Beberapa waktu yang lalu saya merasa terkejut dengan kelakuan geng motor yang telah melukai pengguna jalan; seperti samurai kesiangan mereka menenteng pedang panjang yang digesekkan ke aspal sehingga menimbulkan percikan api, ya mereka memang orang kaya baru, saking kayanya mereka seperti memiliki jalan, dan yang lain menyewa. Selanjutnya dengan adanya geng nero batin saya semakin berteriak, ada yang salah dengan perlakuan generasi lama kepada generasi baru ini, mereka berkelahi untuk menunjukkan dominasinya, layaknya para carok, mereka berkelahi saling menjambak, rupanya sick society telah membuat mereka menjadi mutant-mutant ganas.
Tentu otak saya semakin mengerang kesakitan karena tidak mengerti, kenapa masalah remaja tidak juga kunjung selesai, mungkinkah para generasi sepuh ini telah alpa bahwa kenakalan remaja justru akan berimbas pada persoalan bangsa di saat mereka telah tampil menjadi pelayan masyarakat. Tentu bagi para jagoan jalanan akan membawa pedang ke kantor dan para geng nero akan menjambak rambut rakyatnya yang protes terhadap kemumetan system administrasi negeri ini.
Saya berupaya untuk optimistis, karena jarak usia diri saya dan remaja juga tidak terlampau jauh. Harapan selalu datang terkadang diselingi oleh rasa cemas, ia hadir seperti titik terang di tengah kabut pekat, terlihat namun remang-remang. Optimistis itu nyata datang menyapa ruang batin saya, di saat saya sadar bahwa remaja sekarang ternyata lebih cerdas ketimbang pendahulunya, namun pada saat yang sama, sejuput kekhawatiran tidak kunjung juga tercerabut dari hati saya di saat saya mengerti betul bahwa para remaja kini sedang berdiri termenung tidak mengerti kenapa mereka berada ditengah pusaran arus kuat dari segala ketidak ajegan kenyataan di dunia ini. Kini mereka hidup dalam ketidak pastian identitas karena sirah itu hanya hadir dalam barzanzi yang dibaca sekali setahun, sementara orang terdekatnya (significant other) dengan terampil berkata “nak ini zaman modern, bukan zaman unta” maka nama sayyidina Muhammad dan para sahabatnya tinggal seharga kertas.
Mereka pun terbengong-bengong dalam dunia pendidikan yang semakin hipokrit. Pelajaran biologi menjelaskan bahwa rokok merusak kesehatan, sementara iklan rokok terpajang di tiap sudut sekolah.
Di tengah canda tawa saya bersama remaja yang saya bina, saya mencoba untuk mengajukan pertanyaan eksistensial, tentunya jawaban yang dibutuhkan bukan jawaban teoritik, sangat impresif, “Mas kalau Bill Gates menguasai dunia ini melalui microsoft, kalau kalian melalui apa?” mereka termenung, kebingungan menjawab pertanyaan yang tidak terduga ini. Dari 8 orang yang menjawab, hanya dua orang yang sigap menjawab; “saya akan membuat laptop yang murah sehingga bisa dibeli siapa saja”; satu lagi menjawab bahwa dia akan menguasai dunia melalui kedokteran.
Miris sekali melihat itu, ternyata elegi itu telah menjadi realitas yang dekat sekali dalam diri saya, hanya 2 orang yang memiliki impian masa depan, sementara sisanya belum punya, saya pun menerawang, barangkali remaja yang lain juga sama, bahkan lebih parah lagi. Air muka saya tidak berubah, sebab urat wajah saya sudah well trained untuk menyimpan emosi dalam bungker batin saya dalam-dalam, tapi yang pasti kenyataan itu telah menjadi reaktor pemicu dalam jejaring saraf saya untuk menemukan kenyataan lain, bahwa ada yang salah dalam pola asuh anak-anak kita. Mungkin saja waktu pendidikan para remaja itu telah terpetakan secara fixed, sehingga ruang untuk berdialog dengan pertanyaan eksistensial ini sudah tidak punya kavling lagi, akibatnya anak tidak berani untuk mengambil masa depannya, sebab bermimpi saja tidak berani.
Lintasan pikiran usil pun menyembul tiba-tiba, menggedor-gedor diding kepala saya, “apa harus ada pelajaran bermimpi supaya anak tahu masa depannya?”
“Tidak, sebab masa depan berada pada titik philosofi pendidikan”
suara sadar saya menepis. Jawaban itu mendapat penguat setelah Ali R.A berkata “ajarilah anak-anakmu sebab mereka akan mengalami zaman yang jauh lebih sulit dari zaman saat ini” begitulah kurang lebih statemennya.Tentu saja keliru juga kalau memaksakan para seniornya untuk ikut kursus pelatihan masa depan, sebab sejatinya masa depan hadir dari keberanian para punggawa generasi baru untuk menegakkan kepalanya di tengah kerumunan, semoga saja keberanian itu datang bagai bola salju seperti yang disampaikan oleh Billy Graham “ Keberanian dapat menular ketika seorang pemberani menunjukkan perannya, yang lain akan terpengaruh.
Satu titik jawaban yang saya pahami dari persoalan remaja, pendidikan saat ini gagal menyentuh idealisme remaja, semoga tulisan ini menyadarkan kita semua supaya pikiran kita tidak melulu disibukkan oleh prosedur pendidikan, namun alpa akan philosofinya.
EmoticonEmoticon