Selasa, 11 Mei 2021

BIARKAN CAHAYA MATA INI TETAP BERBINAR

Saat malam tiba, sesekali saya melihat anak anak yang terlelap, sekedar melihat mereka, merapikan selimut, atau memperbaiki posisi tidur mereka, atau sekedar membereskan mainan anak anak yang berserakan. Ada perasaan hening, begitu heningnya sampai suara jam dinding ini terdengar jelas, bersahutan dengan suaran jarum jam tangan yang lebih lirih. Rasa mistik spiritual masuk menjalar dalam batin, Setelah itu, perlahan semua ingatan tentang mereka muncul dalam pikiran.


Ingatan itu kadang
berupa kilas balik candaan mereka, panggilan manja si bungsu yang sudah lancar berbicara "abi... Abi.. Abikuh" Yang biasanya diikuti tertawaan kakaknya yang tergelak lucu melihat tingkah adiknya, terkadang candaan mereka di ruang makan, di mana pun, Emosi mengandung memori ini tidak bisa didikte, mereka punya cara kerjanya sendiri.  Sesekali menyelinap saat saya menyeduh kopi, ini agak aneh memang, bagi saya kopi dan tidur adalah 2 hal yang terpisah, jadi ngopi ya jalan, tidur pun lancar.


Saat perjalanan menuju dapur, sering melihat sendal anak berserakan, dari situ pun bisa membius saya dan membawa pada ingatan tentang anak, apakah saat jalan jalan bersama atau apa pun yang terhubung dengan sandal. Duh jiwa melankolik ini langsung menguat.


Harusnya semua ayah mengalami pengalaman emosionil seperti ini, mirip petrikor, tidak terlalu harum, tapi semua orang menyukainya.  Kondisi ini yang kemudian saya sadari untuk membuat pilihan kerja tidak jauh di blitar, bangun tidur ke tidur lagi melihat anak anak dengan segala kompleksitasnya, apakah main tanahnya, kehebohannya, berantaknya atau pertengkaran yang biasanya salah satu atau semua yang terlibat menangis.


Dari sini kita jadi tahu Ingatan ini penting untuk menciptakan bounding, sebab anak anak pun selalu mengenang apa pun yang terhubung dengan orangtuanya saat mereka berjauhan, mudik adalah fenomena yang bisa menjelaskan itu semua, anak anak kangen dengan masakan ibunya, kangen dengan suasana kamar saat dia kecil sampai dewasa, kangen dengan stiker stiker yang menempel di lemari yang warnanya semakin pudar, dan apa pun itu.


WHAT NEXT

Kadang datang menyelinap rasa khawatir akan masa depan anak, dan hampir semua ayah memiliki perasaan yang sama akan masa depan anak. Bisa dikatakan anak yang lucu ini ke depan akan mengisi ruang ruang budaya dan peradaban yang tampaknya tidak mudah.


Senandikan ini memang anomali, ini tidak normal, sebab kekinian anak harus dikontraskan dengan masa depan yang mungkin tidak seperti dalam imajinasi. Sumbernya bisa diketahui jelas, yaitu dari rasa khawatir ayah terhadap masa depan anak anaknya. Namun jika bisa dilacak lebih dalam, sebenarnya itu hasil dari proyeksi ketakutan tidak mampu menghantarkan anaknya bahagia. Ada batasan yang dirasa akan menghalangi ini semua,dan biasanya tidak jauh dari usia.  


Berhenti mengkhawatirkan itu langkah yang benar, sebab selain membuang waktu, juga naif sekali menghabiskan menit demi menit tenggelam dalam kejadian yang belum tentu terjadi.  Selain itu kekhawatiran itu sebenarnya proses untuk membuat goal. seseorang yang takut polisi, biasanya akan sering bertemu polisi, begitu pula orang yang benci asap rokok sering dihadapkan hari hari dia dengan orang perokok.


Khawatir anak tidak bisa mengerjakan tugas sekolah membuat fokus fikiran kita justru pada ketidakmampuan anak, bukan pada potensi terkuat, lambat laun, persepsi berubah, anak menjadi terlihat semakin tidak mampu. Ini yang dimaksud bahwa ketakutan dan kekhawatiran itu kita sendiri yang mengundang.


Dari penjelasan diatas mulai ada titik terang dari mana kita proses pembenahan ini diawal, jika menilik pada hadist, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan At Thabrani “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi ”, maka orangtua lah yang harusnya fokus utama untuk dibenahi.


Mudahnya adalah, jika sudah beres, anak pun akan beres, rejeki juga akan beres, karir akan beres dan semuanya akan menjadi beres dengan sendirinya, dengan ikhtiar yang mungkin tidak sekeras jika orangtuanya masih belum beres.


Banyak sekali contoh orangtua dalam hal ini ayah yang belum beres cenderung memberi dampak yang tidak beres juga kepada anak. Dalam hal memberi hukuman saja, banyak yang terpatri pada 2 kecenderungan ekstrim, yaitu  sadis, dan dimanja. Rasionalisasinya banyak, bagi yang penganut pendidikan keras, dia berencana bahwa dia melakukan itu supaya anaknya tidak manja, padahal sebenarnya itu refleksi masa lalu seorang ayah yang Nir kasih sayang di saat kecil, yang terbawa dan terefleksi kuat saat menjadi ayah.


Bagi penganut anak manja, rasionalisasi banyak, apakah merasa bukan saatnya lagi pendidikan keras, atau apa pun itu, dampaknya begitu banyak guru yang dilaporkan orangtua ke pihak berwajib atas caranya guru mendidik anaknya. Hari ini makin banyak lelaki sebatas cowok.


Apa mungkin yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah semakin relevan; "Kebanyakan kerusakan anak disebabkan karena orang tuanya, mereka menelantarkannya dan tidak mengajarkan anak ilmu dasar-dasar wajib agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan anak-anak dimasa kecil mereka."


Membenahi diri sendiri, dalam hal ini saya selaku bapak dari anak anak adalah cara tercepat, cara terbaik untuk menghadirkan anak penyejuk mata, atau bahasa lain anak bahagia dengan binar mata yang terus cemerlang.


Dan saat anak anak tidur pun, saya menepi sejenak dan selalu terpikir, hal apa yang harus saya lakukan terutama dalam hal membenahi diri saya sendiri?. Ah ternyata masih panjang daftar perilaku yang harus saya benahi, terutama membenahi getaran getaran batin, membenahi kerelaan saya untuk menerima anak sebagaimana anak, bersih dari bias bias kenaifan saya.


Bagaimana kita mulai membenahinya? Kita akan bahas selanjutnya ya.


EmoticonEmoticon