Rabu, 03 Oktober 2012

KEMISKINAN

Kalau kau lahir dalam keadaan miskin, itu bukan salah kamu, tapi kalau kamu mati dalam keadaan miskin, itu salah kamu. Donald Trump

Membuat kalimat nyelekit ini memang hobinya Trump, dan memang spesialisnya di sana. Rasanya kalau sopan bukanlah seorang Trump. Meski bukan contoh yang baik untuk menjadi pebisnis, namun kata-katanya memang benar adanya.

Baik dulu maupun sekarang kemiskinan itu bukanlah hal yang membahagiakan. Dalam sisi apapun. Namun masih saja ada yang pembelaan bahwa miskin itu takdir dan perintah Tuhan yang dibalut kata Juhud.
Sejatinya Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Tentu Anda bisa membayangkan, betapa anak kita kurang gizi, pakaian istri yang kumal, serta setiap malam harus menggigil menahan angin malam yang menyelinap masuk lewat celah bilik yang belum ditutup sempurna itu.

Di mana pun tempatnya, kemiskinan identik dengan kekalahan dan ketertindasan, oleh sebab itu, kenapa para nabi selalu dikelilingi oleh orang fakir, karena nabi memang menjadikan mereka tidak tertindas, dan kemudian mengangkat mereka menjadi lebih sejahtera.

Itu yang sudah dilakukan oleh Rosul. Meski secara financial setelah diangkat menjadi Nabi, Muhammad bukanlah orang kaya, namun beliau bukan orang miskin, bahkan beliau memiliki akses yang kuat terhadap gudang-gudang kekayaan, akses yang kuat kepada militer. Hal ini membuat kesederhanaan Rosul begitu mempesona. Pernah dalam salah satu Riwayat, Rosululloh memberi kambing kepada suatu kaum yang masih musyrik, jumlah kambing itu begitu banyak sehingga memenuhi lembah perbukitan. Pimpinan suku begitu terkejut melihat cara Rosul yang berinfak seakan tidak takut miskin, walhasil dia dan seluruh penduduk suku tersebut masuk islam. Jadi menurut saya, kesederhanaan yang seperti ini yang patut ditiru, bukan justifikasi akan ketidakmampuan dan kekalahan.

Jujur, saat saya mendengar kata miskin, saya sangat benci miskin, saya tidak suka miskin. Sebab dengan kemiskinan itu keluarga berantakan, silaturahmi menjadi kaku, dan permusuhan pun tinggal menunggu waktu. Kegagalan memberi nafkah lahir kepada keluarga, sebab pendapatan dibawah 1 dolar perhari, mau beli bensin perlu banyak pertimbangan, begitu juga pulsa, semuanya penuh kesultan dan ketidak berdayaan. dan itu semua pernah saya alami.

Dulu, Kakek saya termasuk orang yang berada di kampung saya, beliau juragan becak dan penjahit. Dari becak itu, beliau punya karyawan. Perjalanan waktu yang begitu lamban menurut zaman saat itu, dan kemiskinan pun merambah secara perlahan. Becak pun satu persatu dijual, tanah pun sudah tiada, sementara itu mesin jahit pun harus disimpan, karena kekuatan kakek tidaklah sekokoh dulu.

Beberapa tahun yang lalu, kakek meninggal dunia dengan kondisi apa adanya, saya tidak bisa hadir karena saat itu menganggur dan sangat sungkan meminta uang kepada istri. Kepergian kakek yang begitu saya banggakan, yang pernah memberi saya celana dan kemeja, yang sering berkunjung bakda maghrib saat beliau masih kokoh, harus saya antar dengan tangisan dari jarak 600 KM dari makamnya. Tangisan itu selalu mengiringi disetiap kesendirian saya sampai beberapa hari lamanya bahkan sampai saat ini jika saya mengingatnya, tapi inilah hidup, saya harus menguat-nguatkan diri untuk menghadapi peristiwa itu.
Kini nenek pun mengalami hal yang sama, dengan kondisi yang amat menggantungkan dirinya kepada anak-anaknya, tentu bukanlah pilihan yang baik. Beruntung anak-anaknya menikah dengan lelaki yang secara financial cukup, namun ketergantungan nenek kepada anak-anaknya membuatnya tidak bisa bebas berbuat menggunakan uangnya.

