Sabtu, 08 Mei 2021

10 MENIT TENGGELAM DI PALUNG AKSARA

Dalam banyak hal, sejatinya manusia itu tidak bebas bebas amat kok, ada masa lalu yang membatasi, ada moral yang mengontrol, ada norma yang membuat kita perlu bersikap hati hati. Ini semua baik, namun bukan berarti tidak membawa resiko.


Kehati-hatian ini resikonya memang membuat perjalanan menjadi melambat, sebab banyak hal yang perlu dipertimbangkan terutama soal norma yang membuat kategori ini baik dan ini yang buruk.


Tanpa terasa hal ini berimbas pada cara kita menulis, kehati-hatian, penuh pertimbangan membuat gamang sebelum menulis, bahkan ketika perjalanan menulis dimulai, seringkali tarikan untuk menghapus itu sangat kuat. Ini adalah resiko yang perlu dibayar untuk pilihan yang penuh pertimbangan.


Apakah ini menjadi masalah ? Awalnya saya merasakan sebagai masalah, menulis 1000 kata itu benar benar melelahkan, bukan hanya fisik yang lelah, namun badai di kepala karena dipenuhi nafsu kuantitatif, dan saat yang sama goncangan batin karena banyak hal yang perlu dipertimbangan, baik soal moral atau idealisme yang tidak terwakili dari tiap diksi. Namun masalahnya terlewati jika kita mau rilex sejenak dan bersikap lentur sambil berselancar antara norma, psikologis yang penuh kekhawatiran dengan bulir bulir inspirasi yang berlelehan di kepala. Dan cara terbaik adalah menulis bebas sebebas bebasnya tanpa edit.


TENGGELAM DALAM PALUNG AKSARA

Membiarkan jiwa mengambang bebas tanpa tekanan, adalah proses terbaik untuk menurunkan beban gelombang otak, dalam sejarahnya memang manusia mendapatkan pencerahan dan penemuan besar terjadi saat manusia dalam kondisi flow. Ini menarik, sebab saat ini di mana kerja keras adalah kiblat dan satu satunya cara jitu bagi manusia penghamba kesuksesan, flow ini justru menganjurkan untuk melakukan sebaliknya, rilex, tanpa tekanan.


Pekan lalu saya dianjurkan oleh pembimbing saya Kak Rafif untuk menulis tanpa edit, abaikan norma, abaikan kelayakan, abaikan kesalahan redaksional, abaikan apa pun yang membuat saya berhenti menulis, pokoknya terus menulis, dan luar biasa efektif hasilnya, dalam 10 menit saya berhasil menulis 280 kata, tentu hal itu sudah cukup bagus untuk ukuran saya yang masih pemula.


Sensasinya memang enak, dengan mengabaikan edit, tidak banyak mikir, saya benar benar seperti terjatuh dalam palung inspirasi, semua insight keluar dari kuburan tekanan pertimbangan, semua antri berjejer untuk dikeluarkan dalam aksara, dan saat itu menyelinap sensasi perasaan yang sama saat saya bermeditasi, begitu hening, begitu senyap, yang ada hanya suara jemari menyentuh tombol aksara di laptop, iramanya sederhana namun itu terasa menyentuh.


Bisa jadi perasaan ini pun sama dirasakan oleh kuntowijoyo, yang mengatakan syarat untuk menulis ada tiga, yaitu menulis, menulis, menulis.


KEMBALI MUNCUL DALAM KESADARAN

Setelah 10 menit berlalu, peringatan “kakak pembina” di grup WA berbunyi, ekspresi saya saat itu, lha kok sudah selesai ?” rasanya 10 menit ini bergegas pergi, ya pergi meninggalkan begitu saja tanpa rasa bersalah, sementara antrian inspirasi masuk belum sepenuhnya terekspresikan jelas.


But no problem, memang sejak awal disepakati latihan menulis cepat ini hanya 10 menit saja. Setelah 10 menit berlalu, terjadi shifting dari menulis bebas menjadi edit. Di sini proses hapus, ganti tulisan dan menambah tulisan kembali di mulai, di sini perangkat perangkat manusiawinya kembali hidup, sinyal waspada kembali nyala dan sejak saat itu pula proses edit di mulai.


Proses edit bukan berarti berjalan mulus, sebab tanpa edit, tulisan bebas selalu amburadul, tugas edit adalah merapihkan yang terserak, menajamkan yang tumpul. Proses di sini sering terasa melelahkan amat sangat. Kelelahan itu kalau ditelisik bersumber dari kebosanan, baik bosan berlama-lama dengan waktu, atau bosan dengan tulisan itu sendiri. Memang kebosanan ini mirip hama, datang perlahan, tanpa disadari menggerogoti energi.


BIARKAN DAN DUDUK KEMBALI

Perlawanan hebat menggempur bosan itu bukan cara bijak. Coba telaah kaidah bijak David R Hawkins, semua dorongan kuat apa menciptakan dorongan balik yang serupa. Dalam kebosanan, semakin ditumpas semakin terasa membosankan.


Saya sendiri memilih untuk bermain bersama anak, kadang ngopi, dan sesekali membiarkan begitu saja tanpa dipikirkan. Semua akan bergerak ke titik keseimbangan kok, dan jiwa akan memberitahu di saat energi telah terisi penuh.


Saat sinyal sinyal energi telah terisi penuh “berbunyi”, segera kembali, lakukan langkah edit, dan terus edit kembali, hasilnya setimpal, selain memberi kepuasan batin, terpenting adalah, memberi rasa candu untuk terus menulis dan menulis.  


KUCING KUNING DAN HITAM

Kadang kita merasa bahwa kita lah yang menentukan pilihan apakah kita akan menjadi penulis atau tidak, namun di sisi lain saya terkadang merasa bahwa tulisan lah yang menemukan saya, dia yang menemukan saya dan menarik untuk terus menulis. Cukup jabbariyah memang. Namun jika direnungkan, tidak penting di mana pun kejiwaan kita saat itu,  yang penting bisa tetap menulis. 


Apakah ini sebangung dengan ungkapan Deng Xiaoping “tidak ada masalah mau kucing  kuning atau hitam, asalkan bisa menangkap tikus itu kucing yang baik ?” Wallohu a’lam


EmoticonEmoticon