Sabtu, 05 April 2008

SENSITIF

“Dia orangnya sensitif”, saya sering mendengar kata itu, dan saya paham kalau ungkapan itu mengacu kepada orang yang mudah tersinggung meski dalam urusan yang sepele, ada juga ungkapan “dia punya kulit yang sensitif”, ungkapan itu biasanya mengacu kepada kondisi kulit yang mudah terkena gangguan. Kalau begitu baguskah menjadi orang yang sensitif. Untuk menilai bagus dan tidak, tampaknya kita perlu membongkar definisinya dulu, kalau tidak maka sensitivitas akan mati di bawah kungkungan moralitas yang selama ini mengontrol laku.

Sensitivitas dalam kepemimpinan menjadi hal yang mutlak dimiliki, sebab tanpa sensitivitas merupakan kemampuan yang biasa dimiliki pemimpin untuk membaca, tepatnya menerawang segala urusannya, bahkan urusannya dengan jundinya tergantung pada sensitivitas. Memang sih sampai sekarang saya belum mendapatkan contoh yang riil yang menimpa diri saya, namun saya tahu kalau senstivitas itu perlu. Namun tentu saja hal ini tidak bisa dikacaukan dengan ketidakmampuan untuk bersikap tegas.

Dalam pergaulan pun sikap ini perlu, sebab tanpa ini maka pergaulan akan menjadi pergaulan yang tidak bermoral dan tidak berperasaan, bisa kebayang kalau sahabat dekat kita setiap hari mencaci maki, padahal seharusnya dia dan saya juga menjadi partner yang kompak dan bisa saling menguatkan, namun hal ini tentu tidak bisa dikacaukan dengan ketidakmampuan untuk memberi umpan balik dan kritik.

Dalam dunia kerja pun demikian, tanpa sensitivitas saya tidak akan tahu kesulitan partner saya apa. Nah meski demikian sensitivitas itu ternyata mengundang masalah yang terkadang membikin otak kita ruwet. Dalam doa yang suka saya panjatkan adalah, “ya Allah jauhkanlah saya dari manusia yang sensitif, karena tingkah saya akan banyak melukai hatinya” . ya Allah melankolis sekali hati saya, sumpah ini asli, he he he. Faktanya gitu kok, untung di keluarga saya tidak ada orang yang sensitif banget, dulu adik saya memang sensitif, tapi sekarang malah kebal digoda dia kakak dan adik laki-lakinya.

Dalam bekerja, tiga orang yang selama ini saya sulit untuk bekerja sama, pertama orang yang sensitif, kedua orang yang pendiam, ketiga manusia yang berjenis granat. Dengan orang yang sensitif saya akan sangat hati-hati, sebab salah langkah bisa membuat hatinya terluka dan hubungan personal pun menjadi buyar, hal ini tentu akan membikin kacau urusan organisasi, mudahnya urusan personal kok dibawa ke organisasi. Memang bener ungkapan ini, tapi tentu miskin implementasi. Oleh sebab itu barang siapa yang siap terjun dalam organisasi maka dia harus menguatkan mental. Ustadz bilang jagalah hati, saya baru merasakan tuahnya ungkapan ini setelah saya mellihat dengan jernih diawali oleh kenyataan bahwa persoalan organisasi ternyata diawali dari kondisi hati yang sedang terganggu. Orang yang sensitif biasanya memiliki dua wajah, pertama dia tampak seperti orang yang ramah dan normatif namun pada saat yang sama dia menonjolkan sebagai sosok manusia yang tidak berdaya dan terdzalimi yang mengundang simpati orang banyak. Nah kalau sudah seperti ini urusannya jadi politis deh, capek juga. Saya sering kali sengaja menjauh dari orang yang sensitif (mudah tersinggung), ya gak enak juga sih, bahkan saya merasa tidak adil pada banyak manusia, tapi hubungannya ternyata bisa runyam kalau diteruskan, karena orang yang tipe kayak saya yo teges, apa adanya tentu saya tidak bisa kalau tiba-tiba berubah menjadi manusia yang someah dan enggeh pakeuweuh. Jadi saya lebih memilih untuk tidak memiliki hubungan yang spesial dengan manusia seperti itu.

Saya seringkali kesulitan untuk tahu apa yang diinginkan oleh manusia pendiam. Saya pernah mendengar ungkapan “hati-hati dengan orang yang pendiam” tentu ini menjadi semacam sinyal yang mengatakan jangan macam-macam dengan orang yang pendiam, nah mafhuumul mukhalafahnya boleh macem-macem sama orang yang gak pendiam. Gubra16xk. Tapi itu kenyataan kok, saya kesulitan untuk menjadikan mereka jadi orang yang spesial di mata saya, bukan karena mereka tidak istimewa, tidak, bahkan mereka sangat istimewa, cara saya yang terbuka dan menuntut keterbukaan, memungkinkan saya menemui tembok tebal. So saya tidak tahu bagaimana hubungan yang diinginkan. Jadi saya memilih untuk berhubungan biasa saja. Mungkin sikap ini akan berubah bila ternyata saya menemukan pola yang pas berkomunikasi dengan orang yang pendiam. Atau jangan-jangan..... tidak.

Nah bagaimana dengan manusia yang bertipe granat. Hem yang ini memang banyak menyulitkan, tepatnya menjengkelkan, ya satu derajat diatas orang sensitif. Orang yang bertipe ini enak diawal, tapi sulit diakhir, karena mereka seakan menyimpan sesuatu yang akan dibuncahkan dibelakang dan dikumpulkan diawal. Kalimat yang mempertanyakan selalu datang diakhirnya, tapi hal itu tidak dikomunikasikan diawal, mana letak ketidaksetujuannya, meski sebenarnya sejak awal dia tahu. Temen saya satu organisasi juga sering jengkel kalau menemui orang kayak dia. Saya banyak mengambil pelajaran tentang perlunya kehati-hatian untuk memilih partner untuk bekerja sama. Saya menangkap indikasi adanya kedangkalan intelektual yang ada pada manusia tipe granat. Kenapa ? ya cari aja jawabanne dewek-dewek.


EmoticonEmoticon