Lebaran tahun 2011 kemarin adalah lebaran yang amat mengharukan, di mana saya membawa dua anak yang masih kecil, masih menganggur, hampir seluruh biaya dari istri. Sementara itu melihat nenek yang begitu renta, hormon prolaktin saya tiba-tiba melonjak, Air mata merembes begitu deras, namun tangisan ini bukanlah tangisan karena rindu, namun tangisan yang masuk akal untuk seorang lelaki, yaitu tangisan ketidakberdayaan. ketidakberdayaan saya untuk membahagiakan nenek yang begitu perhatian kepada saya di saat nenek masih jaya, yang selalu tergopoh-gopoh saat saya sakit sesak. saat itu saya benci sekali sama diri saya. Peristiwa itu menyakitkan hati saya, karena itu saya benci miskin sebenci saya kepada peristiwa menyakitkan itu.

Saat kakek dari bapak saya meninggal, pembagian warisan sudah jelas, tanah pun sudah tertata. Menarik rasanya hidup ini jika saya bisa menyewa tanah kepada bapak sendiri, tentu dengan harga yang standar, saya anggap sebagai bakti saya kepada bapak. Namun kabar bahwa tanah itu dijual oleh salah satu saudaranya tanpa konfirmasi itu membuat saya urung lakukan itu. Hal sebelumnya investasi bapak dari pabrik kain diambil begitu saja tanpa penjelasan dan tanpa komunikasi. Beruntung bapak memilih untuk tidak menggunggat di pengadilan dan lebih beruntung lagi ekonomi bapak masih kokoh. Sementara saudara yang mengambil itu hingga kini masih terganjal hutang yang menggunung. Bagi saya Ekspresi orang yang punya banyak hutang adalah ekspresi yang mudah diterka, dan ekspresi itu selalu saya temukan saat saya bertemu dengannya. 

Sampai saat ini, hubungan keluarga saya dengan saudara bapak itu masih terasa kaku, walau lebaran tetap saja bersua. Saya tidak nyaman dengan kondisi ini, namun suasana hati saya tetap tidak bisa diatur senyaman mungkin dengannya. Benar juga yang dikatakan Carole Wade dan Carol Tavris; rasa sakit itu bukan hanya pekerjaan inderawi, sebab setelah stimulus rasa sakit itu telah hilang, namun sensasinya tetap saja bertahan dan kronik. Kalau bukan Rosul yang meminta umatnya untuk memaafkan, tentu rasa sakit itu akan saya pelihara.

Beberapa tahun yang lalu, saya selalu rutin berkunjung kepada saudara bapak yang letaknya jauh dari tasikmalaya. Secara ekonomi beliau yang paling mapan. Pendapatan perbulan bisa sampai 11 juta bahkan lebih. Belum dari isterinya. Bagi saya hingga kini, jumlah 11 juta masih saja terasa besar.

Ketika saya berbincang tentang mobil, istrinya dengan begitu yakin bicara “Rom, sekarang saja saya bisa beli mobil”. Bahagia sekali rasanya hati saya saat saudara memiliki mobil. Beberapa saat kemudian, ternyata bapak punya mobil. Tidak terlalu bagus, hanya Suzuki escudo. Ekspresi merasa tersaingi terasa sekali apalagi diperkuat dengan statement yang mengarah ke sana dengan memberikan fakta yang menunjukkan uangnya banyak, walau saya tahu bahwa ada bagian dari masa lalunya yang penuh tangisan, atas tragedy financial yang dihadapi suaminya itu, dulu, saat belum sejaya saat ini.

Dengan kondisi keuangan saya yang morat marit saat itu, saya hanya bisa diam, walau saya mengerti bahwa Oxytocin saya reaktif sekali saat itu, saya dipaksa untuk menerima kenyataan. Walau menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang sudah tidak bisa lagi untuk berkembang. Tapi itulah yang terjadi, dan saya merasa hampa. 
Berangkat dan hal itu kemudian, saya ingin sekali bekerja, ingin sekali memiliki uang dan ingin sekali memberi.

Mengaca kepada pengalaman saya dan apa yang saya saksikan, sejatinya persoalan kaya miskin bukanlah persoalan takdir. Sebab kita tidak tahu apakah kita ditakdirkan kaya atau miskin, semuanya berada pada posisi “mungkin”. Yang bisa kita fahami dari takdir adalah yang telah terjadi. Dengan kata lain kita tahu nasib kita saat ini sedang miskin, entah besok lusa, kita tidak tahu.

