Berbicara tentang ketegasan, saya seperti dihadapkan pada dua anomali yang saling menjauh dan saling mendekat, sebab ini persoalan kecocokan dan mungkin juga persoalan interest. Di rumah Bapak termasuk orang yang tegas, mungkin akibat pola didik yang dikembangkan oleh Abah dan Emak, sedangkan Ibu tipe orang yang akomodatif. Alhamdulillah saya beberapa tahun sempat berinteraksi dengan Abah, sebelum beliau meninggal dunia dalam keadaan sujud dan bertakbir, ada dua perasaan yang ada dalam diri saya saat itu, saya suka dan gembira kedatangan Abah, pada saat yang sama saya takut kena marahnya. Perasaan yang sama dimiliki oleh para Istri anak-anak Abah, tidak ada satupun yang berani, semuanya dipersiapkan sesempurna mungkin sebelum kedatangan Abah dan Emak. Abah pendiam namun tegas, Emak, pinter sekaligus cerewet, perpaduan ideal untuk sebuah rezim keluarga yang kuat. Saya baru tahu kalau Istri Uwak itu sering dimarahi sama Emak, benturan adat paling, itu feeling saya, karena Uwak istri dari banten sedang Emak asli Ciamis, tatar pasundan. Yang pasti Uwak istri pasrah bongkokan, semua dalil nyembur dari mulut Emak. Kalau masih melawan, Abah dengan wibawanya akan mengambil veto selaku ajengan. Angel men gitu kutipan dari Gus Dur.
Hubungan saya dengan Bapak juga mengalami pasang surut seiring dengan perlakuan dan sikap saya sama Bapak. Dari dulu Bapak orangnya tegas, di pondok dulu, kunjungannya selalu membawa dua rasa, rasa senang dikunjungi orangtua, juga rasa waswas. Meski demikian saya tahu tujuan Bapak itu baik, apalagi memang kondisi itu datang dari pengalamannya yang prihatin. Jadi gaya hidup yang sederhana dan penuh perhitungan merupakan kondisi yang telah mengalami proses panjang baik dari masa kuliahnya atau mungkin kondisi alam pedesaan tempat beliau dibesarkan yang akses informasinya jelek.
Begitulah dilema seorang manusia yang tegas. Dalam pergaulan sehari-hari saya termasuk orang yang pragmatis, dengan siapa pun saya bisa bergaul, selama benturan dan perbedaannya tidak masuk dalam kategori prinsipil, begitu juga dalam organisasi saya juga tidak memilih tangan besi untuk mengendalikan organisasi, saya malah suka memakai tangan orang. Namun dalam beberapa aspek ketegasan itu saya pake seperti pada rekruimen, musdalub kemarin dan perbaikan hubungan organisasi internal, pada saat itu saya menjadi tidak suka dibantah.
Saya pernah dipimpin oleh manusia yang tegas, ya sama, saya merasakan dua hal, saya merasa segan lebih tepatnya kurang suka dekat dengan dia, namun di sisi lain saya merasakan manfaat dari sikap dia. Saya pikir siapapun orang yang pernah dan punya kapasitas kepemimpinan, dia harus punya kekuatan untuk memilih sikap tegas, meski akibatnya dia menjadi tidak populer, bahkan cenderung tidak disukai.
Lagi-lagi itu persoalan kepribadian, pilihan sikap dan hasil pola didik yang diberikan lingkungannya. Bisa saja orang yang asalnya memiliki kepribadian yang lemah lembut namun dalam waktu tertentu dia bisa berubah, kenapa hal ini bisa terjadi, mungkin saja ini disebabkan karena kesimpulannya yang dia ambil terhadap kondisi lingkungannya dan melihat bagaimana tempat dia dari kondisi lingkungan yang melingkupinya. Contohnya adalah Abu Bakar, sosok sahabat yang penuh kasih sayang dan lemah lembut kemudian tidak ada yang menyangka kalau perintah untuk merontokkan kepongahan para pembangkang zakat itu keluar dari mulutnya, sampai-sampai Umar bin Khattab memintanya untuk meninjau kembali keputusannya.
Sampai saat ini saya merasa anomali jika bertemu dengan manusia tegas, selain karena perasaan tidak nyaman berada di dekatnya (tidak selalu juga) juga ada perasaan butuh dengan sikapnya. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh beberapa teman saya dalam memandang diri saya sendiri, sekali lagi hal ini mungkin, sebab saya sendiri belum mengorek informasi dari orang lain dan saya tidak punya keinginan kuat untuk itu, namun saya tahu dari penerawangan aja. Memang sih saya akui di asrama kelas enam ini saya memilih sikap tegas, meski anak-anak masih dan selalu suka sama pendamping yang lemah lembut pengertian dan tidak banyak ngatur. Nah profil yang ada dalam diri saya justru sebaliknya, tegas dan kurang konpromi dalam persoalan waktu, tentu dari pendamping itu, saya termasuk pendamping yang tidak bisa tidur bareng dan berbagi hati, wah sejak awal memang saya kurang tertarik dalam urusan itu, bagi saya hubungan antar manusia termasuk dengan anak (didik tepatnya) adalah hubungan yang sehat yang memberi anak rasa kuat dan tidak manja, bahkan hubungan pribadi jangan dikacaukan dengan kegagalan untuk bersikap tegas. Memang sih ada perasaan hilang juga dan iri juga kalau dikangeni anak-anak, namun kemarin saya harus keluar kota ternyata kondisi asrama menjadi tidak kondusif kedisplinannya, ajakan pendamping disepelekan, masyaallah kok jadi gini.
