Sabtu, 19 Januari 2008

PENDIDIKAN SALAH KAPRAH

Semua orang barangkali sepakat bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya insaninya, untuk itu kemudian manusia bersepakat untuk membentuk lembaga pendidikan secara berjenjang. Tanpa ada kurikulum sekalipun manusia dengan rasa ingin tahunya tetap akan mencari tahu fenomena unik yang terjadi di sekelilingnya, bahkan lebih ekstrim lagi, mu’tazilah salah satu aliran teologi Islam yang mengagungkan rasio menyakini tanpa Nabi sekalipun menusia dengan akalnya akan mengenal kebenaran.

Saya bukan berarti anti pendidikan, sebab saya bisa jadi salah satu personifikasi dari proses pendidikan dan perenungan yang saya alami sehari-hari. Oleh sebab itu membenci pendidikan sejatinya membenci identitas yang menjadi bagian dari diri saya sendiri. Kembali ke masalah pendidikan, pendidikan merupakan salah satu pengalaman yang harus dilalui manusia sejak manusia ada di dunia. Nabi Adam mendidik anaknya untuk mengenal Allah, bahkan Qobil sendiri belajar kepada burung gagak cara menguburkan saudaranya yang telah ia bunuh. Begitu juga di Athena, ketika itu para filosof mencoba dengan keterbatasan akalnya merenungi alam ini dan siapa pencipta alam ini, hatta Aristoteles menyimpulkan bahwa ada zat adi kodrati yang memiliki kuasa untuk menciptakan alam yang bergerak ini, zat ini kemudian dinamakan dengan the unmoved mover, penggerak yang tidak ada yang menggerakkan.

Pada masa Rasululloh, tranfer ilmu dilakukan dengan kajian, halaqoh dan hal ini terus berlangsung dan diteruskan oleh para sahabat dan tabiin. Perkembangan pendidikan begitu dinamis seiring dengan penemuan terbaru terkait dengan neurosains supaya transfer materi disesuaikan dengan cara kerja otak dalam menyimpan informasi, psikologi perkembangan supaya disesuaikan dengan kebutuhan seusianya, teknologi pendidikan supaya kegiatan belajar mengajar begitu menarik, dll.

Sebelum terlalu jauh, izinkanlah saya bercerita tentang dinamika pemikiran di sebuah hutan rimba di negeri antah barantah, Singa sang raja hutan gelisah betul, sebab rakyatnya belum tercerahkan, akhirnya di suatu hari yang cerah, Singa mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk membicarakan cara supaya SDH (sumber daya hewan) di hutan itu maju. Setelah sekian lama berdebat dan adu argumentasi, maka seluruh hewan di hutan itu sepakat bahwa dengan pendidikan¸ mereka bisa cerdas, maka dirumuskanlah kurikulum, inti dari kurikulum itu, semua hewan diberi materi yang menurut versi mereka mencerdaskan.

Sekolah hewan pun dibuka, seluruh anak hewan berduyun-duyun sekolah. Elang begitu cekatan dalam pelajaran terbang, begitu juga cheetah sangat menonjol dalam pelajaran berlari. Ikan pun lihai sekali dalam pelajaran berenang. Namun elang tampak kerepotan dalam pelajaran berlari, begitu juga ikan putus asa dalam pelajaran berlari, cheetah yang tadinya bersemangat dalam pelajaran berlari, sekarang sedang mengalami depresi karena selalu gagal dalam pelajaran terbang.

Cerita ini hanya ilustrasi saja, bahwa niat baik tidaklah cukup untuk pendidikan, sebab perlu pengertian dan frame yang jelas terkait dengan keunikan personal setiap manusia yang saat ini telah direduksi dengan beberapa hal, pertama dengan sistem pabrikasi yang memasukkan manusia untuk diproses dalam jumlah yang besar, kedua standarisasi kecerdasan yang tidak adil, sebab tidak semua orang memiliki kekuatan yang sama.

Cerita ini lazim ditemukan dalam buku-buku yang mengupas konsep multiple intelligences Howard Gardner. Sebagai informasi saja, Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah sekaligus membuat karya yang bermanfaat bagi lingkungannya. Gardner kemudian memetakan kecerdasan ke dalam delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan matematis logis yaitu kemampuan untuk berfikir secara logis dan linier kemampuan ini lazim ditemukan pada matematikawan, pecatur, dll; Kecerdasan linguistik sebagai kemampuan untuk meramu kalimat dan kata-kata seperti orator dan penulis; kecerdasan musikal memiliki sensitifitas yang tinggi dalam mendengarkan nada lagu; kecerdasan ruang spasial sebagai kecerdasan untuk memetakan ruangan secara akurat seperti kemampuan pemain sepak bola yang dalam menentukan arah tendangan bola atau pemahat dan dokter bedah; kecerdasan interpesonal yang pada umumnya dimiliki oleh para manajer, HRD, negosiator dan orang marketing; kecerdasan interpesonal sebagai kecerdasan untuk memahami diri dan orientasinya, kecerdasan ini rata-rata dimiliki oleh filosof dan psikolog, kecerdasan natural seperti Charles Darwin, orang yang memiliki kecerdasan ini relatif merasa tenang dan bisa bersatu dengan alam, dan yang terakhir adalah kecerdasan kinestetik yang biasa dimiliki oleh para olahragawan. Gardner dengan optimis mengatakan bahwa manusia bisa jadi memiliki kecerdasan lebih dari satu, bahkan Gardner mengatakan bahwa pemetaan kecerdasan manusia boleh jadi akan bertambah seiring dengan penemuan-penemuan mutakhir.

