Rabu, 14 Mei 2008

CERITA

Ada rasa ingin tahu yang terselip dalam ruang sempit batin saya di saat memasuki dimensi masa lalu, seringkali imaji dalam kepala saya begitu detail, ia benar-benar gambaran yang indah, mozaik yang berilustrasi ini memang nakal ia datang sekali dengan memberikan gambar yang indah, sampai saya tergegap-gegap sadar bahwa saat itu saya sedang tergoda dalam belaian imaji yang indah itu.

Itu yang saya rasakan di saat suasana emosional benar-benar menyelimuti perbincangan Emak dengan cucunya, ini adalah dialog antar zaman yang terjembatani dalam komunikasi oral, tidak ilmiyah namun menjanjikan gambaran detail dan imajinatif bahkan melibatkan asa yang benar-benar dalam. Meski memang dalam waktu-waktu tertentu saja, cerita Emak itu mengalir begitu, namun nuansa manusiawi itu benar-benar bertubi-tubi masuk dalam rusuk jiwa saya tanpa sedikitpun saya bisa berfikir untuk menahannya, ahh memang seringkali pengalaman ini membuat saya bisa menghayati betul narasi hidup manusia dari zaman ke zaman.

Emak dari Bapak memang mewakili perempuan masa lalu yang terhormat karena Abah peletak pondasi agamis di kampungnya, cerdas dan kuat. Cerita yang sering diulangi adalah cerita Jepang dan PKI, bahkan ia hadir menceritakan keganasannya dengan bentuk yang terkadang membuat bulu kuduk merinding. Rekaman dalam pikirannya merasuk kuat seakan tidak bisa dihapus oleh amukan zaman yang membuat fisiknya semakin renta.

Begitu juga cerita Emak dari Ibu, memang tidak sedetail dari Emak dari Bapak, yang paling sering diceritakan adalah keluarganya, ia menceritakan berbagai karakter dari saudara-saudaranya, mungkin karena keterbatasan akses informasi, Emak sering menjadi bagian dari rangkain festival sejarah di barisan tengah yang seringkali tidak bisa melihat kiri dan kanan, yang penting maju ke depan atau terdorong barisan belakangnya.

Seringkali rasa ingin tahu akan masa lalu itu benar-benar membuatku rakus, saya pernah bertanya ke Mamah; Mah, bagaimana keadaan alam di saat diriku lahir ke dunia ini?, ngidam apa? Tahu responnya?, Mamah ketawa sambil menjawab ketus. Setelah itu saya introspeksi yang apakah pertanyaan saya terlihat bodoh? Biarin aja Zohar sendiri bilang seringkali orang yang pinter secara IQ justru terlihat bodoh secara spiritual, begitupun sebaliknya, moga aja saya masuk pada antitesanya; pinter IQ dan SQ.

Potongan mozaik masa lalu memang cukup kuat terpatri dalam diri saya, bahkan sampai sekarang saya masih bisa mengingat rasanya digendong Paman, di ajak jalan-jalan keliling oleh Bapak, naik sepeda motor honda merah dibonceng depan kalau mau ke pusat belanja di Cihideung atau ke Ciamis, ke rumah Emak, bahkan amukan saya ketika Bapak memindahkan saya yang sedang tidur di ruang tengah ke kamar tidur.

Sampai sekarang ingatan itu benar-benar seperti terasanya nyata bagaimana lonjakan kegembiraan saya ketika saya bisa naik sepeda setelah dilatih beberapa jam oleh A Soni, bahkan pengalaman spiritual ketika mendengar ceramah Zainudin MZ dari radio di rumah Emak setelah subuh, di mana hari masih gelap namun rona merah telah terlihat di timur itu masih tergambar dalam benak saya. Ahh terlalu banyak untuk diceritakan di sini, terkadang jemari dan mata mengkhianati keinginan saya untuk menumpahkan asa yang telah berasosiasi dengan pengalaman empirik ini.

