Sabtu, 05 April 2008

MENATA KEMBALI BANGUNAN DIRI

Tak terasa usiaku sudah mendekati seperempat abad, usia yang tidak pendek dalam menjejakkan kaki di buana ini. Selalu saja diri ini terkaget-kaget bila merenungi masa, mereka selalu berlari dan memaksa saya berlari., saya merasakan itu, sehingga para pemikir kontemporer mengatakan bahwa saat ini adalah masa percepatan dengan segala konsekwensinya, begitulah pandangan besarnya. Komunikasi yang dulu dibatasi jarak, sekarang dengan adanya HP dan internet menjadi seperti tidak berjarak. Dahulu rapat harus dalam satu tempat, sekarang sudah bisa terhubung, meski peserta rapatnya berada di lain benua, kerenkan? Nah keterbatasan manusia itu sekarang menjadi ambigu, pertanyaannya kemudian apa batas dari keterbatasan manusia, sebab dari waktu ke waktu keterbatasan manusia itu telah menjadi semakin banyak yang sirna. Jawabannya tentu saja usia, namun saat ini usia telah bisa dimodifikasi dengan peningkatan taraf kesehatan masyarakat, maka peluang hidup manusia akan menjadi semakin panjang, bukan tidak mungkin bila di suatu tempat, para jompo telah menguasai birokrasi, karena mereka enggan melahirkan.

Karena percepatan itu telah memaksa manusia telah tidak menjadi dirinya sendiri, manusia telah dipaksa untuk melayani tuntutan pasar, dan sistem global yang menggurita, maka manusia telah tidak menjadi dirinya sendiri, sebuah perbedaan yang besar, sebab kesejahteraan yang selama ini dikejar manusia untuk meraih kebahagiaan, justru menjadi sumber ketidakbahagiaan itu sendiri. Oleh sebab itu, beberapa dari manusia itu mulai membuat antitesa yang mengembangkan budaya perlambatan. Pikiran intinya sejatinya diinspirasi oleh tradisi tai chi yang menghayati setiap langkah dan nafasnya demi memperoleh kedamaian.

Mudah sekali melihat diri kita telah banyak terpengaruh oleh falsafah hidup seperti ini, cth, bila kita pusing dan terkejar deadline, beberapa dari kita justru mematikan hp, buat apa? Ya untuk memperoleh kedamaian bukan?. Itulah yang terjadi pada diri kita. Betapa diri mungil ini telah menjadi bagian (korban) falsafah hidup, tanpa kita tahu apakah itu haq atau tidak. Tentu ada sikap yang lebih ekstrim yang mengembangkan falsafah hidup baru kontra falsafah mainstream, mereka berangkat ke hutan dan mengembangkan gaya hidup unik di sana.

Ada kebahagiaan mistis yang merasuki batin bila saya bisa meluangkan waktu dan benar-benar waktu itu milik saya dan saya kerjakan untuk saya sendiri, sama rasanya ketika saya jalan-jalan ke daerah yang akses telepon tidak begitu banyak, lihat kebun-kebun, sawah yang menghijau, hewan ternak yang dibiarkan makan rumput di alam bebas, mandi di pancoran seperti di rumah Emak dulu, melihat anak kecil berlari pulang dari sekolah diniyah, para ibu-ibu berjilbab pulang dari pengajian, ada ekspresi khas bila mereka bertemu dengan orang asing.

Namun dengan serbuan dahsyat dari teknologi dunia yang dibuat oleh orang lain ternyata telah banyak menghilangkan raison d'etre penduduk lokal. Emoh arti vocalbulary raison d'etre apa tapi maksudnya saya paham. Saya masih sempat bertemu dengan para tetua yang memiliki ketajaman mimpi, di mana mereka memperoleh kabar masa depan, informasi potensi alam seperti sumur di saat kekeringan melalui mimpi. Mereka memiliki ketajaman firasat. Nah saat ini para tetua itu telah teralienasi posisinya oleh definisi kebenaran yang objektif, ilmiyah dan harus terindera. Sebentar lagi kita akan menjadi tetua, opsi mana yang akan dipilih untuk membimbing generasi muda dan bangsa?, kebenaran intuitifkah atau kebenaran menurut definisi yang saat ini banyak dianut seperti yang saya jelaskan di atas? Tentu pilihannya adalah dua-duanya, itu pilihan pragmatis. Namun persoalannya adalah filsafat (pikiran dasar) apa yang mendasari pilihan kedua-duanya, sebab itu adalah pilihan yang terlihat cerdas, namun bila kosong dari fikiran dasar justru semakin menunjukkan akalnya yang pendek.

