Sabtu, 05 Juli 2008

TERIMA KASIH KAWAN




“Pikir sendiri Pak, saya malas !!!. kadang kamu bisa menjelma menjadi makhluk yang paling menyebalkan, kaku!! Maaf. NO REPLY”. Sms itu tiba-tiba mendarat ke hp saya, saya terkejut setengah mati, bahwa orang yang saya kenal itu marah dengan kemarahan yang total, padahal dalam pandangan saya, dia dikategorikan pada tipe orang yang sanguinis, yang tampaknya mudah melupakan kesalahan orang lain. Saya langsung meminta maaf atas kekeliruan yang saya lakukan selama ini, sejenak saya belum menyadari kenapa ini terjadi. Terus terang saja, dia juga melakukan hal serupa kepada saya, tapi biarlah, barangkali porsi kesalahan terbesar terletak pada diri saya.



Saya termasuk orang yang mudah melupakan kejadian buruk yang menimpa saya, sebab bagi saya kerja otak harus efisien sesuai dengan jatah waktu yang diberikan Allah kepada setiap hambanya, dalam berorganisasi saya belajar menutup mata dan menutup telinga terhadap setiap makian dan kritik, artinya bahwa saya belajar untuk membedakan isi yang dia sampaikan dengan metode penyampaiannya. Tentu sulit sekali untuk melupakan peristiwa itu bila dilancarkan dari hati sahabat yang kenal dekat. Setelah itu hubungan kita mencair kembali, seperti biasa dan hati saya kembali lega. Memang benar bahwa keterbukaan justru membuat hubungan interpersonal menjadi bermakna dan bertahan lama.

Meski hubungan itu kembali ke titik equilibrium, namun tidak bisa menghentikan saya untuk kembali mengevaluasi diri, aktivitas yang agak lama saya tinggalkan karena kelelahan fisik dan fikiran yang selalu antri menunggu atensi. Innalillah... ternyata track yang saya ambil adalah track yang keliru, beruntung saya kembali menyadari sebelum jejak perjalanan ini terlalu jauh melangkah, konsep diri saya yang sekterian, pola menata hati, tingkah polah, alih alih berani mangambil resiko ternyata terselip dalam hati ini segumpal noda hitam kesombongan, yang ternyata bila Rasulullah hidup kembali ke muka bumi akan melaknati saya sepenuh sumpah, langit dan bumi mengikutiku dengan tatapan nyinyir dan ijid (ungkapan bahasa sunda yang berarti kebencian yang amat sangat), saya pun berteriak dengan kekuatan sisa yang juga tidak mau digunakan untuk menopang raga ini berjalan tegak. Kenapa akhir-akhir ini saya merasa hina dina dihapanmu ya Rabb. Ingin rasanya jadi debu aja sekalian.

Titik cerah itu ditemukan, mungkin kedekatan yang terlalu dengan seseorang justru mendorong hubungan ini menjurus kepada sikap yang saya namakan kegembiraan anomali, kegembiraan yang justru mematikan, persis dengan mati ketawa ala rusia. Senang bertemu dan ngobrol ke sana kemari dan saya juga merasakan itu, namun kemudian tanpa terasa canda itu justru malah melukai hati. Kepada teman saya yang berada nun jauh di seberang, saya minta maaf setulus-tulusnya.

Persahabatan merupakan bagian dari Islam bahkan sangat dianjurkan untuk membina hubungan baik dengan semua manusia di muka bumi ini. Namun persahabatan akan menjadi patologi bila ia telah menjadi kongsi yang tidak produktif. Oleh sebab itu salah satu bentuk kejelekan remaja adalah fudhulul mukhalathah; terlalu banyak bermain.

Fikiranku kembali menerawang, melihat slide demi slide jejak rekam perjalananku, mengalir bagai air yang mengalir diantara bebatua curam, mereka adalah kawan-kawan saya yang telah memberi warna dalam hidupku, diantara mereka ada yang sudah tidak lagi bersamaku, sebab mereka telah fana.

“Rom... kamu shalat jenazah tuh di mesjid, sekalian perpisahan” begitu kata Mamah sekembalinya dari mesjid ikut menyalati Indera, kawan saya.
Mungkin otak mungilku mulai mengetahui bahwa perjalanan di muka bumi ini fana, namun ketakutan akan kematian tidak jua beranjak dalam fikiranku hingga kini.

Neng Silvi, saudara saya yang meninggal juga, saya masih teringat bagaimana Mamah terisak-isak nangis ditelepon menjelaskan kronologi kematian Neng Silvi.

