Cerita pilu
Pemilu 2019 terus menghiasi warta berita baik berita televisi, media cetak,
maupun media online. Bisa dikatakan tingkat kematian pelaksana pemilu ini
tertinggi sejak pemilu pertama di negeri ini yang dilaksanakan pada tahun 1955.
Terlepas dari
hiruk pikuk politik yang ada, kematian ini menyisakan persoalan yang besar
yaitu :
- Beban ekonomi keluarga yang ditinggal sebab ada orang yang harus tetap hidup misalnya anak anak dan pasangan.
- Pertanyaan besar apa penyebab kematian yang begitu banyak ini
Pada akhirnya, mereka
yang meninggal dunia, sakit dan cacat menerima santunan dari pemerintah dengan
nominal yang berbeda beda. Merujuk kepada beberapa media, berikut ini adalah
besaran santunan yang diperoleh penyelenggara yang terkena resiko
- Meninggal dunia akan mendapat santunan sebesar Rp 36 juta
- Mengalami cacat permanen mendapat santunan sebesar Rp 36 juta
- Besaran santunan penyelenggara yang mengalami luka berat Sebesar Rp 16,5 juta
- Luka biasa mendapat santunan Rp 8,25 juta
Mereka yang
mengalami resiko diatas dan
terverifikasi sahih, dana pun akan ditransfer ke rekening yang
bersangkutan atau rekening ahli waris. Dalam hal ini, santunan tersebut layak
diapresiasi, sebab hal tersebut menunjukkan adanya kepedulian pemerintah
terhadap resiko yang akan di terima penyelenggara, sekaligus meringankan beban
ekonomi keluarga yang ditinggal.
ANGKA KELAYAKAN SANTUNAN
Keluar dari
kemelut kegiatan lima tahunan demokrasi di Indonesia, kita tarik pada resiko
bahwa kematian
itu, siapa pun bisa mengalaminya, sebab kematian
adalah sisi lain dari kehidupan. Bisa saja beragam ikhtiar sudah dilakukan baik
menjaga kesehatan, menjaga pola makan, olahraga teratur. Namun bisa jadi
kematian justru datang dari kecelakaan, atau dalam hal lain yang tidak terduga,
oleh sebab itu banyak ahli keuangan menamanakan kematian sebagai kejadian uncertainty off occurrence and uncertainty
of loss.
Kematian memang
menyisakan banyak persoalan jika tidak disikapi secara bijak. Persoalan terbesar
adalah persoalan keuangan. Persoalan yang pertama dibahas adalah persoalan
hutang. Agak jarang memang orang pada hari ini bisa tidak memiliki hutang sama
sekali, sebab beragam fasilitas hutang yang dicover dalam bentuk kredit ini sangat
luar biasa variatif dengan segala fiturnya. Begitu pula dalam hal bisnis. Hutang
ini perlu segera dibereskan jika tidak ingin menjadi beban yang bersangkutan.
Namun pertanyaannya
adalah jika asset pun tidak mencukupi untuk mentutupi hutang, harus pakai dana
apa lagi ? banyak ahli waris kemudian menolak membayar hutang karena selain
tidak mau ribet juga banyak hutang tersebut tidak melibatkan keluarga sejak dari
awal. Ini persoalan yang pelik secara fiqih.
Persoalan yang
tidak kalah peliknya adalah kematian kepala keluarga juga berarti kematian secara
pendapatan. Terlepas apakah suami isteri yang bekerja atau suami saja yang
bekerja, namun wafatnya suami dimaknai berhentinya pendapatan bulanan yang
biasa diperoleh dari hasil kerja suami. Dengan kata lain, keluarga memasuki
fase bangkrut secara ekonomi.
Bagaimana jika
istri juga bekerja, tentu ini lain hal, sebab masih ada pemasukkan keluarga
dari pihak istri, namun yang pasti seluruh tagihan tagihan ini akan ditanggung
oleh pihak istri sendirian.
PERSOALAN SEBENARNYA
Sebelum terlalu
jauh menohok masuk bagaimana menghitung angka kelayakan. Mari sejenak menengok ke belakang,
pernah kah kita belajar ilmu ngatur duit ? Edukasi keuangan adalah edukasi yang banyak tertinggal dibandingkan
edukasi yang lain, kehidupan manusia yang sejak lahir sampai meninggal pun
selalu melibatkan uang justru tidak pernah dilirik untuk menjadi bagian edukasi
utama di sekolah.
Peninggalan terakhir
edukasi keuangan yang masih kita ingat sampai saat ini adalah pepatah menabung
pangkal kaya. Pepatah ini mungkin saja lahir saat inflasi masih kecil belum
mengganas. Biaya administrasi perbankan pun masih rendah. Tapi hari ini dana
tabungan siapa pun akan tergerus inflasi yang konsisten menurukan nilai mata
uang, begitu pula biaya administrasi perbankan yang menarik biaya pengelolaan
tiap bulan.