Kondisi itulah yang kemudian saya ambil untuk bersikap tegas bagi anak dampingan saya, memang sih ada juga rasa iri kalau melihat anak bermanja-manja sama salah satu pendamping, kalau ke saya mereka gak begitu manja, namun pola interaksi lain saya kira cukup bisa mewakili misalnya dalam outbond, konseling dan beberapa pendekatan saya yang bersikap menguatkan kepribadian mereka.
Memang saya akui, kondisi ini mengundang persoalan, justru pola hubungan yang manja itu justru akan mengundang persoalan yang lebih berat lagi, ia bagai fatamorgana yang terlihat indah namun ternyata keropos, tanpa menapikkan sikap saya dalam mendidik juga akan sangat terbuka terhadap kekurangan.
Hubungan saya dengan Bapak juga mengalami pasang surut seiring dengan perlakuan dan sikap saya sama Bapak. Dari dulu Bapak orangnya tegas, di pondok dulu, kunjungannya selalu membawa dua rasa, rasa senang dikunjungi orangtua, juga rasa waswas. Meski demikian saya tahu tujuan Bapak itu baik, apalagi memang kondisi itu datang dari pengalamannya yang prihatin. Jadi gaya hidup yang sederhana dan penuh perhitungan merupakan kondisi yang telah mengalami proses panjang baik dari masa kuliahnya atau mungkin kondisi alam pedesaan tempat beliau dibesarkan yang akses informasinya jelek.
Begitulah dilema seorang manusia yang tegas. Dalam pergaulan sehari-hari saya termasuk orang yang pragmatis, dengan siapa pun saya bisa bergaul, selama benturan dan perbedaannya tidak masuk dalam kategori prinsipil, begitu juga dalam organisasi saya juga tidak memilih tangan besi untuk mengendalikan organisasi, saya malah suka memakai tangan orang. Namun dalam beberapa aspek ketegasan itu saya pake seperti pada rekruimen, musdalub kemarin dan perbaikan hubungan organisasi internal, pada saat itu saya menjadi tidak suka dibantah.
Saya pernah dipimpin oleh manusia yang tegas, ya sama, saya merasakan dua hal, saya merasa segan lebih tepatnya kurang suka dekat dengan dia, namun di sisi lain saya merasakan manfaat dari sikap dia. Saya pikir siapapun orang yang pernah dan punya kapasitas kepemimpinan, dia harus punya kekuatan untuk memilih sikap tegas, meski akibatnya dia menjadi tidak populer, bahkan cenderung tidak disukai.
Lagi-lagi itu persoalan kepribadian, pilihan sikap dan hasil pola didik yang diberikan lingkungannya. Bisa saja orang yang asalnya memiliki kepribadian yang lemah lembut namun dalam waktu tertentu dia bisa berubah, kenapa hal ini bisa terjadi, mungkin saja ini disebabkan karena kesimpulannya yang dia ambil terhadap kondisi lingkungannya dan melihat bagaimana tempat dia dari kondisi lingkungan yang melingkupinya. Contohnya adalah Abu Bakar, sosok sahabat yang penuh kasih sayang dan lemah lembut kemudian tidak ada yang menyangka kalau perintah untuk merontokkan kepongahan para pembangkang zakat itu keluar dari mulutnya, sampai-sampai Umar bin Khattab memintanya untuk meninjau kembali keputusannya.
Sampai saat ini saya merasa anomali jika bertemu dengan manusia tegas, selain karena perasaan tidak nyaman berada di dekatnya (tidak selalu juga) juga ada perasaan butuh dengan sikapnya. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh beberapa teman saya dalam memandang diri saya sendiri, sekali lagi hal ini mungkin, sebab saya sendiri belum mengorek informasi dari orang lain dan saya tidak punya keinginan kuat untuk itu, namun saya tahu dari penerawangan aja. Memang sih saya akui di asrama kelas enam ini saya memilih sikap tegas, meski anak-anak masih dan selalu suka sama pendamping yang lemah lembut pengertian dan tidak banyak ngatur. Nah profil yang ada dalam diri saya justru sebaliknya, tegas dan kurang konpromi dalam persoalan waktu, tentu dari pendamping itu, saya termasuk pendamping yang tidak bisa tidur bareng dan berbagi hati, wah sejak awal memang saya kurang tertarik dalam urusan itu, bagi saya hubungan antar manusia termasuk dengan anak (didik tepatnya) adalah hubungan yang sehat yang memberi anak rasa kuat dan tidak manja, bahkan hubungan pribadi jangan dikacaukan dengan kegagalan untuk bersikap tegas. Memang sih ada perasaan hilang juga dan iri juga kalau dikangeni anak-anak, namun kemarin saya harus keluar kota ternyata kondisi asrama menjadi tidak kondusif kedisplinannya, ajakan pendamping disepelekan, masyaallah kok jadi gini.
Kondisi itulah yang kemudian saya ambil untuk bersikap tegas bagi anak dampingan saya, memang sih ada juga rasa iri kalau melihat anak bermanja-manja sama salah satu pendamping, kalau ke saya mereka gak begitu manja, namun pola interaksi lain saya kira cukup bisa mewakili misalnya dalam outbond, konseling dan beberapa pendekatan saya yang bersikap menguatkan kepribadian mereka.
Memang saya akui, kondisi ini mengundang persoalan, justru pola hubungan yang manja itu justru akan mengundang persoalan yang lebih berat lagi, ia bagai fatamorgana yang terlihat indah namun ternyata keropos, tanpa menapikkan sikap saya dalam mendidik juga akan sangat terbuka terhadap kekurangan.
EmoticonEmoticon