Hanya perkiraan saja, bisa jadi kondisi afeksi yang dirasakan kita saat ini ada bedanya dibandingkan dengan kondisi afeksi nenek moyang kita, begitu juga kita dengan orang setelah kita. Meski dalam beberapa segi afeksi itu tetap sama rasanya. Apakah perkiraan saya ini ilmiyah, mungkin belum, karena persyaratannya belum memenuhi syarat, yaitu empiris. Yang itu urusan kesepakatan aja, saya jelas punya kehendak untuk membuat definisi kebenaran seperti yang saya yakini, tapi persoalannya Cuma satu, saya tidak punya kuasa.
Ada sedikit perasaan mistis, di saat kita menerima surat dari orangtua, atau orang yang kita cintai, namum sekarang, perasaan itu sedikit banyak telah terreduksi. Terutama dengan adaya layanan sms, maka di manapun dan kapanpun saja, selama masih ada pulsanya, kirim pesan dapat begitu mudah dilakukan, dalam hitungan detik saja, pesan dapat terkirim. Untuk ukuran yang lebih besar lagi, ada juga layanan email. Lonjakan kegembiraan itu sudah tiada lagi, sebab kapanpun dan dimanapun selama ada sinyal, maka kirim surat elektronik dapat kapan saja dilakukan. Kalau begitu, ada satu perasaan yang hilang, yaitu perasaan harap-harap cemas. Mungkin saja itu masih ada, namun rentang waktu untuk menunggu yang begitu singkat, maka hhc itu tidak memberi pengalaman yang banyak menghiasi waktu penungguan kita. Sebab kita hanya menunggu jawaban yang terkirim dalam hitungan detik saja.
Saya begitu saya bergembira ketika tahu kalau abah sama emak mau berkunjung ke rumah, memang sih nenek biasa membawa nasi ketan dan beberapa makanan kampung lainnya, bisa jadi lonjakan emosionil seperti yang saya rasakan beberapa waktu yang lalu akan hilang, sebab dengan fasilitas video conferences, maka kita dapat berkomunikasi, di manapun dan kapanpun berada, kakek bisa kita akses dan nenek bisa kita hubungi, bahkan menghubungkan beberapa saudara yang berlainan tempat untuk berkomunikasi. Nah letak kerinduan itu mungkin saja akan hilang.
Generasi kita mengalami lonjakan peradaban yang luar biasa, bisa dibayangkan, dalam waktu dekat, di kota kita sudah berdiri beberapa mall yang superbesar, bahkan dalam hitungan hari saja, kita di kejutkan oleh warung yang berfasilitas mall, lihat saja indomaret, pelayanan yang ramah, harga murah, penerangan yang maksimal, berac, kita bisa dapatkan semuanya di sana. Siap-siap aja warung yang kumuh, penerangan yang hanya mengandalkan cahaya matahari, apalagi penjual yang pelit sebentar tergusur, tapi jangan lupa, yang tergusur adalah tetangga kita yang tidak memiliki modal, dan dia menghidupi warung itu dengan setengah nyawanya. Tau gak loe?
Nah dari kondisi lingkungan yang begitu kondusif untuk berbelanja, bisa jadi generasi setelah kita adalah generasi yang lahir memang untuk belanja, karena semua keinginan bisa diraih dengan belanja, tanpa susah payah membuat barangnya, beda kalau dulu, untuk membuat surat, maka anda harus berpikir mendalam untuk memilih kata-kata, sekarang sudah banyak tersedia banyak pilihan surat dengan beragam isi. Bila kita mau berkunjung ke rumah saudara, maka yang kita fikirkan saat ini adalah kita bawa apa? Lazimnya kita bawa makanan yang kita buat dengan tangan kita sendiri, nah sekarang, itu semuanya bisa di dapatkan melalui belanja tanpa harus repot meluangkan waktu utnuk membuat. Buang-buang waktu saja. Artinya perasaan mistis itu akan hilang, sebab sentuhan spirit dari si pembuat kue/ makanan itu tidak ada, sebab kita beli dari manusia yang tidak kita kenal jiwanya.
Saya melihat ada korelasi yang cukup signifikan antara pembunuhan kreativitas generasi baru yang berada di dunia ketiga, sebab mereka telah disodorkan benda jadi dengan harga murah, tanpa tenaga yang banyak, mereka tinggal memilih apa saja yang mereka inginkan dengan banyak variasi, syaratnya jelas, mereka harus punya duit. Hipotesis Ibnu Khaldun mungkin telah menemukan realitasnya, “bangsa yang kalah akan mengikuti bangsa yang menang”, siapa pun tahu kalau bangsa kita ini telah pengap-pengap mendengar produk amrik, sebagian dari kita merasa bahwa produk amrik merupakan produk akhir, tanpa revisi, tanpa tandingan. Aduhai mengerikan sekali pandangan kayak gini.