Jika anda menilai anda bernasib miskin, saya seharusnya kagum, dan mengucapkan selamat, sebab anda berarti memiliki akses ke lauh mahfudz yang dijaga ekstra ketat itu. Namun ucapan selamat itu tidak akan pernah saya lakukan, sebab pengakuan akses terhadap lauh mahfudz hanya bisa dilakukan oleh penipu amatir yang CC otaknya kecil.

Jadi pengakuan bahwa miskin itu adalah nasib, sebenarnya bentuk penipuan naïf yang datang dari jiwa-jiwa kerdil yang merasa kalah dalam menghadapi imajinasi tsunami kehidupan, padahal jika ditelisik lebih dalam, itu hanya pukulan ombak yang disapu angin sepoy.

Kalau begitu, di mana persoalannya kemiskinan sebenarnya…? Sebenarnya persoalan kemiskinan diawali dari dinamika psikologis yang berefek jauh terhadap perilaku yang mendorong kepada kemiskinan, terutama pada sikap bahwa kaya itu hal yang jauh di sana dan tidak terjangkau. Sikap ini yang membawa perilaku untuk bersikap biasa, tidak ada ambisi dan tidak ada impian yang menggairahkan.

Nun jauh di sana, saat Nabi dan Para kaum muslimin berhijrah, Abdurrahman bin Auf. Sosok yang putih kulitnya, lebat rambutnya, banyak bulu matanya, mancung hidungnya, panjang gigi taringnya yang bagian atas, panjang rambutnya sampai menutupi kedua telinganya, panjang lehernya, serta lebar kedua bahunya. dipersaudarakan dengan sahabat Anshor yang bernama Sa’ad bin Rabi.

Konon Saad ini orangnya kaya raya, memiliki kebun dan dua isteri. Atas kepemilikan itu, saat menawarkan kebun dan salah seorang isterinya. Namun tawaran ini ditolaknya dengan penolakan yang elegan “tunjukkan di mana pasar..?”

Nah jika ingin membangun Agama ini dengan kekayaan, awali dulu dari sikap bahwa kaya itu dekat dengan saya dan saya akan menjadikan kekayaan itu tidak lagi dekat, tapi ada di genggaman tangan. Jika sudah demikian, Anda bisa menggaji para guru dengan gaji yang layak, membuka lapangan kerja untuk si miskin, membiayai caleg yang idealis dan menjewer bupati yang pikun akan amanahnya. Kekuatan ini yang bisa masuk ke semua lini, karena semuanya butuh logistic.

Nah sampai akhir tahun ini saya berazam untuk menaikan pendapatan saya 2 kali lipat. Ya dengan dimulai dari pikiran bahwa pendapatan sebesar itu adalah dekat dengan saya, tugas saya Cuma sederhana, yaitu menjadikan kekayaan yang saya persepsikan dengan itu berada di genggaman saya dengan cara bekerja keras dan mencari muka dihadapan Allah.

Langkah selanjutnya jika Anda sudah memiliki persepsi yang baik tentang kedekatan diri Anda dengan kekayaan, maka selanjutnya adalah membangun kedisiplinan yang kuat, baik dari rutinitas keseharian, kedisiplinan mengelola keuangan, bahkan kedisiplinan dan membangun wawasan keuangan.

Katanya sih menurut Chappy hakim, para pebisnis dan para memegang perusahaan besar  di singapur adalah Ex tentara, ya mereka tentara yang memilih untuk pension dini dan kemudian disekolahkan di  Amerika atau Negara Eropa lainnya untuk mendapatkan bekal ilmu manajemen dan atau finansial. Seusai wisuda, mereka langsung mendapatkan posisi-posisi penting dalam jajaran industri strategis nya. Itu sebabnya pebisnis singapur memiliki ketangguhan dalam berdagang.

Jadi jika Di Indonesia, standar kemapanan itu jika perutnya sudah gendut, maka di singapur justru akan jarang melihat mereka gendut, sebab mereka dituntut untuk sehat dan lincah.

