Selasa, 15 April 2008

TANGISAN

Saya sempat mengasosiasikan tangisan dengan bentuk kecengengan yang tak tertahankan, oleh sebab itu saya kurang suka melihat orang menangis. Berlawanan dari itu, sikap seorang ksatria adalah menahan sekuat mungkin untuk tidak menangis, apa pun penyebabnya, hal itu tentu saja diperkuat dengan pola asuh yang sering dibuat Bapak dan Mamah yang tidak pernah memperdulikan tangisan saya, apakah karena kecewa atau disakiti teman, akhirnya saya sering mikir-mikir kalau mau nangis depan orang tua, “laki-laki kok nangisan” gitulah komentar yang saya dapatkan. Oleh sebab itu pantang saya pulang ke rumah kalau saya nangis.

Begitu juga adik saya yang bungsu, kecuali kalau si bungsu itu nangis karena digoda kakaknya, persoalannya lain, Bapak atau Mamah akan mengingatkan. Efek dari itu, saya cenderung tidak selera dengan film india dan film cengeng lainnya, sakuat mungkin saya masuk dalam dunia tukang ngerumpi yang tahan nongkrong lihat telenovela, hanya angan yang saya raih, usaha untuk mendalami motivasi mereka gagal, saya pun gagal menemukan alasan kenapa telenovela yang panjang itu begitu digandrungi tukang ngerumpi itu. Tidak adakah alasan lain ? akhirnya saya jadi lelah melihatnya.

Film Brama Kumbara, Ksatria Baja Hitam, Deru Debu, Amerika Ninja, Samurai X sempat menjadi film yang benar-benar merasuki jiwa saya, seolah setan film sejenis itu menguasai diriku, otakku benar-benar terkavling oleh sutradara film sejenis itu kalau sedang nonton itu. Ha ha ha, bener-bener saya membayangkan diri saya sebagai penyelamat bumi, jago beladiri, dikagumi para penduduk, waaah berkarakter banget. Fikiran saya benar-benar terkuras, ingin bahkan menjadi obsesif setelah melihat film itu. Memang terkadang gak konsisten juga sih, saya pernah juga kok nonton film yang benar-benar membuat tong air mata saya minus. Lupa saya judulnya apa, tapi yang film itu menceritakan tentang perjuangan seorang dokter yang membaktikan dirinya untuk hidup di daerah terpencil. Itu yang saya ingat.

Bagimana dengan orangtua, karena pertemuan saya dengan orangtua itu sering, maka saya seringkali tidak berfikir emosionil kepada mereka. Bahkan dulu saya yang hobinya main itu cenderung sering juga dimarahi Mamah, kalau Bapak malah jarang, tapi kalau sudah marah, telinga saya mesti merah dijewer. Kakaku pun harus pasrah bongkokkan, blas gak bisa berkutik apa-apa kalau sudah diceramahi Bapak. Jadi ingin ketawa kalau ingat itu.

Setelah selesai sekolah dasar, saya ikut testing masuk pesantren plus dan ternyata saya lolos. Dunia baru mulai saya jelajahi, dunia tanpa pantauan orangtua dan kini bergabung dengan komunitas manusia cerdas, karena harus ngomong bahasa indonesia, di 6 bulan pertama, setelah itu ngomong bahasa Arab dan Inggris menjadi kemestian, kalau tidak, saya masuk mahkamah. Puihhh transformasi yang luar biasa dalam hidup saya, dan kemudian dalam enam bulan ke depan tiba-tiba pelajaran bahasa adalah pelajaran yang cukup enteng bagi saya, nilai 8 ke atas adalah hal biasa bagi saya.