Bos. Mungkin saja anak generasi baru akan menjadi anak yang miskin sentuhan Ibu dan Bapak, sebab mungkin masa depan telah disediakan alat yang bisa menyentuh dengan rasa yang sama dengan sentuhan orangtuanya, ya… tinggal milih saja, milih yang halus atau yang kasar, tergantung kepribadian orangtuanya aja, tapi kemungkinan ke depan, pasar telah menyediakan semuanya, bahkan mereka menyediakan raga alat sentuh dengan variasi kepribadian.
Penelitian terbaru (mungkin) menyatakan bahwa suara baik berupa nyannyian, doa, obrolan ibu dengan bayi ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan kecerdasan bayi. Nah, Bos, di masa depan, mungkin pasar telah menyediakan ribuan ragam obrolan orangtua yang akan menyapa kapan saja di mana saja bayi manusia, tinggal stel aj. Ya cerita, sapaan, tawa dan senyuman Ibu, Bapak dapat dilihat dari layar LCD. Bayi usia beberapa bulan saya kira sudah bisa melihat.
Bagus/elek banget ya, aku gak bisa bayangin kira-kira betapa individualisnya masa depan. Bahkan untuk melahirkan saja, sekarang sudah ada bayi tabung, kalau ingin bayi yang wajahnya sama dengan ibu atau bapaknya, ya tinggal kloning aja. Ngapain repot-repot.
Dalam penelitian neurosains sekarang membuktikan ternyata seluruh perilaku manusia, termasuk afeksinya dipengaruhi kuat oleh kondisi otaknya (Sampai di sana tidak jadi masalah), tafsirannya adalah dengan beberapa manipulasi syaraf, maka perasaan, perilaku manusia akan begitu mudah berubah. Nah ke depan, bisa jadi ada obat pemati rasa sedih, penahan rasa gembira bahkan kita bisa memilih obat apa saja untuk mempengaruhi perasaan kita. Jika hari ini kita ingin sedih (karena ingin buat puisi misalnya) maka tinggal glek saja minum obat perangsang sedih, jika kita ingin gembira terus, ya tinggal sedot saja syirup perangsang gembira. Mudahkan, gak perlu repot-repot. Dunia ini butuh orang yang simplipistik, yang rumit-rumit akan ditinggalkan dunia, orang bilang; “apa kata dunia”.
Akhir-akhir ini saya selalu dilanda ketakutan. Statemen ini asli dan orsinil dari saya sendiri, ketakutan itu jujur saja ketakutan imaji. Jadi gigilannya pun gigilan imajinatif. Apa sih yang ditakutkan. Huuuuhh dasar orang paranoid, memang begini jadinya, bahkan fikiran saya sering dipahami. Sampai kemudian saya mengambil keputusan “ya sudah, mereka tinggal tunggu saja kejadiannya, lha wong sudah saya ingeti”. Beberapa bulan kemudian perkiraan saya bener juga. Wah nyesel juga saya.
Langsung to the point aja Bos, jadi gini. Inti kehawatiran saya sebenarnya justru takut kalau peran manusia itu secara perlahan tergeser oleh robot, saya prediksikan ini bisa terjadi seperti yang saya ilustrasikan di atas. Saya baru inget kalau melihat iklan di luar negeri sih, jadi untuk memperoleh pagi yang indah, maka seperangkat alat akan dengan mudahnya membangunkan kita dengan cepat plus dengan pakaian dan susu panas. Pas waktu kita bangun seperangkat alat itu memakaikan kita pakaian kantor, meski posisi kita sedang terlentang, setelah itu tubuh kita diangkat dan didudukkan di atas kursi dengan posisi siap makan, nah dengan otomatis , susu hangat dan mungkin saja nasi goreng telah digorengkan oleh alat. Namun persoalannya mungkin akan muncul pengalihan anak kepada robot. Misalnya di saat orangtua sibuk, maka untuk urusan ganti popok maka sudah ada piranti untuk siap mengganti manusia. Nah bila jadinya seperti itu, maka akan sangat mungkin, akan lahir manusia tanpa perasaan. (the man without afection). Memang dunia ini penuh keanehan, yang tidak aneh tidak akan laku.
Manusia akan sangat mungkin teralienasi dari dirinya sendiri (meminjam istilah Erich Fromm), sebab manusia telah menjadi budak orang lain, tepatnya menjadi budak pasar, apapun akan dilakukan selama itu bisa berdampak pada penguasaan pasar. Contoh sederhananya hadir di dunia hiburan, orang akan berbuat apa saja demi memenuhi selera pasar. Batasan moral pun sejak awal memang kabur. Itu urusan hati nurani, itu sanggah mereka, iya kalau hati nuraninya masih jalan, kalau tidak?. Lupa kalau dalam dirinya ada yang tergadainya, misalnya harga diri, moralitas, akidah dan mungkin privacy.