Taufik Pasiaq memiliki ilutrasi cerita yang lain, suatu ketika seorang murid bertanya kepada Ibu Kepala Sekolah “Bu siapa yang lebih pinter, Mike Tyson atau BJ Habibie”, kontan saja Ibu Kepala Sekolah itu marah dan berteriak “BJ Habibie lebih pinter, karena Tyson bisanya Cuma mukul orang saja”. Tampaknya kecerdasan masih dipigura oleh dua kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik dan kecerdasan matematis, diluar itu dikategorikan sebagai keterampilan. Meminjam Maslow, jika kita hanya memiliki palu, maka semuanya terlihat menjadi paku.

Definisi kecerdasan ini perlu ditinjau juga dari lingkugan (milleu) tempat peserta didik berada SMA Jakarta akan terlihat bodoh ketika ditempatkan di hutan, yang bagi anak-anak suku pedalaman adalah hal biasa, sebaliknya anak-anak suku pedalaman akan terlihat lugu ketika menghadapi laptop. Saya memprediksikan jika pola standarisasi manusia ini terus berjalan, maka orang-orang akan menjadi tidak mengenal lingkungannya bahkan dirinya sendiri.

Melihat standarisasi pendidikan yang menitik beratkan kelulusan siswa pada UAN tampaknya merupakan turunan dari cara pandang klasik yang melihat nilai ideal siswa pada beberapa mata pelajaran saja. Tentu saja para olahragawan muda, pelukis dan pemusik cilik akan kesulitan besar dan kecewa, sebab kecerdasan kinestetik, musik dan ruang spasial mereka seolah-olah menjadi kecerdasan pelengkap. Di sisi lain ada fakta yang konsisten, yaitu semakin dekat lokasi sekolah itu ke pusat kota, maka semakin besar peluang untuk lulus, sebaliknya semakin jauh lokasi sekolah dari pusat kota, semakin tertutup aksesnya maka peluang tidak lulus akan semakin lebar.

Perubahan wajah pendidikan Indonesia tampaknya harus dimulai dari perubahan filosofis dalam memandang peserta didik. Selama cara pandang ini masih tidak adil dalam melihat keunikan pribadi-pribadi maka realisasi 20 persen dana pendidikan dari APBN tetap saja menelurkan konsep pendidikan yang membodohkan. Paulo Preire sangat muak melihat fenomena ini, sehingga dia pun berkata, saya sangat muak melihat pembodohan yang mengatasnamakan pendidikan.

Saya tidak berniat untuk memprovokasi, sebab jelas hal ini tidak konsisten dengan kondisi kejiwaan saya. Saya hanya mencoba melihat realitas secara jujur, bahwa yang penting dalam pendidikan adalah bagaimana peserta didik menemukan cara efektif bagi dirinya untuk belajar sekaligus menemukan konsep diri yang positif dalam rangka pembangunan karakter. Jika dua hal ini diaplikasikan, maka penyelenggara pendidikan tidak perlu memaksakan diri untuk memberi cara efektif untuk belajar, toh murid sudah tahu cara belajar terbaik untuk belajar.

Kemalasan belajar sejatinya bukan fitrah anak, saya memandang bahwa sebodoh apapun manusia selalu mencari cara untuk mendapatkan jawaban, sebab Allah telah membekali manusia dengan akal yang mendorongnya selalu ingin tahu, minimal memiliki jawaban sementara untuk menenangkan gejolak jiwanya. Penguburan motivasi sejatinya karena sistem pendidikan yang memang tidak difahami anak dan tidak sesuai dengan cara mereka, akibatnya mereka akan menolak secara halus dengan kemalasan.

Tampaknya gerakan kritis yang dimulai dari siswa yang gagal uan maupun aktivis pendidikan belum digubris secara serius, tampaknya pengambil kebijakan dalam pendidikan telah menemui jalan buntu selain uan sebagai jalan terbaik untuk mengukur kecerdasan seseorang seperti halnya psikolog fanatik yang meyakini WAIS, WISC, BINET merupakan alat tes yang akurat untuk mengukur skor IQ seseorang.

Jati diri, kearifan lokal akan hilang jika kebiasaan untuk menstandarkan manusia telah jadi tabiat. Sebab hingga kini manusia belum menemukan batas akhir yang mampu dicapai manusia. Manusia kemudian dihitung bukan sebagai identitas, namun dihitung sebagai angka yang diklasifikasikan sebagai angka gagal adalah angka di bawah 5 dan angka sukses adalah angka 6 sampai sepuluh. Kesalahan paradigma ini menyebabkan para pendidik menjadi salah arah, sebab pada prinsipnya manusia akan mengikuti sistem yang disepakati baik itu salah atau benar. Jadi yang diperbaiki adalah sistemnya dulu dengan cara merubah bentuk fikiran para pejabat pendidikan.

Fakta yang terjadi, ternyata untuk sukses dalam karir tidak ditentukan UAN meski dalam beberapa hal memang berpengaruh. Golemen malah melihat bahwa kecerdasan intelektual hanya diperlukan untuk melalui testing ujian kerja saja, setelahnya ditentukan oleh kecerdasan emosi. Bahkan Danah Zohar melihat sebagi fenomena manusia cerdas tapi bodoh secara spiritual.


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)