Saat malam tiba, sesekali saya melihat anak anak yang terlelap, sekedar melihat mereka, merapikan selimut, atau memperbaiki posisi tidur mereka, atau sekedar membereskan mainan anak anak yang berserakan. Ada perasaan hening, begitu heningnya sampai suara jam dinding ini terdengar jelas, bersahutan dengan suaran jarum jam tangan yang lebih lirih. Rasa mistik spiritual masuk menjalar dalam batin, Setelah itu, perlahan semua ingatan tentang mereka muncul dalam pikiran.
Ingatan itu kadang berupa kilas balik candaan mereka, panggilan manja si bungsu yang
sudah lancar berbicara "abi... Abi.. Abikuh" Yang biasanya diikuti
tertawaan kakaknya yang tergelak lucu melihat tingkah adiknya, terkadang candaan mereka di ruang makan, di mana pun, Emosi
mengandung memori ini tidak bisa didikte, mereka punya cara kerjanya sendiri. Sesekali menyelinap saat saya menyeduh kopi, ini agak aneh
memang, bagi saya kopi dan tidur adalah 2 hal yang terpisah, jadi ngopi ya
jalan, tidur pun lancar.
Saat perjalanan menuju
dapur, sering melihat sendal anak berserakan, dari situ pun bisa membius saya
dan membawa pada ingatan tentang anak, apakah saat jalan jalan bersama atau apa
pun yang terhubung dengan sandal. Duh jiwa melankolik ini langsung menguat.
Harusnya semua ayah
mengalami pengalaman emosionil seperti ini, mirip petrikor, tidak terlalu
harum, tapi semua orang menyukainya. Kondisi ini yang kemudian saya sadari untuk membuat pilihan kerja tidak
jauh di blitar, bangun tidur ke tidur lagi melihat anak anak dengan segala
kompleksitasnya, apakah main tanahnya, kehebohannya, berantaknya atau
pertengkaran yang biasanya salah satu atau semua yang terlibat menangis.
Dari sini kita jadi tahu
Ingatan ini penting untuk menciptakan bounding, sebab anak anak pun selalu
mengenang apa pun yang terhubung dengan orangtuanya saat mereka berjauhan,
mudik adalah fenomena yang bisa menjelaskan itu semua, anak anak kangen dengan
masakan ibunya, kangen dengan suasana kamar saat dia kecil sampai dewasa,
kangen dengan stiker stiker yang menempel di lemari yang warnanya semakin pudar, dan apa pun itu.
WHAT NEXT
Kadang datang menyelinap
rasa khawatir akan masa depan anak, dan hampir semua ayah memiliki perasaan yang
sama akan masa depan anak. Bisa dikatakan anak yang lucu ini ke depan akan mengisi ruang ruang budaya dan peradaban yang tampaknya tidak mudah.
Senandikan ini memang anomali, ini tidak normal, sebab kekinian anak harus dikontraskan dengan
masa depan yang mungkin tidak seperti dalam imajinasi. Sumbernya bisa diketahui
jelas, yaitu dari rasa khawatir ayah terhadap masa depan anak anaknya. Namun
jika bisa dilacak lebih dalam, sebenarnya itu hasil dari proyeksi ketakutan
tidak mampu menghantarkan anaknya bahagia. Ada batasan
yang dirasa akan menghalangi ini semua,dan biasanya tidak jauh dari usia.
Berhenti mengkhawatirkan itu
langkah yang benar, sebab selain membuang waktu, juga naif sekali menghabiskan
menit demi menit tenggelam dalam kejadian yang belum tentu terjadi. Selain itu kekhawatiran itu
sebenarnya proses untuk membuat goal. seseorang yang takut polisi, biasanya
akan sering bertemu polisi, begitu pula orang yang benci asap rokok sering
dihadapkan hari hari dia dengan orang perokok.
Khawatir anak tidak bisa
mengerjakan tugas sekolah membuat fokus fikiran kita justru pada ketidakmampuan
anak, bukan pada potensi terkuat, lambat laun, persepsi berubah, anak menjadi
terlihat semakin tidak mampu. Ini yang dimaksud bahwa ketakutan dan
kekhawatiran itu kita sendiri yang mengundang.
Dari penjelasan diatas mulai
ada titik terang dari mana kita proses pembenahan ini diawal, jika menilik pada
hadist, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan At
Thabrani “Setiap manusia
dilahirkan oleh ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi ”, maka orangtua lah yang harusnya fokus utama untuk dibenahi.
Mudahnya adalah, jika sudah
beres, anak pun akan beres, rejeki juga akan beres, karir akan beres dan
semuanya akan menjadi beres dengan sendirinya, dengan ikhtiar yang mungkin
tidak sekeras jika orangtuanya masih belum beres.
Banyak sekali contoh
orangtua dalam hal ini ayah yang belum beres cenderung memberi dampak yang
tidak beres juga kepada anak. Dalam hal memberi hukuman saja, banyak yang
terpatri pada 2 kecenderungan ekstrim, yaitu
sadis, dan dimanja. Rasionalisasinya banyak, bagi yang penganut
pendidikan keras, dia berencana bahwa dia melakukan itu supaya anaknya tidak
manja, padahal sebenarnya itu refleksi masa lalu seorang ayah yang Nir kasih
sayang di saat kecil, yang terbawa dan terefleksi kuat saat menjadi ayah.
Bagi penganut anak manja,
rasionalisasi banyak, apakah merasa bukan saatnya lagi pendidikan keras, atau
apa pun itu, dampaknya begitu banyak guru yang dilaporkan orangtua ke pihak berwajib atas caranya guru mendidik anaknya. Hari ini makin banyak lelaki sebatas
cowok.
Apa mungkin yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah semakin relevan; "Kebanyakan kerusakan anak disebabkan karena orang tuanya, mereka
menelantarkannya dan tidak mengajarkan anak ilmu dasar-dasar wajib agama dan
sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan anak-anak dimasa kecil mereka."
Membenahi diri sendiri,
dalam hal ini saya selaku bapak dari anak anak adalah cara tercepat, cara
terbaik untuk menghadirkan anak penyejuk mata, atau bahasa lain anak bahagia
dengan binar mata yang terus cemerlang.
Dan saat anak anak tidur
pun, saya menepi sejenak dan selalu terpikir, hal apa yang harus saya lakukan
terutama dalam hal membenahi diri saya sendiri?. Ah ternyata
masih panjang daftar perilaku yang harus saya benahi, terutama membenahi
getaran getaran batin, membenahi kerelaan saya untuk menerima anak sebagaimana
anak, bersih dari bias bias kenaifan saya.
Bagaimana kita mulai
membenahinya? Kita akan bahas selanjutnya ya.
EmoticonEmoticon