Wallaahu a'lam bishowaab.
Ada sedikit perasaan mistis, di saat kita menerima surat dari orangtua, atau orang yang kita cintai, namum sekarang, perasaan itu sedikit banyak telah terreduksi. Terutama dengan adaya layanan sms, maka di manapun dan kapanpun saja, selama masih ada pulsanya, kirim pesan dapat begitu mudah dilakukan, dalam hitungan detik saja, pesan dapat terkirim. Untuk ukuran yang lebih besar lagi, ada juga layanan email. Lonjakan kegembiraan itu sudah tiada lagi, sebab kapanpun dan dimanapun selama ada sinyal, maka kirim surat elektronik dapat kapan saja dilakukan. Kalau begitu, ada satu perasaan yang hilang, yaitu perasaan harap-harap cemas. Mungkin saja itu masih ada, namun rentang waktu untuk menunggu yang begitu singkat, maka hhc itu tidak memberi pengalaman yang banyak menghiasi waktu penungguan kita. Sebab kita hanya menunggu jawaban yang terkirim dalam hitungan detik saja.
Saya begitu saya bergembira ketika tahu kalau abah sama emak mau berkunjung ke rumah, memang sih nenek biasa membawa nasi ketan dan beberapa makanan kampung lainnya, bisa jadi lonjakan emosionil seperti yang saya rasakan beberapa waktu yang lalu akan hilang, sebab dengan fasilitas video conferences, maka kita dapat berkomunikasi, di manapun dan kapanpun berada, kakek bisa kita akses dan nenek bisa kita hubungi, bahkan menghubungkan beberapa saudara yang berlainan tempat untuk berkomunikasi. Nah letak kerinduan itu mungkin saja akan hilang.
Generasi kita mengalami lonjakan peradaban yang luar biasa, bisa dibayangkan, dalam waktu dekat, di kota kita sudah berdiri beberapa mall yang superbesar, bahkan dalam hitungan hari saja, kita di kejutkan oleh warung yang berfasilitas mall, lihat saja indomaret, pelayanan yang ramah, harga murah, penerangan yang maksimal, berac, kita bisa dapatkan semuanya di sana. Siap-siap aja warung yang kumuh, penerangan yang hanya mengandalkan cahaya matahari, apalagi penjual yang pelit sebentar tergusur, tapi jangan lupa, yang tergusur adalah tetangga kita yang tidak memiliki modal, dan dia menghidupi warung itu dengan setengah nyawanya. Tau gak loe?
Nah dari kondisi lingkungan yang begitu kondusif untuk berbelanja, bisa jadi generasi setelah kita adalah generasi yang lahir memang untuk belanja, karena semua keinginan bisa diraih dengan belanja, tanpa susah payah membuat barangnya, beda kalau dulu, untuk membuat surat, maka anda harus berpikir mendalam untuk memilih kata-kata, sekarang sudah banyak tersedia banyak pilihan surat dengan beragam isi. Bila kita mau berkunjung ke rumah saudara, maka yang kita fikirkan saat ini adalah kita bawa apa? Lazimnya kita bawa makanan yang kita buat dengan tangan kita sendiri, nah sekarang, itu semuanya bisa di dapatkan melalui belanja tanpa harus repot meluangkan waktu utnuk membuat. Buang-buang waktu saja. Artinya perasaan mistis itu akan hilang, sebab sentuhan spirit dari si pembuat kue/ makanan itu tidak ada, sebab kita beli dari manusia yang tidak kita kenal jiwanya.
Saya melihat ada korelasi yang cukup signifikan antara pembunuhan kreativitas generasi baru yang berada di dunia ketiga, sebab mereka telah disodorkan benda jadi dengan harga murah, tanpa tenaga yang banyak, mereka tinggal memilih apa saja yang mereka inginkan dengan banyak variasi, syaratnya jelas, mereka harus punya duit. Hipotesis Ibnu Khaldun mungkin telah menemukan realitasnya, “bangsa yang kalah akan mengikuti bangsa yang menang”, siapa pun tahu kalau bangsa kita ini telah pengap-pengap mendengar produk amrik, sebagian dari kita merasa bahwa produk amrik merupakan produk akhir, tanpa revisi, tanpa tandingan. Aduhai mengerikan sekali pandangan kayak gini.