“Himmahnya yang luar biasa” itu ungkapan Bapaknya Yusuf yang masih saya ingat. Teman saya yang bertubuh kecil berwajah pucat yang meninggal karena sakit. Tegar, tegar sekali Bapak tua itu, sesekali dia hirup udara Cianjur yang segar itu untuk mengumpulkan kekuatannya yang sebenarnya sedang hancur berkeping-keping, terpukul akibat kematian anaknya yang ia kasihi. Tipologi bapak itu tegas namun setelah mendengar cerita detail tentang anaknya ternyata hatinya lembut, selembut sutera.

Sering saya tersenyum sendirian kalau sedang mengingat-ingat pengalaman dulu, baik ketika masih bersekolah, sejenak saya masih ingat, saat itu saya merasa bahwa saya dan sahabat saya ditakdirkan untuk selalu bersama, sebab di sekolah saya bersama mereka dalam kelas dan di luar kelas saya bersama mereka di asrama, guyonan, kemarahan, cemburu menghiasi perjalanan ini. Teman-teman saya bilang kalau saya ini bertipologi manusia kuda hitam. Saya akui memang saat itu saya tidak total mengasah potensi saya. Sampai tiba saatnya wisuda, saya tidak meneteskan air mata, namun saya hampir tidak percaya kalau 6 tahun itu sudah saya lalui di Pesantren dan pada malam hari itu juga saya dan kawan-kawan harus mengepak sel pakaian, buku arab gundul, di bawa ke rumah. Tanpa mengucap sepatah kata pertanda perpisahan saya pulang bersama orangtua saya yang sudah lama menunggu. Saya pun kembali memandangi mesjid tempat shalat berjamaah, ah bentuknya masih seperti yang dulu.

“Sudahlah, sekarang waktunya pulang, saya sudah bebas, kalau pulang atau kemana pun gak perlu minta izin Ustadz” saya bergumam dalam hati. Selamat tinggal penjara suci.

Memang keceriaan itu selalu hadir dalam persahabatan. Bagi saya memang selalu ada aral yang merintangi perjalanan hidup ini, selalu hadir cadas yang terjal yang menghalangi perjalanan hidup ini, bukan persahabatan bila sesekali keluh dan kesah itu menyertai perjalanan ini, namun yang paling penting adalah kemampuan untuk menjaga perspektif jernih dalam melihat kontek persahabatan yang sedang dibangun ini.

Setelah dimarahi saya seorang seorang mbak. -saya juga baru kenal- hati saya dongkol, belum pernah ada seorang perempuan yang berani memarahi saya tanpa kesalahan yang jelas, padahal saat itu saya dalam kondisi yang lelah bahkan sangat lelah, saking lelahnya saya malas untuk berdiri. Saat itu saya tumpahkan seluruh keluh kesah saya, protes atas perlakuan senonoh perempuan sadis itu terhadap saya. Saat itu semua teman saya dalam kondisi yang sama, semuanya terdiam..... rupanya aliran darah mereka tidak cukup untuk mensuply otak untuk berfikir keras, mereka menunduk ke bawah. Saya sadar saat itu bahwa mereka juga punya persoalan yang sama dengan saya; kelelahan, karena kepanitiaan saat itu hanya ditangani 11 orang.

Oooo rupanya saya berfikir dan bekerja terlalu serius. Saya pun tertawa keras, perut saya terasa kenyang saat itu..

“Ha..ha memang organisasi ini tidak layak untuk diseriusi” saya bilang itu setengah berteriak. Lha iya, panitia yang datang aja gak sampai 50 persen kok, malah dipikir serius amat, kenapa gak diniati rekreasi aja?

Yang lain ikut tertawa
“Antum bener Pak Romi” Pak Eguh menimpali sambil tertawa juga.

Setelah itu semangat saya bangkit kembali, energi seolah menjalar dari tangan turun ke kaki, wap... badan saya terasa kuat kembali. Ya Allah ternyata saya belum shalat Dzuhur.

Menjaga perspektif yang jernih memang bukan pekerjaan mudah, sebab dalam kondisi tertentu mood, pikiran, dan hawa bercampur baur hingga sulit membedakan antara suara hati dengan suara iblis. Mungkin salah satu cara yang bisa ditempuh adalah cara solluliqui, berdialog dengan diri sendiri, sudahkah saya menjadi perwujudan visi saya, atau jangan-jangan malah visi itu untuk orang lain bukan untuk saya. Wallahu a’lam.


EmoticonEmoticon