Senin, 25 Februari 2008

Pak Romi

Pak Romi … ujarnya setengah berbisik. Temen-temen nya segera menoleh ke belakang barisan, ke tempat saya berdiri. .. mmm ternyata mereka masih mengingat saya. Beberapa diantara mereka mengenyitkan dahinya, kemudian tersenyum, rupanya dia sedang mengingat-ingat siapa nama pemilik wajah yang berkemeja putih itu.

Assalaamu’alaikum Pak Romi, kapan datang?, sapa beberapa ustadzah, ada bu binti, bu lilis dan beberapa ustadzah tkit. Hmmm. Masih suasana lama, energi yang terpancar cukup terasa di sanubari saya. Satu persatu saya salami para ustadz. Kesan pertama ngantor kembali di tempat lama di SDIT al Hikmah.

Ada sensasi segar merembes dalam sanubari saya, di saat wajah-wajah bersinar itu bersorak, berlarian dan membaca di perpustakaan, malu rasanya melihat diri ini yang penuh dusta dan kemunafikan. Adakah kekuatan untuk menghantarkan mereka untuk menjadi pribadi sukses melebihi generasi sebelumnya. Lama saya merenungi. Terasa betul ketenangan yang saya rasakan dalam batin saya di saat memandang wajah anak-anak itu.

“Ehh ada pak Romi” anak-anak kelas 4 itu ternyata masih mengenali saya. Memang ingatan mereka sangat kuat. Saya langsung tersenyum melihat senyum simpul mereka, mereka memang selalu membuat saya tersenyum.

Saya jadi ingat apa yang dikatakan pak anton, guru NF malang, “Rom di NF itu gak perlu psikolog, siapapun bisa yang penting ruhiyahnya Rom” saat itu saya anggap sebagai angin lalu saja, saya gak merasa perlu kok. Sekarang ungkapan pak anton pembuktiannya tinggal di depan mata.

Pengalaman pertama nih ngantor, setelah lama tidak bekerja. Pikiranku kembali mensearch langkah kaki yang pernah saya jejakkan, 8 tahun yang lalu saya bekerja pasnya mengabdi di pesantren, saya merasa nyaman di sana, penghasilan saya diatas uang jajan yang diberikan orangtua, seneng-seneng banget. Persoalannya bukan pada uang yang saya terima, namun persoalannya pada mindset saya yang terpatri dengan gaya hidup pesantren yang tidak kenal gaya hidup pemuda, jadi gaya saya berada 30 tahun diatas usia saya. Kemeja sewarna, celana hitam, gak tahu jean dan tidak kenal kemeja gaul, apalagi kaosan maupun parfum. Ustadz banget, wajar juga, coz ada salah satu ustadz yang bergaya muda, namun sistem sosial yang ada di pesantren membuat dia jadi bahan pembicaraan. 1 tahun saya di sana, dan langsung meluncur ke Malang. Saya termasuk ustadz yang tidak punya persoalan dengan santri, kyai, ustadz, ustadzah dan yang lain, beberapa teman saya terpaksa dikeluarkan karena persoalan susila dan gaya kerja.

Pengalaman kedua saya bekerja di al hikmah tempat sekarang saya bekerja, lumayan saya sudah menemukan irama kerja, meski saya akui banyak lubang yang perlu ditambal, sampai suatu saat syura memutuskan saya harus menjadi ketua kamda, setelah pembicaraan elit, saya pun meminta undur diri dari al hikmah.

Pengalaman ketiga saya kembali ke al hikmah. Hmmm senyum bu guru itu lebar kalau bertemu, begitu juga para ustadz. “Langsung tancap gas ya pak Romi” kata pak anwar sambil tersenyum penuh kemenangan. “Ok” sejak awal saya saya memang berniat bekerja untuk aktualisasi diri, meski penghasilan menjadi pertimbangan.

“Ahlan pak Romi”, bu susi, istri kepala sekolah nonggol dari depan pintu perpus, benar-benar tidak terperkirakan sebelumnya. “Enggeh bu” jawab saya. Setelah itu beliau menghilang entah masuk ke kantor atau masuk ke kelas.

Perpustakaan itu adalah tempat persembunyian yang nyaman bagi saya. Rasanya seperti banyak guru yang siap berdialog di saat lembar demi lembar dibuka. Ada saja lompatan pikiran, menerabas lewat desiran gairah muda, lewat degupan jantung, dan aliran deras adrenalin. Peristiwa itu biasa terjadi di saat ketajaman pena itu benar-benar menohok titik lemah yang seringkali menjadi titik cita-cita yang hendak saya kejar. Sosok mas gagah dalam cerita Helvy, manusia sejenis Fachri dan Azam dalam cerita kang Abik yang pernah hinggap dalam batin saya. Mereka adalah sosok imajinatif yang mampu menaklukan liarnya pikiran saya, kekuatannya benar-benar membuat saya lumpuh untuk sesaat. Air mata ini benar-benar terkuras tanpa saya mampu mencari alasan rasional kenapa hal ini terjadi. Alasan ini yang sering membuat air mata ini menjadi air bah yang mengamuk tanpa mampu saya bendung, sesaat setelah melihat teduhnya wajah Kyai Hamka, Ust Rahmat Abdullah, mengingat wajah Abah.

Lembar demi lembar saya buka, tiba-tiba dua orang bertubuh gemuk pendek dan kurus ini mengejutkan saya. “Pak kok lama gak ke sini?”, “ngajar apa sih?”.
“Iya mas, pak Romi kuliah dulu” jawab saya. Dua anak ini memang mutarabbi saya.
“Mas, sudah berwudlu? Tanya saya
“sudah” jawab keduanya
“Setelah wudlu ngapain?
“Shalat” jawab Dana.
“Ok, sekarang kita shalat dulu yuk” ajak saya persuasif.
Setelah itu ruang perpus jadi hening.


EmoticonEmoticon