“Maafkan aku, baru ini yang bisa saya berikan”, batin saya bersuara lirih dengan tenggorokan tercekat. Ia datang tiba-tiba. Dada saya bergemuruh kuat ketika persoalan yang menimpa bangsa ini semakin tidak terselesaikan, lihat saja ketika air di beberapa daerah di jawa barat dan jawa timur hampir saja menjadi pemicu konflik antar petani, sementara itu pemodal besar sedang menyedot air dengan teknologi tinggi sambil berkongkow dan bercengkrama dengan para konconya.
Saya tidak mengerti detail perekonomian negara ini, namun yang saya tahu posisi tawar petani garam dan tembakau selalu lemah di depan pengusaha sipit. Saya hanya bisa merasakan lelahnya para pedagang kaki lima harus berhamburan berlari membawa gerobak bututnya, sementara bakso dagangannya belum laris terjual demi menghindari satpol PP yang sedang beroperasi. Sementara itu pemerintah lebih memilih berpihak kepada pemodal kuat. Rasa itu menjadi semakin terasa karena nenek saya harus setiap pagi berjalan kaki ke pasar untuk membeli chiki, tepung dan terigu untuk dibuat gorengan racikannya, itu pun hanya dengan kadar jumlah yang sedikit.
Saya pun menerawang, mungkinkan air yang kita minum dan tanah yang kita injak akan menjadi milik orang lain? Demi peningkatan kualitas air dan distribusi air bersih yang merata, penduduk gunung harus menyiuk air yang mulai mengering, padahal merekalah manusia terdekat dengan sumber ain itu. Atas nama harga diri, mereka hanya bisa protes, bentuk oposite dari sikap yang siap diperbudak.
Saya hanya bisa mengatupkan bibir saya, sambil erat-erat menutup mata saya membendung air mata saya yang sejak awal meloncat-loncat ingin bebas keluar menuruni pipi saya di saat saya sadar bahwa persoalan hidup ini bukan lagi menjadi teman pengantar tidur, namun ia kini telah bermetamorphosa menjadi realitas terdekat dari diri saya. Kemiskinan itu telah mulai menjamah, bersama itu pula lah kebodohan sudah mulai mendekat. Ya … mendekati tetangga kita, mendekati saudara kita bahkan mulai mendekati diri kita.
Ahhh memang asa tidak bisa dibohongi, mesti ia tidak tahu bagaimana berargumen, namun itulah yang saya rasakan di saat saya coba untuk menjadikan perasaan mereka yang gagal panen atau mereka yang berangkat ke pasar dipagi hari dengan kaki tanpa alas menjadi set point afeksi saya, apakah mereka pernah merasakan nikmatnya tidur di atas spring bed, nikmatnya perjalanan dengan mobil keluaran terbaru, atau ….. enaknya makan di restoran. Barangkali bagi mereka pepohonan yang mereka tanam dan hewan yang mereka pelihara adalah sumber makanan mereka, dan restoran mereka bisa berupa sawah yang menghampar atau dapur sempit yang bersama itu cangkul dan pakaian butut yang mereka pake sehari-hari di sawah sambil bercengkrama dengan anak-anaknya yang belum mengerti betul alur pikiran ayahnya.
Lantas saya berpikir, di mana posisi saya dalam persoalan ini? Bagaimana kontribusi saya? Refleksi ini benar-benar telah menerjang ulu hati saya, betapa saya hanya seorang guru, pembina 8 remaja. Ah rasanya keterlaluan bila terlalu puas dengan peran yang saya lakukan, karena persoalan hidup itu telah menjamah perut dan pikiran bahkan mental para manusia bumi pertiwi ini. Inilah alasan kenapa saya kini ingin kembali menjadi pemuda yang idealis.
Maafkan aku bila hanya ini yang baru saya persembahkan untukmu negeri pertiwi, untukmu, Islam.