Nah kalau persoalan miskin itu diawali dari dinamika psikologi naïf yang dibiarkan menguasai jiwa, maka persoalan kekayaan justru diawali dari keberanian untuk menjadi orang kaya. Keberanian itu bukan hanya datang dari kebencian terhadap ketidakberdayaan, namun hadir dari keyakinan bahwa Allah yang memiliki bentangan langit beserta benda-bendanya, pemilik bumi dan segala tambangnya, pemilik segala peluang rezeki dan pemilik sumber-sumber rezeki yang dibutuhkan, dan Allah sangat bisa untuk memberikan itu semua kepada kita, tanpa sedikit pun mengurangi kekayaanNya.
Tentu pandangan itu subjektivitas saya, dan Anda saya yakin punya pendapat sendiri.

SEPTEMBER
Setelah berbulan-bulan terlantung-lantung dalam ketidakberdayaan, saya tetap saja tidak ingin memperlihatkan kemiskinan saya, saya khawatir banyak yang terganggu. Saya setiap pagi keluar pakai motor supaya dikesankan mertua kalau saya bekerja. Dan saya pun selalu memakai baju rapi, seakan saya memang memiliki penghasilan.

Walau demikian, saya berupaya untuk bekerja, sebab kewajiban manusia kan bekerja. Saat itu saya pun membuka EO, saya kontak trainer yang saya kenal dan tentu yang bisa saya bayar murah. Yayasan penyelenggaranya pun saya pinjam, pokoknya semuanya saya pinjam, mulai dari stempel, kop surat, tempat alamat bahkan gaji trainernya pun saya pinjam dulu. Konsep saya buat dan surat-surat saya sebarkan sendiri. Sayang sekali hasilnya kurang menggembirakan. Hanya balik modal saja, tidak untung.

Setelah itu saya jualan kripik yang saya ambil dari tasik, modalnya saya pinjam ke Bapak sebesar 5 juta. Tentu meyakinkan orang adalah keahlian saya, nah salah satunya saya lakukan ke Bapak saya, dan bapak saya pun yakin kepada saya. Pengiriman kripik itu dilakukan melalui kereta api. Dan saya panggul sendiri kripik itu, saya masukkan ke dalam plastic yang kecil kecil yang kemudian distaplesi, atau dipanasi oleh api lilin. Besoknya saya kirim satu per satu ke warung, itu saya lakukan di malam hari.

Keuntungannya pun tidak begitu baik. Modal amblas, karena mental saya tidak siap untuk menjadi pedagang asongan. Saya malu sekali kepada Bapak karena usaha gagal dan uang pun tidak kembali, namun saya komit untuk mengembalikan. Dari sini saya belajar bahwa kemampuan untuk menahan diri untuk tidak popular adalah keharusan, dan disinilah letak fungsinya, supaya tidak telalu sakit disaat jatuh.
Bulan cerah pun hadir menyapa. saya diberi tahu Pak dammar, Pemilik Koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) Amanu bahwa ada penerbit buku yang membutuhkan tenaga marketing. Penerbit buku itu adalah PT Rumah Pensil Publisher.

Insight saya berkata bahwa inilah momentum yang baik. Saya pun kemudian membeli buku contoh dan memang bukunya bagus. Dengan kemampuan persuasive saya ditambah dengan mobilitas saya yang bisa diandalkan, saya pun menjadi member dan reseller setelah 1 hari ikut training marketing di malang dan disadarkan tentang pentingnya kekokohan ekonomi. self-efficacy saya pun hadir menyeruak dari dalam jiwa saya.

Saya pun mulai menjajakan buku, dari sekolah ke sekolah, dan person ke person, ya saya jadi sales yang berkekuatan penuh, Karena tahu rasanya menjadi kepala keluarga yang lemah secara financial, karena tahu rasanya tidak ada uang di dompet, karena saya tahu bahwa ketidakmampuan membelikan jajan untuk anak amatlah menyakitkan. maka saya pun menjual sekuat tenaga saya, tidak peduli Dicampakkan oleh guru agama, tidak peduli dicampakkan oleh kepala sekolah swasta. pun beberapa kali harus tertidur sebentar di pinggir jalan, karena begitu lelahnya berdagang, saya harus rela malam-malam bersama isteri naik motor kehujanan dan hampir tabrakan karena banyak mengambil buku dari Malang untuk saya jual lagi.