Rasa kehilangan terhadap apa yang hilang itu memang sering mengganggu alam pikiran saya, sampai saya sadar dan merasa bahwa apa yang saya pikirkan itu mungkin akan sia-sia. Saya masih merasakan indahnya kebersamaan kaum muda, kaum tua dan anak-anak bersama-sama mendengarkan dongeng si Rawing, cerita bahasa sunda yang didongengkan oleh Uwak Kepoh dari salah satu radio tetangga, saat itu benar-benar buram batasan generasi, semuanya terhanyut dalam cerita si Rawing yang disajikan Uwak Kepoh yang impresif. Sering terdengar lonjakan kecewa ketika episode cerita si Rawing sore itu harus berakhir. Tepat benar moment itu, beberapa menit kemudian azan magrib terdengar dari mesjid al Ikhlas, dan iqamat dikumandangkan kalau Bapak saya datang. Benar-benar bangga saya punya Bapak seperti itu.

Tepat jam 16.00, suasana kampung saya selalu sepi anak-anak, semuanya masuk sekolah agama di MI Muhammadiyah, sampai jam 17.30, Bibi saya ngajar di sana juga, beberapa gadis pun mengajar, entah dari mana mereka mendapat training, namun yang pasti saya belum pernah melihat training pengembangan diri atau skill kepengajaran yang pernah diadakan di sana, benar-benar alami. Saat itu ada sepetak tanah kosong yang akhirnya jadi lapangan badminton, anak-anak main setelah pulang sekolah agama atau setelah bapak-bapak kelelahan main, hampir semua anak punya raket, namun lapangan itu sekarang sudah menjadi rumah.

Bila ada kesempatan pulang dari perantauan intelektual, saya selalu menyempatkan jalan-jalan keliling, melihat perubahan demi perubahan yang ada di kampung saya; Babakan Kalangsari. Kilatan-kilatan gambar masa lalu selalu membuat saya sedikit terkejut, setelah saya tahu bahwa lapangan tempat saya bermain telah menjadi rumah atau home industri, terkejut kalau sawah tempat saya membakar belalang untuk dimakan telah menjadi kebun. Terkejut kalau saya tiba-tiba merasa menjadi orang lain di kampung saya sendiri, banyak orang baru di sana, kaum mudanya benar-benar tidak produktif, padahal kaum muda dulu menjadi penggerak kampung, mereka yang mengajari anak-anak takbiran, mereka juga yang sering nongkrong di sudut jalan, namun mereka juga yang selalu memenuhi masjid-masjid. Saat ini yang mengajari anak-anak untuk membaca Qur’an adalah mereka-mereka yang sudah berusia hampir mendekati separuh abad atau lebih. Berkali-kali beberapa orang sepuh yang menyuburkan Muhammadiyah di kampung saya membanggakan saya dan beberapa teman saya yang kuliah, mereka menyebut saya dan teman-teman saya yang kuliah sebagai penerus. Suara itu sering terngiang-ngiang kembali menerobos gendang telinga saya, terkadang semakin menguat, terkadang melemah, namun suara itu selalu saja membasahi lubuk sanubari saya. Dalam kondisi tertentu saya sangat merindukan rumah, kampung halaman yang telah menjadi kawah condrodimuko untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan saya.

Perkonomian kampung saya maju, maju karena home industri dari pakaian, kue maupun wajit/ dodol, tentu ini menarik minat para pencari pekerja, namun justru beberapa persoalan muncul, mulai dari kasus asusila hatta persoalan kriminalitas, meski kondisinya tidak terlalu parah, karena tokoh masyarakatnya benar-benar terdidik dan perhatian. Namun usia mereka semakin sepuh maka regenesi pun menjadi mutlak diperlukan, orang-orang seusia bibi saya telah banyak lelah mengurusi rumah tangga mereka, beban mereka benar-benar semakin menjadi-jadi setelah pemerintah menaikkan harga BBM tiga kali, benar-benar keterlaluan, tepat nian bila SBYJK itu akronim dari Sudah Banyak Yng Jadi Korban. beruntung mereka tidak tahu prosedur untuk mengadukan pemerintah yang tidak memberi kepastian masa depannya, sementara pajak di mana-mana semakin membuat tulang belulang mereka semakin terlihat dibalik kulit mereka yang semakin menghitam dibakar sang mentari yang merasa kasihan melihat penduduk kelereng biru itu telah didzalimi oleh pengaku sebagai panitian pelaksana urusan negara ini, namun mereka punya Tuhan yang selalu pasti dengan janjinya;”mendengar suara-suara rendah yang terdzalimi”.

