Ketika dapat amanah untuk menuliskan ragam alasan untuk menulis, saya hanya “mak teg” saja dalam batin, harus seformal itu kah untuk menulis, dan memang apakah sebebal ini kah saya sampai perlu alasan demi alasan untuk menulis.
Merujuk kepada
sejarahnya, manusia memang tidak pernah lepas dari ikhtiar untuk menulis, kita
bisa cek prasasti batu tulis yang mendokumentasikan kejadian dinobatkannya Prabu Siliwangi menjadi Raja Pajajaran di Bogor, lebih
jauh lagi dalam dimensi yang lebih purba, bisa kita dapati coretan coretan
tangan manusia purba yang kebanyakan berupa gambar. Menjadi semakin relevan memang
jika menulis adalah bekerja untuk keabadian, Kata Pramoedya Ananta Toer.
Adalah Sayyid
Qutb yang memiliki kesamaan dengan Hamka, keduanya menulis Tafsir di dalam
penjara, Sayyid Qutb dengan tafsir fii dhilalil Qur’an, sementara Hamka menulis
Tafsir Al Azhar. Begitu pula Adolf Hitler, konon menulis Adolf Hitler
saat di penjara menulis Mein Kampf.
Menulis rupanya
panggilan jiwa, namun bagi
saya adalah jiwa kita dipanggil untuk menulis, jika
jiwa sudah terpanggil untuk menulis, alasan apa pun diterabas. Jika untuk
menulis pun membutuhkan banyak alasan, ah jangan jangan jiwa kita memang
belum dipanggil untuk menulis.
MENATA YANG TERSERAK
Banyak temuan-temuan makna yang selalu kita temui dalam diskusi bersama teman
ngopi, dalam pengajian, bahkan kita pun sering mendapatkan inspirasi saat kita
sedang naik motor, atau sedang menyendiri. Makna dan insight ini biasanya
berupa instisari proses pembelajaran kehidupan, dalam 1 hari saja, kita bisa
mendapatkan ratusan temuan
temuan pemaknaan baru dalam
bidang apa pun, misal suatu pagi kita mendapatkan temuan makna tentang arti cara
bersyukur untuk mendapatkan kemelimpahan, 1 jam kemudian kita mendapatkan makna
tentang tirakat ridlo, siangnya seperti yang saya alami barusan, saya
mendapatkan insight pentingnya menulis segala kegalauan yang membuat rasa
malas, hasilnya luar biasa dahsyat, saya kembali tergerak semangat.
Temuan temuan itu
bukan muncul tanpa alasan dan bukan datang tanpa proses, itu semua adalah
intisari yang kita baca, intisari dari dikusi dikusi kita, intisari dari banyaknya
pengajian yang diikuti, termasuk intisari dari buku-buku yang kita baca. Kebayang gak betapa bebalnya kita, saat
intisari itu semua dibiarkan berserakan dan akhirnya menguap hilang, tanpa
terdokumentasi secara rapi dan sistematik.
Menulis adalah seni
untuk mendokumentasikan beragam insight, makna, kesimpulan yang sering datang
setiap waktu, tanpa bisa kita dikte apakah inspirasi itu akan kembali datang
apa tidak. Sebab akal memiliki cara kerjanya sendiri yang independen. Dari catatan
demi catatan itu, kemudian
dikategorikan, dan jadilah ilmu yang rapi dan bisa diajarkan kepada generasi
setelah kita. Jangan jangan ini jadi
kunci kenapa Karya JK Rowling ini selalu hits, sebab dia selalu menuliskan apa pun yang dia ketahui,
Dan menuliskan apa pun pengalaman dan perasaanya.
MEMAKNAI YANG TERSIRAT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tersirat bermakna tersembunyi atau
terkandung (di dalamnya). Namun haruskah dengan tersebunyinya makna,
menghentikan langkah kita untuk menelisik makna yang terkandung di dalamnya. Mungkin
ini ikhtiyar yang nisbi, mengingat hari ini pergerakan nirintelektual ini mulai
merenggut intelektualitas anak bangsa ini.
Barangkali kita tidak akan menyaksikan indahnya tafsir banyak ulama yang menafsirkan
“Istiwa alal arsy” jika tidak ada karya
intelektual ulama yang membahas itu. Walau
pun tidak ada kesimpulan yang pasti, namun dengan membuka lembar demi lembar
yang tersirat akan membuat pemaknaan apa pun semakin kaya, dan memastikan dengan
karya fenomenal para ulama ini, proses pengembaraan intelektual kita tidak harus
dimulai dari 0.
TRADISI KLASIK
Dalam tradisi intelektual klasik, ada
pepatah yang biasa dihafal para santri, al
ilmu shoidun wal kitabatu qoiduhu, qoyyid shuyudaka bil hibaalil watsiqoh. Terjemahan
bebasnya adalah ; ilmu adalah buruan dan tulisan adalah tali ikatan, ikatlah
buruanmu dengan ikatan tali yang kuat.
Adalah Imam Bukhori yang menghabiskan
waktu 16 tahun sehingga menghasilkan Kitab Hadist Shahih Bukhori, tidak puas
sampai disitu, ulama pun memiliki mensyarah kitab, dari perjalanan syarah ini,
lahirlah Fathul Bari Syarah Hadist Shahih Bukhori. Tidak hanya itu, tradisi
kritik melalui tulisan pun hal biasa terjadi, kalau kita menelaah kitab Tahafutul Falasifah Imam Ghazali adalah
kritik ilmiah terhadap keterbatasan metode filsafat dalam mengungkap kebenaran.
Namun kitab itupun tidak bebas dari kritik dari Ibnu Rusyd dengan membuat karya
fenomenal yaitu kitab tahafutut tahafut.
Tradisi menulis ini apakah dalam bentuk
kritik fenomena, kritik karya ilmiyah, bahkan bisa juga dari hasil pengamatan social
seperti yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun, dengan kitab al muqoddimah nya.
Kita, mungkin tidak setekun Ibnu Bathutah
yang mengembara kemudian hasilnya ditulis dalam karya Tuhfah An Nuzzar fii Garaib al amsar wa sajaib al afsar, terlalu
jauh, apalagi dibandingkan dengan karya Imam Syafii. Tapi tradisi klasik
menulis ini terbukti menghantarkan banyak negeri negeri klasik dan modern mencapai
puncak peradabannya.
Jika ada tradisi yang terbukti membuat
agama, bangsa dan Negara ini berjaya, masihkan kita berfikir panjang untuk tidak
menulis ?
EmoticonEmoticon