Saya tidak mengerti detail perekonomian negara ini, namun yang saya tahu posisi tawar petani garam dan tembakau selalu lemah di depan pengusaha sipit. Saya hanya bisa merasakan lelahnya para pedagang kaki lima harus berhamburan berlari membawa gerobak bututnya, sementara bakso dagangannya belum laris terjual demi menghindari satpol PP yang sedang beroperasi. Sementara itu pemerintah lebih memilih berpihak kepada pemodal kuat. Rasa itu menjadi semakin terasa karena nenek saya harus setiap pagi berjalan kaki ke pasar untuk membeli chiki, tepung dan terigu untuk dibuat gorengan racikannya, itu pun hanya dengan kadar jumlah yang sedikit.
Saya pun menerawang, mungkinkan air yang kita minum dan tanah yang kita injak akan menjadi milik orang lain? Demi peningkatan kualitas air dan distribusi air bersih yang merata, penduduk gunung harus menyiuk air yang mulai mengering, padahal merekalah manusia terdekat dengan sumber ain itu. Atas nama harga diri, mereka hanya bisa protes, bentuk oposite dari sikap yang siap diperbudak.
Saya hanya bisa mengatupkan bibir saya, sambil erat-erat menutup mata saya membendung air mata saya yang sejak awal meloncat-loncat ingin bebas keluar menuruni pipi saya di saat saya sadar bahwa persoalan hidup ini bukan lagi menjadi teman pengantar tidur, namun ia kini telah bermetamorphosa menjadi realitas terdekat dari diri saya. Kemiskinan itu telah mulai menjamah, bersama itu pula lah kebodohan sudah mulai mendekat. Ya … mendekati tetangga kita, mendekati saudara kita bahkan mulai mendekati diri kita.
Ahhh memang asa tidak bisa dibohongi, mesti ia tidak tahu bagaimana berargumen, namun itulah yang saya rasakan di saat saya coba untuk menjadikan perasaan mereka yang gagal panen atau mereka yang berangkat ke pasar dipagi hari dengan kaki tanpa alas menjadi set point afeksi saya, apakah mereka pernah merasakan nikmatnya tidur di atas spring bed, nikmatnya perjalanan dengan mobil keluaran terbaru, atau ….. enaknya makan di restoran. Barangkali bagi mereka pepohonan yang mereka tanam dan hewan yang mereka pelihara adalah sumber makanan mereka, dan restoran mereka bisa berupa sawah yang menghampar atau dapur sempit yang bersama itu cangkul dan pakaian butut yang mereka pake sehari-hari di sawah sambil bercengkrama dengan anak-anaknya yang belum mengerti betul alur pikiran ayahnya.
Lantas saya berpikir, di mana posisi saya dalam persoalan ini? Bagaimana kontribusi saya? Refleksi ini benar-benar telah menerjang ulu hati saya, betapa saya hanya seorang guru, pembina 8 remaja. Ah rasanya keterlaluan bila terlalu puas dengan peran yang saya lakukan, karena persoalan hidup itu telah menjamah perut dan pikiran bahkan mental para manusia bumi pertiwi ini. Inilah alasan kenapa saya kini ingin kembali menjadi pemuda yang idealis.
Maafkan aku bila hanya ini yang baru saya persembahkan untukmu negeri pertiwi, untukmu, Islam.
kayaknya kekhawatiran antum bener deh, pak bos. pasal 33 UUD'45 hanya tinggal romantisme bagi kaum pribumi. nyatanya air sekarang sudah diperjual-belikan berupa air mineral yang sumbernya dari mata air pegunungan.kalo ga beli, trus kita minum apa? air sumur dah buthek gitu.
BalasHapusdan, yuh...yuh.. statemen terakhir di artikel ini seperti sebilah pisau yang menghujam, karena peranan saya saat ini sebatas tendensi materiil, walau tidak secara langsung ujung-ujungnya ya idealisme yang tergadai.