Pas juga apa yang dikatakan Mamah saya ketika berkunjung ke rumah (tepatnya asrama) saya di blitar, “siga babakan baheula” katanya begitu, polos. Potongan imaji itu bahkan sering mengunjungi alam pikiran saya, baik sawah yang telah berubah jadi ladang, atau rumah reyot yang hanya ditinggal nenek renta, karena anak lelaki kesayangannya telah tenggelam dalam harmoni minuman keras yang memabukkan.

Saat ini juga saya masih bisa menghadirkan perasaan mistis yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata, di saat aliran listrik hanya kuat menghidupkan lampu temaran, maka pilihan lilin, atau patromaks menjadi baik, maka kita sekeluarga berkumpul, di mana Bapak bisa bertanya bagaimana perkembangan belajar anak-anaknya, Bapak pun leluasa membicarakan harapan-harapannya kepada anak-anaknya bila kelak mereka besar, Mamah sering berperan sebagai penguat wejangan Bapak. Bagaimana anak-anaknya? Kita biasa saling menceritakan ketololan demi ketololan yang dilakukan saudaranya hari itu.

Saat ini teknologi benar-benar memporak porandakan bangunan sosial itu, siapa pun punya hak untuk menyendiri di kamarnya, karena tiada lagi kegelapan karena tidak ada listrik, tiada lagi ada rasa sepi karena HP telah membuat koneksi kasat mata, pada detik itu komunikasi bisa dilakukan, bangsa pengikut ini benar-benar telah terkapar, lelah menegakkan karakter masa lalunya yang jaya, ia telah dibunuh oleh pandangan hidup bangsa lain yang nyata-nyatanya mereka sendiri kewalahan oleh akibatnya, sekali lagi saya bersumpah, hari ini saya tidak akan melarikan diri ke hutan demi menghindari gilanya globalisasi dan kemudian saya berpakaian dari daun, berumah gua, beratapkan langit dan bercengkrama dengan liarnya alam yang masih perawan, yang aku sedihkan justru lemahnya imunitas diri bangsa yang saya ada di dalamnya, larut,larut pekat sampai kita tidak tahu wujud asli kita, karena topeng itu telah menjadi kulit baru di wajah kita.

Daerah di asrama saya termasuk daerah tinggi, diduga sebelumnya memang bukit yang lama kelamaan menjadi kampung, persis seperti kampung saya yang sebelumnya adalah sawah, ladang dan hutan bambu. Hal ini terlihat jelas dari bekas gundukan demi gundukan yang kalau ditatap jauh akan tampak jelas gambaran bukitnya.

Hal yang saya sukai dari mukhayam adalah menyendiri sebentar melihat indahnya perkotaan dari ketinggian gunung, ahhh hawa gunung memang segar, namunnnn lagi-lagi nikmatnya karunia ini terganggu setelah ada bayangan kalau daerah itu setelah ini dalam waktu yang tidak bisa terdefinisikan akan dipenuhi ratusan villa, hutan ini pun akan dipermak menjadi taman yang indah oleh orang yang berduit, sedikit rasa kehilangan menyelinap dalam hati saya, meski itu belum jelas benar kapan waktunya.

Kemanakah babi hutan, monyet, ular, bernaung bila rumah mereka benar-benar diterjang oleh hawa manusia. Mereka tidak bisa bicara layaknya kita, namun rasa kehilangan itu mungkin saja ada dalam diri mereka. Andai saja dialog verbal bisa dilakukan niscaya akan sedikit membantu mereka, namun dialog emosional sering saya lakukan, saya coba masuk menyelami alam perasaan mereka, ah ternyata bisa juga.


EmoticonEmoticon