 April 2009

Balada Saksi?

Jum’at pagi sebelum saya berangkat ke kantor, saya ditelepon oleh salah satu unsur pimpinan salah satu parpol 4 besar dan meminta saya untuk menjadi saksi penghitungan suara di KPU,

“Mas Romi, jenengan jadi saksi di KPU ya..... hari ini jam 8 ditunggu”

Gubrak saya ditodong gini....... memang sih sebelumnya memang beliau telah memberi introduksi agar saya menjadi saksi parpolnya di KPU, sejenak saya terdiam dan kemudian mengiyakan. Dalam pikiran saya saat itu terbersit untuk tidak berharap menimba duit, sebab sejak awal memang untuk partai tersebut saya meniatkan diri untuk menjadi relawan, dan hasilnya memang terasa, saya lebih enjoy.

Hari pertama saya sudah bikin kisruh, karena KPU atas usulan dari saksi untuk tidak membacakan perolehan suara DPD, dengan alasan tidak ada saksi dari DPD, saat itu saya ngotot sendirian supaya KPU tetap membacakan perolehan suara dari DPD, saya gak peduli dengan citra partai saya yang sopan dan “lugu”. Saya tentang arus, saya dimisuhi, disumpahi, diteriaki, heu heu, bukan Romi kalau lutut saya gemetaran gara-gara itu. Hari pertama mereka kesal banget sama yang namanya Romi, gak nyangka rupanya, ternyata di Partai yang awalnya berlambang pedang itu ternyata ada macannya. Mereka kira kucing... Heu heu......

Memang sih pada awalnya hati saya kebat-kebit, sebab para saksi dari parpol untuk di KPU rata-rata berusia di atas 30, bahkan ada 1 orang yang berusia di atas 50, beberapa diantara mereka membawa laptop, sementara saya Cuma bawa kalkulator.....hik...hik, yang kecil lagi, kalkulator lipat. Tidak ada satu orang pun saya kenal, sempat bimbang juga, tapi ya.... keyakinan dikuatkan aja deh. Alhamdulillah saya bisa berperan juga.

Hari kedua, saya sering menginterupsi karena penghitungan suara dari PPK banyak yang keliru, saya beberapa kali usul untuk mempending pleno dan mempersilahkan salah satu PPK untuk menghitung ulang perolehan suara, dan disepakati. Saya mulai menemukan 2 kawan, dari sana saya pun mulai menjalin relasi, namun tetap saya jaga jarak, memang jadi politisi harus banyak jam terbang, tapi kalau dilatih terus bisa kok, sulit rasanya menjaga wajah tetap ramah, ngobrol tetap ngalir, sementara hati berjarak. Sementara rata-rata orang akan terlihat dengan jelas gambaran hatinya dari wajahnya. Sedangkan politisi, gambaran wajahnya tidak bisa menjadi ukuran gambaran hatinya. Terus bagaimana caranya supaya kita tahu isi hati para politisi? Ya gampang, tinggal bongkar aja isinya. Heu heu.

Hari ketiga saya mulai mendapat tempat, sebab rata-rata penghitungan data yang meragukan kebanyakan dikonfirmasikan ke saya, dan para saksi mulai frendly, sering ngajak guyon, saya mulai menikmati tugas saya ini.... namun ada satu pikiran yang menggelayuti saya, apa yang terjadi di balik tembok tabulasi suara, sebab penghitungan di KPU berbeda dengan PPK yang semuanya dapat dikonfirmasikan ke Plano yang ditulis secara manual, sementara di KPU ditulis dengan teknologi komputer yang disambungkan ke LCD, tidak terlihat tip exnya kalau ada kesalahan. Nah modus kecurangan di KPU lebih rapi, kalau pun ada yang curang. Kalau pun itu terjadi, tentu saja, pekerjaan saya menjadi semakin berat. Bahkan ngeyelnya saya lagi-lagi semakin membuktikan kalau jam terbang politik tidak hanya di lapangan saja, tapi lobi di balik layar. Moga aja Allah selalu bersama saya.

Sorenya saya mendengar berita di salah satu televisi ternyata yang depresi bahkan gila bukan hanya caleg, tapi tim suksesnya, waduh untung saja saksinya belum ada yang depresi, coba aja kalau ada, waaah apa kata dunia kalau ada saksi yang depresi, ... hiiiii moga aja saya gak ketularan. Dan untungnya seluruh caleg dan tim sukses dari partai saya hanya stres kategori menengah saja, belum masuk depresi. Namun sebagai anak bangsa, saya turut bersedih juga karena betapa mentalitas bangsa ini masih rentan untuk depresi ketika goncangan itu menyentuh relung batin.


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)