Dalam banyak hal, sejatinya manusia itu tidak bebas bebas amat kok, ada masa lalu yang membatasi, ada moral yang mengontrol, ada norma yang membuat kita perlu bersikap hati hati. Ini semua baik, namun bukan berarti tidak membawa resiko.
Kehati-hatian ini
resikonya memang membuat perjalanan menjadi melambat, sebab banyak hal yang
perlu dipertimbangkan terutama soal norma yang membuat kategori ini baik dan
ini yang buruk.
Tanpa terasa hal
ini berimbas pada cara kita menulis, kehati-hatian, penuh pertimbangan membuat gamang sebelum
menulis, bahkan ketika perjalanan menulis dimulai, seringkali tarikan untuk
menghapus itu sangat kuat. Ini adalah resiko yang perlu dibayar untuk pilihan
yang penuh pertimbangan.
Apakah ini
menjadi masalah ? Awalnya saya merasakan sebagai masalah, menulis 1000 kata itu
benar benar melelahkan, bukan hanya fisik yang lelah, namun badai di kepala karena dipenuhi nafsu kuantitatif, dan saat yang sama goncangan batin
karena banyak hal yang perlu dipertimbangan, baik soal moral atau idealisme yang tidak terwakili dari tiap diksi.
Namun masalahnya terlewati jika kita mau rilex sejenak dan bersikap lentur
sambil berselancar antara norma, psikologis yang penuh kekhawatiran dengan
bulir bulir inspirasi yang berlelehan di kepala. Dan cara terbaik adalah menulis bebas sebebas bebasnya tanpa
edit.
TENGGELAM DALAM PALUNG AKSARA
Membiarkan jiwa
mengambang bebas tanpa tekanan, adalah proses terbaik untuk menurunkan beban
gelombang otak, dalam sejarahnya memang manusia mendapatkan pencerahan dan penemuan
besar terjadi saat manusia dalam kondisi flow. Ini menarik, sebab saat ini di
mana kerja keras adalah kiblat dan satu satunya cara jitu bagi
manusia penghamba kesuksesan, flow ini justru menganjurkan untuk melakukan
sebaliknya, rilex, tanpa tekanan.
Pekan lalu saya
dianjurkan oleh pembimbing saya Kak
Rafif untuk menulis tanpa edit, abaikan norma, abaikan kelayakan, abaikan
kesalahan redaksional, abaikan apa
pun yang membuat saya berhenti menulis, pokoknya terus menulis, dan luar biasa
efektif hasilnya, dalam 10 menit saya berhasil menulis 280 kata, tentu
hal itu sudah cukup bagus untuk
ukuran saya yang masih pemula.
Sensasinya memang
enak, dengan mengabaikan edit, tidak banyak mikir, saya benar benar seperti
terjatuh dalam palung inspirasi, semua insight keluar dari kuburan tekanan
pertimbangan, semua antri berjejer untuk dikeluarkan dalam aksara, dan saat
itu menyelinap sensasi perasaan yang
sama saat saya bermeditasi, begitu hening, begitu senyap,
yang ada hanya suara jemari menyentuh tombol aksara di laptop, iramanya
sederhana namun itu terasa menyentuh.
Bisa jadi perasaan ini pun sama dirasakan oleh kuntowijoyo, yang mengatakan syarat untuk menulis ada tiga, yaitu
menulis, menulis, menulis.
KEMBALI MUNCUL DALAM KESADARAN
Setelah 10 menit
berlalu, peringatan “kakak pembina” di grup WA berbunyi, ekspresi saya saat
itu, “lha kok sudah selesai ?”
rasanya 10 menit ini bergegas pergi, ya pergi meninggalkan begitu saja tanpa rasa bersalah, sementara antrian inspirasi masuk belum sepenuhnya
terekspresikan jelas.
But no problem, memang sejak awal disepakati latihan menulis
cepat ini hanya 10 menit saja. Setelah 10 menit berlalu, terjadi shifting dari menulis bebas menjadi
edit. Di sini proses hapus, ganti tulisan dan menambah tulisan kembali di mulai,
di sini perangkat perangkat manusiawinya kembali hidup, sinyal waspada kembali
nyala dan sejak saat itu pula proses edit di mulai.
Proses edit bukan
berarti berjalan mulus, sebab tanpa edit, tulisan bebas selalu amburadul, tugas
edit adalah merapihkan yang terserak, menajamkan yang tumpul. Proses di sini
sering terasa melelahkan amat sangat. Kelelahan itu kalau ditelisik bersumber
dari kebosanan, baik bosan berlama-lama dengan waktu, atau bosan dengan tulisan itu sendiri. Memang kebosanan
ini mirip hama, datang perlahan, tanpa disadari menggerogoti energi.
BIARKAN DAN DUDUK KEMBALI
Perlawanan hebat
menggempur bosan itu bukan cara bijak. Coba tela’ah kaidah bijak David R Hawkins, semua dorongan
kuat apa menciptakan dorongan balik yang serupa. Dalam kebosanan, semakin
ditumpas semakin terasa membosankan.
Saya sendiri
memilih untuk bermain bersama anak, kadang ngopi, dan sesekali membiarkan
begitu saja tanpa dipikirkan. Semua akan bergerak ke titik keseimbangan kok,
dan jiwa akan memberitahu di saat energi telah terisi penuh.
Saat sinyal
sinyal energi telah terisi
penuh “berbunyi”, segera
kembali, lakukan langkah edit, dan terus edit kembali, hasilnya setimpal,
selain memberi kepuasan batin, terpenting adalah, memberi rasa candu untuk terus
menulis dan menulis.
KUCING KUNING DAN HITAM
Kadang kita
merasa bahwa kita lah yang menentukan pilihan apakah kita akan menjadi penulis
atau tidak, namun di sisi lain saya terkadang merasa bahwa tulisan lah yang
menemukan saya, dia yang menemukan saya dan menarik untuk terus menulis. Cukup “jabbariyah” memang. Namun jika direnungkan, tidak penting di
mana pun kejiwaan kita saat itu, yang
penting bisa tetap menulis.
Apakah ini
sebangung dengan ungkapan Deng Xiaoping “tidak ada masalah mau kucing kuning atau hitam, asalkan bisa menangkap
tikus itu kucing yang baik ?” Wallohu a’lam
EmoticonEmoticon