Dengan buku itu setiap detik saya gunakan untuk berjualan, setiap sms saya selipkan usaha saya. Adrenalin saya begitu mendidih, resiliency saya digedor. Saya bekerja seperti orang mengamuk yang tidak tahu lelah, meninju masa lalu saya yang sempat miskin itu. Dalam setiap doa saya selalu selipkan kata-kata “Ya Allah Maha pemelihara setiap makhluk, maha penyayang setiap hambanya dan maha penjamin rizkinya. Semuanya engkau beri makan, semuanya engkau beri Rizki, orang kafir engkau beri rizki dan rizki itu mereka gunakan untuk berbuat kedzaliman. Orang sombong engkau beri kesempatan dan kesempatan itu mereka gunakan untuk membenarkan kesombongan mereka. Engkau mengetahui bahwa sebaik-baiknya harta adalah harta yang ada di tangan orang beriman. Hari ini ya Allah engkau mengetahui setiap langkah perdagangan saya, setiap barang yang saya jual itu baik dan bermanfaat, kerahkanlah seluruh potensi rizki itu menghadap saya.

Permohonan saya dikabulkan, Mungkin Allah iba melihat doa hambanya yang sedang susah, mendengar rengekan hambanya yang sedang ingin sukses,  Penjualan pertama, pendapatan saya 3 juta. lompatan yang luar biasa, dari tidak memiliki pendapatan menjadi pemilik pendapatan, dari tidak punya menjadi punya. Saya kaget luar biasa akan keajaiban ini. Recovery financial keluarga mulai dilakukan. Seluruh hutang konsumtif saya bereskan. Anak saya pun saya sekolahkan, motor saya lunasi, dan yang paling penting wibawa saya kembali tegak dihadapan mertua.

Rasanya memang berbeda saat saya masih terjebak dalam kesulitan ekonomi, saya sangat temperamental, seluruh peristiwa selalu saja saya artikan sebagai cemoohan atas ketidakberdayaan saya. Hubungan saya dengan anak-anak begitu renggang, sampai anak saya tidak mau mendekati saya. Berat rasanya. Dan Alhamdulillah kini hubungan saya kembali baik, dengan anak-anak dan istri kembali dekat, tidak lagi temperamental seperti dulu. Saya merasa berdaya dan Alhamdulillah bisa mengeluarkan beberapa kawan saya dari jerat kemiskinan, tentu hal ini sangat saya syukuri.

Atas segala kebaikan inilah kemudian saya merasa bahwa saya harus berbuat lebih banyak lagi untuk membangun kebaikan untuk banyak manusia.

IMPIAN
Jika kau berfikir tentang diri kamu, Jangan pernah kamu berfikir realistis, sebab kenyataannya bangsa besar adalah bangsa yang tidak pernah realistis dalam menatap masa depannya. 
Itu sudah dilakukan oleh Diponegoro, pilihannya untuk melawan Belanda bukanlah pilihan realistic. Peperangan ditabuh dan dipuncak peperangan belanda harus mengerahkan 23.000 serdadu. Suatu hal yang tidak pernah terjadi di area yang sempit seperti di pulau jawa. Gabungan berbagai taktik militer yang sudah dikenal saat itu.

Saya pernah melewati jalur diponegoro, dalam kegiatan kemah tahunan yang acara puncaknya harus berjalan 12 jam mulai sore sampai siang. Melihat tracknya yang terjal mengingat paru-parunya yang perfungsi hanya satu, air mata pun meleleh tak tertahankan. Jika anda pernah melalui jalur itu, anda akan mengalami pengalami mistik seperti yang saya alami. Kecuali jika hati anda memang sudah bebal.

Dan kenyataan realistis itu pun terjadi, Diponegoro ditangkap di Magelang dan kemudian diasingkan di Makassar. Mungkin saja jika kita punya impian dan kejarlah impian itu sekuat mungkin dan janganlah melihat kebelakang. Mungkin impian itu tidak akan terwujud, namun kita tidak akan menyesal.

Tapi itu kemudian membangun arketif bagi generasi setelahnya, bahwa kemerdekaan bersikap harus ada dalam ruang terdalam jiwa manusia yang tidak mau tunduk kepada intimidasi dan tidak mau menjadi budak. walau itu tidak ada lagi jalan untuk lari. Pulau jawa kembali berdarah saat pertempuran di Surabaya dan di Jogjakarta. 
Pikiran saya yang terlalu serius, dan pengalaman yang pernah saya alami benar-benar mengekstraksi dalam wujud kebencian saya kepada kemiskinan dan kelemahan, yang kemudian hadir dalam sikap ingin mandiri dan memandirikan.