Bos. Mungkin saja anak generasi baru akan menjadi anak yang miskin sentuhan Ibu dan Bapak, sebab mungkin masa depan telah disediakan alat yang bisa menyentuh dengan rasa yang sama dengan sentuhan orangtuanya, ya… tinggal milih saja, milih yang halus atau yang kasar, tergantung kepribadian orangtuanya aja, tapi kemungkinan ke depan, pasar telah menyediakan semuanya, bahkan mereka menyediakan raga alat sentuh dengan variasi kepribadian.
Penelitian terbaru (mungkin) menyatakan bahwa suara baik berupa nyannyian, doa, obrolan ibu dengan bayi ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan kecerdasan bayi. Nah, Bos, di masa depan, mungkin pasar telah menyediakan ribuan ragam obrolan orangtua yang akan menyapa kapan saja di mana saja bayi manusia, tinggal stel aj. Ya cerita, sapaan, tawa dan senyuman Ibu, Bapak dapat dilihat dari layar LCD. Bayi usia beberapa bulan saya kira sudah bisa melihat.
Bagus/elek banget ya, aku gak bisa bayangin kira-kira betapa individualisnya masa depan. Bahkan untuk melahirkan saja, sekarang sudah ada bayi tabung, kalau ingin bayi yang wajahnya sama dengan ibu atau bapaknya, ya tinggal kloning aja. Ngapain repot-repot.
Dalam penelitian neurosains sekarang membuktikan ternyata seluruh perilaku manusia, termasuk afeksinya dipengaruhi kuat oleh kondisi otaknya (Sampai di sana tidak jadi masalah), tafsirannya adalah dengan beberapa manipulasi syaraf, maka perasaan, perilaku manusia akan begitu mudah berubah. Nah ke depan, bisa jadi ada obat pemati rasa sedih, penahan rasa gembira bahkan kita bisa memilih obat apa saja untuk mempengaruhi perasaan kita. Jika hari ini kita ingin sedih (karena ingin buat puisi misalnya) maka tinggal glek saja minum obat perangsang sedih, jika kita ingin gembira terus, ya tinggal sedot saja syirup perangsang gembira. Mudahkan, gak perlu repot-repot. Dunia ini butuh orang yang simplipistik, yang rumit-rumit akan ditinggalkan dunia, orang bilang; “apa kata dunia”.
Akhir-akhir ini saya selalu dilanda ketakutan. Statemen ini asli dan orsinil dari saya sendiri, ketakutan itu jujur saja ketakutan imaji. Jadi gigilannya pun gigilan imajinatif. Apa sih yang ditakutkan. Huuuuhh dasar orang paranoid, memang begini jadinya, bahkan fikiran saya sering dipahami. Sampai kemudian saya mengambil keputusan “ya sudah, mereka tinggal tunggu saja kejadiannya, lha wong sudah saya ingeti”. Beberapa bulan kemudian perkiraan saya bener juga. Wah nyesel juga saya.
Langsung to the point aja Bos, jadi gini. Inti kehawatiran saya sebenarnya justru takut kalau peran manusia itu secara perlahan tergeser oleh robot, saya prediksikan ini bisa terjadi seperti yang saya ilustrasikan di atas. Saya baru inget kalau melihat iklan di luar negeri sih, jadi untuk memperoleh pagi yang indah, maka seperangkat alat akan dengan mudahnya membangunkan kita dengan cepat plus dengan pakaian dan susu panas. Pas waktu kita bangun seperangkat alat itu memakaikan kita pakaian kantor, meski posisi kita sedang terlentang, setelah itu tubuh kita diangkat dan didudukkan di atas kursi dengan posisi siap makan, nah dengan otomatis , susu hangat dan mungkin saja nasi goreng telah digorengkan oleh alat. Namun persoalannya mungkin akan muncul pengalihan anak kepada robot. Misalnya di saat orangtua sibuk, maka untuk urusan ganti popok maka sudah ada piranti untuk siap mengganti manusia. Nah bila jadinya seperti itu, maka akan sangat mungkin, akan lahir manusia tanpa perasaan. (the man without afection). Memang dunia ini penuh keanehan, yang tidak aneh tidak akan laku.
Manusia akan sangat mungkin teralienasi dari dirinya sendiri (meminjam istilah Erich Fromm), sebab manusia telah menjadi budak orang lain, tepatnya menjadi budak pasar, apapun akan dilakukan selama itu bisa berdampak pada penguasaan pasar. Contoh sederhananya hadir di dunia hiburan, orang akan berbuat apa saja demi memenuhi selera pasar. Batasan moral pun sejak awal memang kabur. Itu urusan hati nurani, itu sanggah mereka, iya kalau hati nuraninya masih jalan, kalau tidak?. Lupa kalau dalam dirinya ada yang tergadainya, misalnya harga diri, moralitas, akidah dan mungkin privacy.
Wallaahu a'lam bishowaab.
EmoticonEmoticon