Selasa, 24 Februari 2009

Menakar Kekuatan Organisasi

Untuk menakar kekuatan organisasi dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu software, hardware, dan manusianya, untuk lebih memudahkan untuk memahaminya, saya sering memvisualisasikan dalam beberapa benda yang saya kenal seperti komputer misalnya, untuk membuat produk yang baik maka dibutuhkan material yang kuat dan kokoh, itu yang menjadi hardwarenya, program-programnya terinstal dengan baik itu yang menjadi software, serta manusianya yang mengotak-atik program itu sendiri.

Analogi sederhana ini sedikit banyak membantu saya untuk mengerti sebuah sistem, bak dalam pertempuran, pihak yang kalah dan menang merupakan akumulasi dari 3 aspek, yaitu peralatan yang dimiliki, strategi yang dipakai, serta prajuritnya. Setiap orang punya analogi sendiri yang lebih dia pahami dibandingkan orang lain.

Ajaran Kaizen, yaitu ajaran yang berasal dari Jepang yang berarti memperbaiki secara terus-menerus sering mengacu kepada 3 hal yang saya sebutkan tadi, yaitu software, hardware serta manusianya.

Kalau ditanya, mana yang paling penting dari ketiganya, bagi saya manusianya yang paling penting, sebab software dan hardware adalah produk manusia, dan pada gilirannya manusia akan terlibat dalam kinerja software dan hardware yang dia buat.

Beberapa waktu yang lalu hingga kini saya terlibat aktif dalam organisasi, dalam sering saya analisa bahwa yang menjadi kendala dalam organisasi yang didalamnya banyak ativis justru terletak pada software seperti sistem manajemennya, sistem manajamen menjadi penting peranannya di saat institusi ini berkembang pesat sehingga butuh penanganan yang sedikit rumit dan detail.

Kemarin saya sering dibuat kesal oleh kinerja yang tidak terukur di institusi saya, setelah saya analisa ternyata penyebabnya tidak ada jobdisk yang bisa dibaca oleh semua pihak, akibatnya semua orang yang ada di dalamnya bekerja sesuai dengan fellingnya masing-masing. Tadi pagi saya diminta oleh ketua saya untuk memberi sesuatu kepada siswa, saya hanya mengiyakan saja, tapi dalam hati tidak akan saya kerjakan karena menurut perasaan saya ini tidak menjadi bagian dari jobdisc saya. He he he. Ya gini deh kalau softwarenya gak diup date.

Dalam organisasi yang saya lalui sering juga terkendala pada software yang mengacu kepada pengawasan dan pemeriksaan, supaya lebih jelas lagi, pengawasan mengacu kepada proses, dan pemeriksaan mengacu kepada hasil akhir. Misalnya dalam pola pengkaderan pengawasan hanya menjadi pengawasan saja dan pemeriksaan dari sistem kaderisasi hanya pemeriksaan saja dan pada tahun selanjutnya tidak dilakukan pembenahan yang berarti.

Selain itu bisa saya sebutkan contohnya bagaimana prosedur untuk menangani kader yang ternyata jatuh hati ke organisasi lain, bagaimana prosedur penyehatan organisasi yang sedang sakit. Itu software.

Saya akui memang ada beberapa organisasi yang secara administrasi cukup baik, softwarenya lumayan terdokumentasi, namun software itu hanya kuat dalam action plan saja, namun lemah dalam implementasi di lapangan, anjuran saya kepada para qiyadah sebaiknya belajar untuk merencanakan program yang dapat dilaksanakan, menurut Shultz, program bombastis namun tidak mengacu kepada kekuatan internal justru akan menghancurkan daya tahan para anak buahnya.

Bagaimana dengan hardware? terkadang kita, termasuk saya tidak banyak memikirkan hardware, sebab memang kita banyak terkendala pada urusan finansial untuk membeli dan menjaga barang yang dapat menopang organisasi, saya pernah merasakan bagaimana sulitnya membuat proposal kalau ngetik dan ngeprint di rental, kurang inspiratif banget gitu loh, saya juga pernah merasa kerepotan menjaga administrasi kantor di saat lemari saja tidak punya.

Nah di sini justru letak pentingnya hardware, hardware ada untuk mempermudah perjalanan roda organisasi, apakah itu penting? Penting banget boz, cara saya untuk menakar keseriusan dan kekuatan organisasi dalam dilihat secara sekilas yaitu dengan cara melihat kelengkapan hardware, kerapihan dokumentasi, serta jobdisc. Ya gimana otak bisa mikir, sistem bisa jalan kalau dokumentasinya saja berceceran di mana-mana akibat gak punya lemari, he he.

Dengan memahami hardware, alhamdulillah saat ini saya bisa merasakan nyamannya bekerja di kantor dengan komputer yang bisa diajak kerja sama, printer yang bisa memuntahkan tintanya, jaringan internet yang bisa diajak berjalan (tapi belum bisa lari), koran harian, serta majalah bulanan, enak bukan?