Beruntung beberapa tahun yang lalu saya mendapat tulisan tentang proposal hidup. Hal ini kemudian diperkuat saat saya mengikuti training tentang proposal hidup beberapa bulan yang lalu di Malang. Saya kembali disadarkan pentingnya membangun perencanaan yang tertulis untuk mengisi hidup saya yang hanya satu kali saja.

Dalam pelatihan itu, saya menangis, tidak peduli siapa dibelakang dan di samping saya, tidak peduli kawan saya menyaksikan atau tidak dan tidak peduli apa pun, selain kata-kata trainer itu yang benar-benar meninju batin saya saat itu. Teriakan-teriakan yang menyentuh kalbu itu memborbardir saya yang alpa oleh tujuan hidup saya. Betapa Allah terlalu baik, dengan memberi rizki yang dipermudah, diberi istri yang pengertian dan solihah, dikaruniai anak, dan disimpan dalam garis keturunan yang terhormat.

Bukan tidak mungkin saya akan kembali ke dalam kemiskinan kembali, sebab dunia bisnis adalah dunia yang penuh resiko, namun saya harus selau berbicara kepada sebesar apa pun masalahnya, bahwa saya punya Allah, dalam wirid harian disebutkan jelas “ Ya Allah, engkau yang tidak akan ada yang menolak apa pun pemberian engkau, dan tidak ada satu pun yang mampu memberi kepada siapa pun yang kau tolak”.  
Proposal hidup pun terbuat sudah, meski belum sempurna, namun itu sudah lompatan yang baik, dan satu persatu sudah terlihat nyata hasilnya. Kawan saya pun demikian, saya ajak untuk membuat proposal hidup, dan hasilnya sudah nyata, rumah yang sekian tahun tidak pakai kramik, kini sudah akan dikramik, hidupnya lebih cerah.

Memang tidak semua orang saya ajak bicara hati ke hati, sebab bicara financial sering harus hati-hati. Keliru bahasa urusannya panjang. Saya baru saja mengalami itu. Saat itu kawan saya sedang menganggur, pendapatannya kelihatannya tergantung pada gaji istrinya. Dengan niat ingin membantu, maka saya tawarkan bisnis haji umroh, yang diawali dengan hadist imam baihaqi yang intinya bahwa segala biaya haji umroh itu akan diganti oleh Allah. Sms say akemudian dijawab dengan pertanyaan yang mendetail; hadist itu diambil dari mana dan bagaimana derajat kesahihannya?. Kebetulan memang orangnya itu kalau ngomong nyelekit. Tapi ya sudahlah anggap saja sebagai motivasi untuk belajar hadist lebih giat lagi.

Kembali ke soal impian, memang ongkosnya besar, sebab anda akan mendapati justru orang yang paling kuat cemoohannya terhadap impian anda adalah orang dekat anda. Namun di sinilah ujiannya, anda akan melihat siapa yang menjadi kawan anda dan siapa yang bukan. Sekaligus menjadi Lup yang dapat melihat siapa saja setan yang berwujud kawan itu.

Sekeras apa pun cemoohannya, itu selalu datang dari luar. Dan Anda akan tahu, Anda punya mimpi akan dicemooh sebagai pemimpi, sementara saat Anda tidak punya mimpi pun anda akan dicemooh juga sebagai lelaki yang tidak punya masa depan. Dan itu semuanya orang lain yang melakukan. Tantangan terbesarnnya justru tidak disana, tantangannya adalah terletak pada ketahanan Anda dalam menahan segala upaya untuk kembali menjadi manusia biasa. 

6 komentar

  1. Donald Trump, hmmm,,,benar juga tuh,,,

    BalasHapus
  2. Kemana mas? Sudah tidak ada blog barunya? Tulisannya bagus2

    BalasHapus
  3. Kemana mas? Sudah tidak update blognya tulisannya bagus2..

    BalasHapus
  4. makasih gan buat infonya dan semoga bermanfaat

    BalasHapus
  5. Atas respon yang luar biasa... terima kasih banget

    BalasHapus


EmoticonEmoticon