Senin, 03 Mei 2021

MENULIS TANPA ALASAN

Ketika dapat amanah untuk menuliskan ragam alasan untuk menulis, saya hanya “mak teg” saja dalam batin, harus seformal itu kah untuk menulis, dan memang apakah sebebal ini kah saya sampai perlu alasan demi alasan untuk menulis.


Merujuk kepada sejarahnya, manusia memang tidak pernah lepas dari ikhtiar untuk menulis, kita bisa cek prasasti batu tulis yang mendokumentasikan kejadian dinobatkannya Prabu Siliwangi menjadi Raja Pajajaran di Bogor, lebih jauh lagi dalam dimensi yang lebih purba, bisa kita dapati coretan coretan tangan manusia purba yang kebanyakan berupa gambar. Menjadi semakin relevan memang jika menulis adalah bekerja untuk keabadian, Kata Pramoedya Ananta Toer.


Adalah Sayyid Qutb yang memiliki kesamaan dengan Hamka, keduanya menulis Tafsir di dalam penjara, Sayyid Qutb dengan tafsir fii dhilalil Qur’an, sementara Hamka menulis Tafsir Al Azhar. Begitu pula Adolf Hitler, konon menulis Adolf Hitler saat di penjara menulis Mein Kampf. 


Menulis rupanya panggilan jiwa, namun bagi saya adalah jiwa kita dipanggil untuk menulis, jika jiwa sudah terpanggil untuk menulis, alasan apa pun diterabas. Jika untuk menulis pun membutuhkan banyak alasan, ah jangan jangan jiwa kita memang belum dipanggil untuk menulis.

 

MENATA YANG TERSERAK

Banyak temuan-temuan makna yang selalu kita temui dalam diskusi bersama teman ngopi, dalam pengajian, bahkan kita pun sering mendapatkan inspirasi saat kita sedang naik motor, atau sedang menyendiri. Makna dan insight ini biasanya berupa instisari proses pembelajaran kehidupan, dalam 1 hari saja, kita bisa mendapatkan ratusan temuan temuan pemaknaan baru dalam bidang apa pun, misal suatu pagi kita mendapatkan temuan makna tentang arti cara bersyukur untuk mendapatkan kemelimpahan, 1 jam kemudian kita mendapatkan makna tentang tirakat ridlo, siangnya seperti yang saya alami barusan, saya mendapatkan insight pentingnya menulis segala kegalauan yang membuat rasa malas, hasilnya luar biasa dahsyat, saya kembali tergerak semangat.


Temuan temuan itu bukan muncul tanpa alasan dan bukan datang tanpa proses, itu semua adalah intisari yang kita baca, intisari dari dikusi dikusi kita, intisari dari banyaknya pengajian yang diikuti, termasuk intisari dari buku-buku yang kita baca. Kebayang gak betapa bebalnya kita, saat intisari itu semua dibiarkan berserakan dan akhirnya menguap hilang, tanpa terdokumentasi secara rapi dan sistematik.


Menulis adalah seni untuk mendokumentasikan beragam insight, makna, kesimpulan yang sering datang setiap waktu, tanpa bisa kita dikte apakah inspirasi itu akan kembali datang apa tidak. Sebab akal memiliki cara kerjanya sendiri yang independen. Dari catatan demi catatan itu, kemudian dikategorikan, dan jadilah ilmu yang rapi dan bisa diajarkan kepada generasi setelah kita.  Jangan jangan ini jadi kunci kenapa Karya JK Rowling ini selalu hits, sebab dia selalu menuliskan apa pun yang dia ketahui, Dan menuliskan apa pun pengalaman dan perasaanya.


MEMAKNAI YANG TERSIRAT

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tersirat bermakna tersembunyi atau terkandung (di dalamnya). Namun haruskah dengan tersebunyinya makna, menghentikan langkah kita untuk menelisik makna yang terkandung di dalamnya. Mungkin ini ikhtiyar yang nisbi, mengingat hari ini pergerakan nirintelektual ini mulai merenggut intelektualitas anak bangsa ini.


Barangkali kita tidak akan menyaksikan indahnya tafsir banyak ulama yang menafsirkan “Istiwa alal arsy” jika tidak ada karya intelektual ulama yang membahas itu.  Walau pun tidak ada kesimpulan yang pasti, namun dengan membuka lembar demi lembar yang tersirat akan membuat pemaknaan apa pun semakin kaya, dan memastikan dengan karya fenomenal para ulama ini, proses pengembaraan intelektual kita tidak harus dimulai dari 0.   


TRADISI KLASIK

Dalam tradisi intelektual klasik, ada pepatah yang biasa dihafal para santri, al ilmu shoidun wal kitabatu qoiduhu, qoyyid shuyudaka bil hibaalil watsiqoh. Terjemahan bebasnya adalah ; ilmu adalah buruan dan tulisan adalah tali ikatan, ikatlah buruanmu dengan ikatan tali yang kuat.


Adalah Imam Bukhori yang menghabiskan waktu 16 tahun sehingga menghasilkan Kitab Hadist Shahih Bukhori, tidak puas sampai disitu, ulama pun memiliki mensyarah kitab, dari perjalanan syarah ini, lahirlah Fathul Bari Syarah Hadist Shahih Bukhori. Tidak hanya itu, tradisi kritik melalui tulisan pun hal biasa terjadi, kalau kita menelaah kitab Tahafutul Falasifah Imam Ghazali adalah kritik ilmiah terhadap keterbatasan metode filsafat dalam mengungkap kebenaran. Namun kitab itupun tidak bebas dari kritik dari Ibnu Rusyd dengan membuat karya fenomenal yaitu kitab tahafutut tahafut.


Tradisi menulis ini apakah dalam bentuk kritik fenomena, kritik karya ilmiyah, bahkan bisa juga dari hasil pengamatan social seperti yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun, dengan kitab al muqoddimah nya.


Kita, mungkin tidak setekun Ibnu Bathutah yang mengembara kemudian hasilnya ditulis dalam karya Tuhfah An Nuzzar fii Garaib al amsar wa sajaib al afsar, terlalu jauh, apalagi dibandingkan dengan karya Imam Syafii. Tapi tradisi klasik menulis ini terbukti menghantarkan banyak negeri negeri klasik dan modern mencapai puncak peradabannya.


Jika ada tradisi yang terbukti membuat agama, bangsa dan Negara ini berjaya, masihkan kita berfikir panjang untuk tidak menulis ?

 


EmoticonEmoticon