Bukan persoalan politik yang hendak saya tulis, bukan juga persoalan ekonomi, namun persoalan mentalitas yang selalu setia, hadir menemani kita selama hidup ini. Banyak yang ingin saya tulis tentang jiwa, sebab jiwa menjadi zat yang terasa meski tidak tersentuh, ia ada namun sulit untuk didefinisikan karena gerak-geraknya yang dinamis.
Bagaimana hubungannya dengan federasi dan perserikatan, ini persoalan mind set, yaaa pola pikir yang menjadi bingkai segala gerak langkah siapa pun manusianya. Tadi sore saya di telepon oleh salah satu rekan kerja saya, saya ucapkan terima kasih sekali yang telah menyampaikan segala unek-uneknya kepada saya, dan saya sepakat dengan sikapnya yang ksatria, hal itu yang justru yang saya sukai dari pilihan sikap teman saya ini.
Perbincangan via telepon cukup menarik, bahkan lebih menarik dibanding via sms atau chating, sebab getaran emosi akan terasa bila lewat telepon, dan hal ini sulit di temui di sms dan chatt. Dialog demi dialog terus diutarakan dan itulah gaya yang saya bangun dalam relationship saya dengan semua teman-teman saya terlepas dari segala kontroversinya, sampai kemudian tibalah kaki saya tersandung oleh sedikit kerikil yang membuat saya tidak habis berfikir, kenapa bisa menjadi begini.
Nah batu kerikil itu bernama pola pikir federasi. Nama federasi biasa digunakan pada negara yang membagi wilayahnya ke dalam negara bagian yang masing-masing negara bagian tidak memiliki hubungan yang mengikat seperti halnya perserikatan apalagi kesatuan seperti halnya NKRI.
Pola pikir federasi sering memberi persoalan dalam berorganisasi. Dalam organisasi, selalu ada sub dari organisasi yang biasanya dinamakan bidang atau divisi, nah pesoalan dengan pola fikir federasi membuat masing-masing bidang terisolir dan akan berfikir picik, ya hanya bidang dia yang dipikir, padahal dalam satu produk semua akan terlibat, baik dalam bidang tekno, marketing, maupun sdm dan keuangannya. Sulit sekali dibayangkan bila dalam bermain sepak bola, kaki dan kepala punya pikiran sendiri sendiri.
Di mana titik pola pikir federasi dalam dialog saya dengan partner saya saat itu, titik itu hadir dalam kata-kata "saya hanya menyampaikan saja" kata itu menjadi benteng (kalau bukan banteng) yang tangguh ketika saya bertanya alternatif dari kritik atas pilihan yang saya buat. Padahal pilihan yang saya buat juga menyangkut dengan dunia dan karir yang tengah dijalaninya juga. Saya semakin terkapar tidak berdaya ketika kata penutup itu memakai jurus pamungkas, "itu saja ya, afwan wa syukran" dengan kecepatan yang tinggi seperti dikejar untuk menutup pembicaraan sambil menyimpan gagang telepon.
Bila sudah begitu, saya sering memilih diam, karena posisi saya tidak baik untuk bergerak, tentu berharap dia mendapat perlakuan serupa menjadi persoalan hati yang mendalam. Istilahnya, dipikir juga terlalu sepele, namun kalau tidak dipikir masalahnya terlalu dalam untuk dibiarkan. Yaa posisi tanggung, posisi yang tidak disukai siapa pun makhluknya.
Saya akui metode yang saya buat itu ada kekurangannya, namun cara itu saya ambil karena tidak banyak metode yang saya pahami, bagi saya lebih baik dari pada tidak bekerja. Nah ilustrasi mudahnya seperti seseorang yang mengkritik cara menembak seseorang.
"Rek... cara kamu nembak itu salah"
Tapi ketika ditanya bagaimana cara nembak yang benar?
Jawabannya
"saya gak ngerti, saya Cuma nyampaikan aja kata orang dekat saya"
Bila pikirannya menggunakan perserikatan, tentu selain membuka berdialog dan memberi kritik, juga memberi saran metodenya. Cara itu membuat dialog-dialog itu menjadi mencerahkan, bukan membuat kita berfikir kembali, apakah cara saya selalu membentur tembok?
Yaa Robb berilah saya kesempatan untuk membuktikan apa yang saya yakini, berilah hidayah dan taupik dalam prosesnya. Amiin, yaa Robbal 'Alamien.
Ads 970x90
Senin, 20 Oktober 2008
Federasi dan Perserikatan
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon