Minggu, 24 Februari 2008

PERLAWANAN KULTUR

Di saat manusia hadir di muka bumi, maka ia datang dengan persepsi nol terhadap dunianya, seiring dengan bertambah usia, maka pergumulan intelektual antara manusia dengan dirinya, dirinya dengan alam, kemudian bermuara pada pertanyaan siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya, ke mana arah perjalanan setelah ia tiada. Kekuatan alam yang dahsyat seperti ledakan gunung berapi, gelombang samudra, angin puting beliung dan api membuat mereka merasa batapa manusia terlihat kecil dan kerdil dibandingkan kekuatan benda-benda bumi itu, di sisi lain dia pun melihat bahwa hujan telah membawa banyak keberkahan untuk ladang dan hewan ternaknya, merekalah yang telah membawa banyak makna dalam ambisi manusia untuk meraih kemakmuran, mereka pun mulai merenungi, mungkinkah hujan itu sejatinya Tuhan yang turun untuk memberkahi kehidupan manusia?. Perjalanan mencari Tuhan ini sebenarnya tuntas dengan turunnya anbiya dan mursalin. Pergulatan intelektual manusia ini kemudian menghantarkannya untuk menciptakan kultur, kultur itulah yang membentuk laku manusia.

Manusia menciptakan kultur dan pada saat yang sama menusia tunduk mengikuti kultur yang telah dia ciptakan. Bisa jadi kultur itu tidak rasional, hal ini terkadang membuat saya jengkel juga, kenapa saya perlu ikut kultur yang memang saya tidak terlibat untuk menyepakati konsensus kultur itu sendiri. So, kalau ada undangan untuk hadir di tempat, katakanlah bonafid, -rata-rata di hotel- maka kondisi psikologis yang hadir dalam diri saya justru 2 kondisi, pertama saya senang karena akan semakin menambah relasi, banyak teman, Kedua justru saya pegel terhadap diri saya betapa saya harus ikut aturan orang lain yang tidak saya kenal dalam otak saya. misalnya kalau makan pake pisau, maka pisau itu harus di tangan kanan dan garpu di tangan kiri, kalo gini jelas ini akan membentur norma dien yang saya yakini, kalau makan harus pake tangan kanan. Kalau di balik, justru kesulitan, sebab rata-rata orang di pulau jawa tangan kirinya tidak keprigel untuk melakukan aktivitas motorik halus. Selain itu kaki saya harus ke bawah, padahal saya suka banget kalau makan itu kaki kiri naik ke atas, he he he, biasa makan di sawah kale, gpp lagian di kampung saya masih banyak sawahnya kok. Terus terang aja, saya ini lebih nyenyak tidur di atas kasur kapuk dari pada pake spring bed, lagian saya juga lebih enak tidur dibawah buaian angin yang masuk lewat sela-sela jendela, damai rasanya, puihh kalau pake AC, nyaman juga sih, tapi kenyamananan angin alami memang tak tertandingi. dan saya menikmati banget cara tidur saya apalagi hidung saya memang sensitif, kena debu, perubahan suhu ruangan yang mendadak sering kali membuat hidung saya bocor, bersin belasan kali mimpi banget punya hotel yang bebas hawa sumuk, bebas AC, bebas polusi..

Jelas saya bisa ikut aturan gitu, tapi persoalannya saya dipaksa untuk menjadi orang lain, atau istilah kerennya (mungkin) depersonalisasi, saat itu jelas saya tidak bisa makan dengan para bos sambil mengangkat satu kaki ke atas, nyimpan piring di tangan kiri (ditanggeui; bhs sunda) sambil berdecak, “nikmat sekali sate kelinci ini”, “hmmmmm enak sekali nasgor jawa ini”. Saya sering ketawa aj dalam hati, kalau gitu.

Ini hanya aturan komunitas saja, nah jelas kondisinya berbanding terbalik kalau para pengagum tradisi elit ini ditaruh dalam komunitas udik, taruhlah di kampung nenek saya di Ciamis, mau makan deket kolam ikan kek mau makan sambil metik buah rambutan kek, gak ada yang mengancam diturunkan jabatannya. Gak perlu pake celemek, dan kalau mau cuci tangan tinggal ke WC, dan seperti biasa, di jawa dan di sunda, “pada dasarnya” tidak punya konsep ruang makan, lihat aja ruang makan nenek, mesti di belakang bergabung dengan tempat sepeda ontel, sepatu dan alat-alat sawah. Aturan-aturan itu sejatinya membuat kita tercerabut dari budayanya. Hal ini yang -meminjam ungkapan Erich Fromm- sebagai sumber kecemasan manusia.


EmoticonEmoticon