Sejarah kemudian mencatat, saya masuk jajaran pelanggar bahasa yang sering dipanggil dan diintrograsi oleh bagian bahasa, yaa kesalahannya macam-macam, ada karena ngobrol bahasa Indonesia bahkan ngobrol bahasa Sunda, saya benar-benar tercerabut dari budaya yang telah membesarkan saya, budaya sunda yang indah itu telah sedikit demi sedikit pupus dalam sukma saya. Aah sebuah tragedi budaya yang keterlaluan dari sebuah obsesi yang tidak meninjau dahulu aspek sosio kultural. Transformasi itu kembali terjadi, saya dikenal sebagai perusak bahasa, terutama bahasa Arab, saya suka sekali bikin bahasa baru, dengan menguasai sedikit ilmu shorof, maka saya masukkan kosakata bahasa indonesia ke dalam berbagai varian sharaf itu, hasilnya, kosakata bahasa indonesia itu kemudia akan terdengar seperti bahasa arab. Saya tahu kalau bagian bahasa itu tidak mau terlihat kikuk kalau mendengar bahasa asing, bisa jatuh wibawa kalau ia tiba-tiba nanya apa artinya, duuuuh kacian dia, obsesi menjadi kamus berjalan telah membuatnya kecele. Amaaaan. Meski begitu, jangan tanya nilai pelajaran tafsir, fiqh, qur’an hadist, dikit-dikit yang bisa, tapi gak kaya Yusuf Al Qardlawi. Ha ha ha. Nah diawal kehidupan saya yang baru itu, saya sangat bersemangat sekali, sebab saya tidur dalam kamar, tepatnya barak bersama teman-teman saya dari berbagai daerah. Senang rasanya, juga saya bersama kakak yang pinter-pinter.

Masa orientasi telah selesai, maka berkumpulah semua orang tua siswa baru, orang-orang bilang kalau ini adalah moment perpisahan dengan orangtua, di mana kedisiplinan telah berhak dibebankan kepada pundak-pundak makhluk kecil yang cengengesan itu. Berbagai parade seni ditampilkan sebaik mungkin, segala janji-janji diobral keluar, melolong dari kerongkongan pengelola saat itu. Tibalah saat terakhir, saya dengar lagu tentang ayah, dari koes plus. Saat itu orangtua dan anak berangkulan, saling berjanji dan memberi harapan. Saat itu terjadilah...terjadilah pengkhianatan mata terhadap tuannya, terhadap keyakinan yang selama ini saya yakini tentang tangisan. Air mata itu turun, menelusuri pipi, mata saya sembab, kerongkongan saya tercekat, saya tidak bisa berkata apa-apa, kakak-kakak saya semuanya menenangkan, saya tidak mengerti kenapa saya bisa seemosionil itu.

Bapak saya pura-pura tidak memperdulikan saya, ya memang begitulah, bapak jarang terlihat emosionil, indikator yang paling akurat justru keluar dari kata-kata, semakin tajam kata-katanya, berarti suasana hatinya sedang mendung. Saat itu saya memang benar-benar merasa berdosa, satu-satu memori perbuatan bodoh saya menghampiri saya, tentu seluruh isi hati saya benar-benar teraduk, teraduk tanpa kuasa saya menahannya, saya tergeletak pasrah.

Acara pelepasan sudah selesai, saya sekuat mungkin untuk menguasai diri saya, saya hanya diam membisu, sedikit kata saja keluar, maka bendungan air mata itu akan kembali jebol. Ya itulah tangisan pertama saya untuk orangtua saya yang tercinta. Setelah itu, saya cukup bisa menikmati sastra pembangun jiwa, di situlah memang kejamnya sastrawan, mereka sanggup membolak-balikkan hati pembacanya, sementara pembaca tidak kuasa melawan arus sedu sedannya emosi yang dibuat oleh penulis. Aih lagi-lagi jiwa makhluk mars sedang bergentayangan, mengganggu roh para makhluk venus yang rasional. Untung saja untuk buatan Yunani, coba aja kalau kita yang muslim terbelenggu dalam personifikasi dua makhluk itu, bisa mampus kita.


EmoticonEmoticon