Dari edukasi
minim ini kemudian, segala konsep manajemen keuangan untuk jangka pendek,
menengah dan panjang ini habis dimakan oleh pengeluaran yang tidak produktif.
IKHTIAR PROTEKSI PEMASUKAN
Apa yang
dilakukan pemerintah memberi santunan finansial kepada keluarga penyelenggara adalah
upaya sederhana untuk menjaga siklus keuangan meski untuk sementara waktu saja.
Misalnya
keluarga penyelenggara memiliki pengeluara rutin sebesar Rp 3,6 juta per bulan,
maka dana santunan pemerintah itu hanya bisa digunakan untuk pengeluaran selama
10 bulan saja, itu pun belum dihitung biaya pemakaman dan beberapa prosesi lainnya.
Bulan bulan
selanjutnya keluarga yang ditinggal harus survive melakukan segala macam
ikhtiar yang bisa dilakukan untuk memastikan anak anak bisa sekolah.
Beruntung jika
yang meninggal tersebut memiliki asset yang terus menghasilkan uang dalam
putaran yang cepat. Misal toko, atau hal lain yang sifatnya menghasilkan. Namun
saat ini agak jarang orang memiliki hal tersebut, apalagi di kota besar yang
kebanyakan bekerja di kantor.
Apa ikhtiar
keluarga untuk menjadi pemasukkan tetap terjaga meski kepala keluarga wafat ? ini
pertanyaan mahal jika dicarikan
jawabannya. Jaman dulu saat setiap keluarga punya kolam ikan,kebun
dan sawah cukup luas, mungkin asuransi jiwa tidak terlalu mendesak dimiliki,
sebab warisan berupa aset tanah, sawah, kebun dan kolam ikan ini bisa
dipergunakan untuk menopang ekonomi keluarga.
Tapi hari ini
saat lahan semakin sempit, tentu saja wafatnya kepala rumah tangga berarti
wafatnya pemasukan yang dapat menopang kehidupan keluarga. Oleh karena itu, para perencana keuangan
merekomendasikan setiap keluarga memiliki Asuransi Jiwa.
Cara kerja
Asuransi jiwa itu simple, Anda ikut iuran membayar premi sesuai yang disepekati
dengan nominal uang pertanggungan (UP) senilai tertentu. Saat Anda meninggal
dunia dalam periode akan, maka keluarga yang ditinggal akan menerima santunan
sesuai dengan UP yang disepakati.
BERAPA UP YANG PAS ?
Banyak teori
cara menghitung Uang Pertanggungan yang pas, namun cara yang paling sederhana
adalah dengan menghitung nominal pemasukan dikali 100. Jika pemasukan seorang
suami sebesar Rp 5 juta, maka total uang pertanggungan yang harus disiapkan
adalah senilai Rp 500 juta. Berapa preminya ? setiap perusahaan asuransi
berbeda beda dalam mematok premi. Namun setahu saya takaful keluaga cukup murah
preminya. Detailnya bisa kontak wa di 081515155106.
DAYA BELI MASYARAKAT
Menurut Larry
Winget “Tidak ada yang namanya masalah keuangan, yang ada adalah masalah
prioritas.”
Larry Winget ada benarnya juga. Beberapa kali saya
presentasi pentingya memiliki asuransi di setiap keluarga, salah satu perangkat
desa menyampaikan keluhan daya beli masyarakat yang rendah, jangankan berfikir
untuk asuransi, untuk kebutuhan sehari hari saja pun masih kesulitan.
Bisa jadi ada
benarnya, namun saya coba bertanya, suami panjenengan setiap hari bisa
menghabiskan berapa batang rokok rata rata setiap hari ? jawabannya mengejutkan, rata rata 1 bungkus
rokok dengan rata rata harga kisaran Rp 13 ribu.
Rp 13 ribu
adalah uang yang cukup besar jika dihitung 1 bulan senilai Rp 390 ribu. Sementara
Premi Asuransi Jiwa hanya Rp 250 ribu per tahun.
Nah sudah kebayang kan kenapa minim edukasi
finansial ini benar benar mengerikan efeknya ? kalau begitu ayo kita hitung
kembali rencana keuangan kita dan mari melakukan langkah sederhana, yaitu giat
bekerja untuk menaikkan pendapatan, pada saat yang sama pangkas segera
pengeluaran yang tidak efisian.
This piece of writing is in fact a nice one it assists new internet people,
BalasHapuswho are wishing in favor of blogging.