Bagimana untuk menangani organisasi yang hardwarenya belum lengkap, sebaiknya untuk pembelian hardware tidak diambil dari uang iuran kader, tapi diambil dari hasil penyebaran proposal yang khusus untuk penyediaan hardware, pengalaman saya mengajarkan, kalau mengandalkan iuran kader itu susah untuk diajak kaya, cari donatur ke pemda setempat, dengan rentang waktu 1 semester, sebagai contoh, kita butuh dana bulan juni, maka proposal ke pemda dimasukkan bulan januari, insyaallah kalau sekdanya disilaturahimi, dana yang keluar lumayan cukup bisa beli lemari, komputer, meja dan printernya sekalian. Bagaimana untuk megaphone? Bisalah silaturahim ke salah satu fraksi dan minta ketuanya untuk menjadi pemateri seminar kita yang lumayan rame, 2 hari sebelum hari H, sms aja dia kalau ntm butuh akomodasi.

Terakhir adalah manusia, saya seringkali terhenyak dalam urusan manusia, sebab untuk memilih manusia dalam organisasi butuh banyak variabel, yaitu kimiawi psikologis, kafaah, serta suluk. Dari sini saya menjadi tidak terhenyak lagi mendengar organisasi besar yang secara hardwarenya lengkap, softwarenya bagus serta manusianya pada pinter tapi kok mengalami kemandekan, mungkin saja karena faktor kimiawi yang tidak bercampur, atau barangkali suluknya yang membuat barakah dalam organisasi itu layu sebelum merekah, oleh sebab itu saya menjadi heran di saat mendengar salah satu pimpinan organisasi menunjuk seseorang menjadi salah satu unsur pimpinan organisasi itu, padahal jelas-jelas kemaksiatan yang dia buat cukup membuat saya bernafas panjang. Ah jangan-jangan saya juga termasuk, he he dari pada barakah organisasi mejadi layu gara-gara saya, lebih baik saya menjadi manusia nothing saja.

Manusia yang bagaimana yang bisa dilibatkan dalam organisasi? Pertanyaan ini sering membingungkan pemimpin yang baru saja terpilih, nah anjuran saya pilih 3 tipe saja, yaitu pertama tipe pembelajar, kedua dia bisa memberi waktu untuk organisasi, ketiga kita nyaman bersama dia. Gimana, asyik gak kriterianya? Dijamin deh gak nyesel.

Ada kasus yang sering menimpa organisasi yang dipimpin oleh ketua yang “kurang matang” referensinya tentang kepemimpinan, keorganisasian, dan manajemen perubahan,
Nah untuk menegaskan kepemimpinannya, ketua yang baru ini biasanya berteriak perubahan, dalam hal ini saya menjadi antusias sekali mendengarnya, beberapa program dirancang berbeda dari kepengurusan yang sebelumnya. Unsur rajin dan unsur berbeda selalu menjadi karakter khas bagi manusia pengganti, namun 3-4 bulan ke depan dapat menjadi penilaian konsistensi, sebab pada bulan ini, godaan kebosanan menyembul nakal.

Nah ada dua kemungkinan “perubahan” yang diusung itu, bisa jadi gagal, bisa jadi berhasil. Pertanyaannya kenapa gagal dan kenapa berhasil. Saya melihat kegagalan seorang perubah justru diawali dari kedetailan. Maksudnya begini, seringkali perubahan itu diteriakan tapi alpa untuk membuat sistem turunannya, baik sistem reward, funishment, serta sumber daya, akibatnya “perubahan” itu hanya menjadi slogan, lebih parah lagi hanya menjadi trauma yang menggelikan.

Terus terang saya sering mendengar keluhan kader yang mengeluh kalau organisasi yang dia tangani saat ini tidak seprogresif dahulu, mungkin beberapa kali saya ikut nimbrung, terpancing emosi, dan bahkan terbakar, namun pada saat yang lain saya berupaya untuk tenang, berfikir jernih kenapa hal ini terjadi, namun pada saat yang lain juga saya memprovokasi para pengeluh ini, kok rasanya senang melihat manusia pinggir lapangan ini terpancing amarahnya.

Kegagalan untuk melakukan perubahan bisa terjadi karena dua hal, pertama karena gagal dalam melihat tujuan dari perubahan itu sendiri, kedua karena gagal dalam membuat sarana perantara antara masa kini dengan tujuan perubahan. Bingung? Gini lo maksudnya, visi kita misalnya mencetak pemimpin kader, nah yang sering terjadi, qiyadah justru tidak pernah menongkrongi proses kaderisasi, dengan dalih sudah didelegasikan kepada stafnya, bagi saya menongrongi adalah pengontrolan yang kuat.

Bila visi kita adalah menciptakan organisasi yang sejahtera, maka wasilah antaranya adalah qiyadah harus menongkrongi kinerja bendahara secara terus-menerus dan berikan dia jalan. Teman-teman, inti dari yang hendak saya bicarakan dari kegagalan perubahan diawali dari kegagalan dalam menongkrongi. Lha wong se profesional apa pun staf ente, ente harus tetap boz menongkrongi, teman saya yang jadi pengusaha jamur, gagal berjuta-juta gara-gara dia lupa nongkrongi kerja karyawannya selama beberapa hari.

Nah kenapa kemudian perubahan itu kok bisa sukses, yang banyak hal, diantaranya pertama dia bisa membuat parameter perubahan sekaligus dibuat juga sarananya, kedua team yang solid, ketiga dia tahu secara detail perubahan itu akan diarahkan kemana.

Temen-temen, saya senang sekali diajak duduk bareng untuk membenahi organisasi, siapa pun yang ingin melibatkan saya untuk duduk bareng, monggo kontak saya aj, yang penting acaranya hari minggu aja.


EmoticonEmoticon