Selasa, 12 Agustus 2008

Tugas Baru

Awal Januri 2008 lalu saya memilih untuk berprofesi sebagai pendidik, bagi saya ini persoalan idealisme dalam membangun generasi muda Indonesia, saya tidak tahu bagaimana rasa bangga itu membuncah dalam dada saya yang bergejolak bila saya bisa melihat bahwa perlakuan yang saya berikan, nilai yang saya tanamkan ternyata memberi efek yang luar biasa untuk anak.


Persoalan idealisme adalah persoalan idealitas yang selalu ada dalam bangunan persepsi manusia yang mau berfikir, oleh sebab itu apa pun tawaran yang masuk dalam tangan saya, sekuat mungkin saya jaga supaya tidak masuk hati saya.

Beberapa bulan yang lalu, sudah agak lama memang, salah satu teman saya yang juga kebetulan sama-sama aktivis juga bertanya tentang profesi saya, saya kemudian menjawab bahwa profesi saya adalah Guru. Seperti yang sudah saya duga, teman saya tertawa dan kemudian ditambahkan dengan kata-kata yang cukup nyelekit " guru SD lagi". Wah kalau dia sillaturahim ke sekolah saya barangkali dia akan menarik kata-kata dia sampai berjungkir balik.

Saya akui bahwa tempat saya kerja sekarang ini banyak merefleksikan idealisme saya yang memang banyak terkikis oleh kenyataan yang selalu membuat jantung berdebar, rupanya saya mulai memahami alur berfikir beberapa orang yang merasa malu untuk menjadi orang Indonesia, tanpa mereduksi maksud mereka, saya hanya mencoba untuk berbaik sangka bahwa rasa malu itu hanya refleksi kritis dalam hati mereka di saat mereka memposisikan dirinya sebagai orang yang melihat.

Beberapa bulan kemudian saya diminta kepala sekolah untuk menjadi pengasuh boarding, saya berfikir bahwa peran ini adalah peran yang kontributif untuk institusi saya, saya pun mengiyakan apalagi target yang dibuat cukup menakutkan, harus lebih baik dari tahun kemarin, yaa siapa pun gurunya di Blitar harus ditinjau ulang keberadaanya kalau dia tidak pernah mendengar SDIT AL-HIKMAH Bence. Harapan itu terealisasi, nilai kumulatif anak-anak tidak bisa terbendung, mereka menjadi yang terbaik, meskipun peringkat nilai individual menempati urutan ke 5. patut saya akui, bahwa tidak semua harapan sekolah bisa saya wujudkan, saya bersama teman-teman saya gagal untuk menyakinkan anak-anak supaya meneruskan sekolah di SMPIT.

Tepat ketika pergantian semester saya diminta untuk menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, saya pun mengiyakan meski batin saya bergelepar-gelepar bagai ikan yang butuh oksigen, tugas apa lagi yang harus saya kerjakan, namun setelah mendengar penjelasan dari kepala sekolah, saya pun sepakat. Saya sempat merenung apakah sekolah tempat saya mengajar itu adalah sekolah untuk mengaktualisasikan diri saya atau malah menjadi arena fear factor yang meluluh lantakkan syaraf-syaraf takut dalam otak saya? Sampai saat ini saya masih berpandangan sementara ini institusi saya masih memenuhi kedua kriteria tersebut.

Amanah saya ambil, saya pun mengambil amanah ini dengan azam yang kuat, apalagi diberi tim yang menurut saya memiliki kemampuan di atas rata-rata. Rasa kaget itu selalu membuat mata saya terbelalak, ternyata tugas menjadi waka kesiswaan itu beratnya jauh diluar perkiraan saya, saya mengiyakan karena saya melihat waka kesiswaan selama ini bekerja cukup simple. Mulai saat itu semua menumpuk di tangan saya mulai dari administrasi, home visit, pengaturan jadwal shalat di mushalla yang baru, menyiapkan kendaraan untuk renang, mengatur jadwal perlombaan, waah apa kata dunia kalau saya menyerah, saya tangani semuanya dengan langkah tertatih-tatih. Tantangan itu tidak berhenti di sana, namun tantangan ini justru menjadi tantangan yang terbesar, yaitu akreditasi sekolah dengan taget nilai A. Nilai yang bombastis untuk sekolah yang tidak punya pengalaman diakreditasi, namun lagi-lagi tradisi kemenangan yang selalu ada di beberapa sekolah SDIT membuat saya terpicu untuk bisa.

Sejak lonceng persiapan akreditasi dipukul, semua bekerja marathon, beberapa kali saya pulang sampai jam 23 bahkan jam 24 malam, harus bangun subuh bersama anak-anak. Untung saja otak saya cepat belajar untuk tidak mudah stres dan terkejut, atas nama perubahan saya bersama kepala sekolah mulai mendatangi puskesmas dan koramil untuk membuat MoU supaya sekolah kita disupervisi rutin, atas nama perubahan juga saya kemudian berlari untuk mendirikan gugus depan pramuka SIT. Wow indahnya dunia meski beberapa kali saya diingatkan kepala sekolah, ingin rasanya berteriak “tolong pertimbangkan proses belajar saya ” tapi rasanya itu tidak mungkin sebab saya mendesain otak saya untuk merasa benci untuk dikasihani. Jadi tugas pertama saya saya tuntaskan adalah membuat sistem yang kuat.

Saya seperti berjalan sambil meraba-raba, sebab pengalaman untuk menangani organisasi di sekolah boleh dikatakan minim, wajar lah saya baru saja masuk bulan januari 2008, artinya bahwa disaat saya menangani kesiswaan saya harus menangani sambil belajar kalau tidak bisa dikatakan saya tidak tahu apa yang harus saya kerjakan, saya mulai merasakan manfaatnya berorganisasi saat kuliah kemarin.

Akreditasi ini membuat saya lari terpontang-panting, merintis dari awal pekerjaan-pekerjaan kesiswaan yang dulu tidak sempat terpikir untuk dilakukan. Pekerjaan ini menjadi beban pikiran saya tersendiri sebab saya diminta untuk menjadi pendamping asrama dengan target yang luar biasa tinggi juga, mereka harus bisa berbicara bahasa inggris dalam waktu enam bulan, hapal 3 juz dalam 3 tahun. Wooow tugas apa pula, saya meminta maaf kepada teman saya yang sering saya tinggalkan akhir-akhir ini.

Bagaimana dengan penghasilan? Memang penghasilan saya meningkat, namun kalau dikatakan merdeka secara finansial saya harus berjuang lebih keras lagi. Mungkin kalau untuk hidup sendirian itu lebih dari cukup, tapi akankah atas nama penghasilan saya memilih hidup sendiri ? barangkali persoalannya bukan pada jawabannya tapi pada keberanian untuk mengambil resiko dan kemampuan untuk berfikir cermat, wallahu’alam.


EmoticonEmoticon