Puing-puing diri ini telah bersekarakan menjadi tanpa arti sebab bukan hanya karena kekosongan bagaimana mendefinisikan diri ditengah cahaya dari berbagai fikiran, namun juga dihadapkan pada kenyataan yang tidak dipersiapkan sejak awal. Dalam hal ini saya tidak menyalahkan teknologi, sebab ia adalah produk dari ilmu, namun persoalannya kita tidak siap menghadapi invasi itu karena sejak awal bangunan kognisi kita tidak dipersiapkan untuk menghadapi persoalan kini. Sehingga pilihan pendeknya adalah menjadi konsumen teknologi yang dibuat orang lain.

Akhir-akhir ini saya sering berfikir apakah dengan semakin melimpahnya informasi malah semakin meningkat kecemasan, sebab justru dengan tidak tahu malah tampak terlihat dari wajahnya ekspresi kedamaian? Ah jangan-jangan kemelimpahan informasi justru menjadi semakin tidak dewasa.

Tentu jawaban yang paling mungkin mendekati kebenaran adalah mengambil sikap. Sebab tanpa mengambil sikap justru akan menjadi objek sikap orang lain. Jawaban paling mungkin benar adalah mengambil sikap yang benar. Nah untuk menuju ke sana justru bukan jalan mudah, sebab ia butuh totalitas yang selama ini kabur akibat kelelahan diri kita dalam mengarungi perjalanan hidup ini.

Di akui atau tidak, sikap bisa jadi menyenangkan orang bisa jadi tidak. Sampai saat ini saya masih ingat (dan saya merasa bersalah) bagaimana teman saya yang diminta untuk menyelesaikan amanahnya untuk menuntaskan kuliahnya justru sekarang malah mendapati tugas jauh lebih berat lagi. Trus kuliahnya bagaimana? Memprotes justru akan menjadi sikap yang tidak menyenangkan sebab dominasi kebenaran di alam demokrasi sampai sekarang belum punya hakimnya, hakimnya adalah penguasa.

Saya sering pongah melihat orang yang merasa maju di depan (saya juga, (mungkin kita) pernah merasakan begitu) dengan kehebatannya dalam berkonsep ria, komplek nian pikirannya, namun miskin efek, namun jantung saya kembali ditohok oleh integritas orang lokal yang menyelaraskan dirinya dengan alam, lambat memang, namun efek bencananya sedikit.

Bagaimana bangunan diri yang hendak saya bangun, sebuah pertanyaan yang masih misteri, satu detik ke depan justru akan menjadi jawaban yang misterius, jawabannya akan jentre bila telah melewati barang satu detik dan dua detik kemudian. Jawaban tu sedikit terkuak setelah membaca buku Marwah Daud yang judulnya Menata Hidup dan Merencanakan Masa Depan (MHMMD). Setelah membaca buku itu, berjuta warna pelangi membuat panorama batin semakin indah, dari sana saya merencakan apa yang akan saya lakukan, beberapa hal sudah saya lakukan, beberapa lagi belum, namun ini kemudian menjadi informasi yang mendorong saya untuk bekerja lebih giat lagi.

Semangat saya kembali biasanya muncul setelah ngobrol (bermakna) dengan beberapa orang, bener juga kata Jung, bahwa untuk melihat keunikan diri kita, maka kita perlu titik luar yang digunakan untuk melihat diri kita.


EmoticonEmoticon