Saya pun hanya bisa termanggut-manggut di saat mendengar keputusan dirinya untuk menjadi tkw di salah satu negara di Asia. Saya coba untuk menawarkan kerja di beberapa relasi saya, ternyata tanggapannya benar-benar realistis dan tidak saya duga sebelumnya “berapa gajinya?”
Saya jawab sekenanya “500 ribu bersih untuk jajan”
“Kalo Cuma untuk saya sendiri yang cukup, tapi anak saya sekarang sudah SMA, perlu persiapan finansial untuk masuk kuliah. Di sana saya di gaji 8 juta”
Sayapun memberanikan diri untuk bertanya bagaimana penghasilan suaminya. “itu cukup buat dirinya sendiri” jawabnya.
Sampai sejauh itu saya belum bisa banyak berkomentar lagi, sebab itu sisi yang saya sendiri realistis tidak bisa membantu terlalu jauh.
Banyak hal yang membuat bangunan idealisme dan bangunan realistik ini banyak berubah, mungkin hal ini berawal dari sedikit keterkejutan, betapa persoalan masyarakat ini telah banyak menyentuh diri kita, mulai dari kebodohan, kenakalan, perceraian, kemiskinan dan pertengkaran. Dalam kontek ini kemudian saya berfikir bahwa asumsi yang saya pegang saat ini mungkin ada benarnya juga bahwa yang menentukan diri kita ini sebenarnya diri kita sendiri, tanpa banyak terpengaruh oleh pandangan ide orang lain, tapi pada kenyataannya justru terbalik, kita justru terlalu banyak mempertimbangkan persoalan apa kata orang dalam konteks norma, namun lupa bahwa kita punya cita-cita, idealisme dan keinginan teleologis.
Beberapa teman saya memutuskan untuk tidak banyak beraktivitas dalam da’wah lingkungan, sementara saya melihat ini suatu kemunduran, sebab untuk kader seperti dia sudah saatnya untuk bertajarrud dalam beramal jama’i. setelah lama berdiskusi, lontaran argumen ini cukup mengena; “apakah mereka akan memikirkan penghasilan saya?” pertanyaan ini tidak bisa saya jawab. Tentu argumen ini menjadi sedikit pembenar, bahwa yang menentukan masa depan kita justru kreativitas kita dalam mengelola potensi. Kekuatan individualitas itu telah banyak terkubur oleh semangat kolektivitas yang seringkali menjadi pemati kekuatan personal yang harus dimunculkan. Akibatnya, kini telah hadir kekuatan kolektif yang didominasi oleh manusia yang potensi personalnya lemah. Memang tidak ada jaminan kumpulan orang-orang hebat akan menghasilkan tim yang hebat namun tanpa kumpulan manusia yang hebat rasanya mustahil membentuk tim yang hebat.
Terkadang orang yang terlalu banyak tahu itu sering berakibat buruk untuk dirinya sendiri, saya sadari itu, pas ke jakarta, saya sempat bersilaturahim ke beberapa orang yang saya pikir mereka mengerti banyak, ternyata informasi itu katanya; seharusnya membuat kita wise. Beruntung sekali saya dapat masukan begitu, di saat kondisi psikis saya sedang kalut.
Saya coba merefleksikan apa yang saya lihat dan saya dengar dengan kenyataan pergulatan pemikiran dan tantangan yang harus saya hadapi; usia saya sudah 24 tahun, saat ini saya bertanggungjawab untuk “menghidupi” organisasi yang berada di bawah naungan saya, tentu saja secara realistis, cara menunggu (tangan di bawah), berharap pada satu kelompok saja, akan membuat saya dan organisasi yang saya tangani akan masuk dalam lobang yang mengerikan, semenatara, dinamika eksternal seringkali berubah drastis, tentu ini butuh kedalaman fikiran, kekuatan sikap dan keterbukaan fikiran, dengan siapapun orang yang saya hadapi. Tanpa keterbukaan fikiran dan aturan main hanya akan membuat akhir perjalanan menjadi kelam. Nah selain butuh kedalaman fikiran, juga saya bertanggungjawab untuk memberikan tampilan gerakan yang menawan yang ini seringkali butuh biaya yang tidak sedikit. Sementara saya memilih untuk bergerak dalam wilayah yang tidak dilarang. Saya melihat dunia ini begitu indah, tidak sesempit bergerak dalam dunia yang diinstruksikan. Fikiran saya betul bebas, ekspresi dan keinginan benar-benar difahami secara jelas, tanpa ada ketakutan yang terlalu. Bagaimana cara kita untuk bisa berbuat banyak untuk menokohkan diri kita sebagai kaum muda di kalangan jawa timur, sudahkah itu masuk dalam benak diri kita?, bagaimana wujud dan jumlah penghasilan kita, bagaimana pengaruh kita di grassroot?
Tentu saja menjadi salah jika asumsi individualis itu difahami secara kaku, sebab pada gilirannya, saya sebagai kader yang harus taat dalam koridor. Sebab koneksi dan jaringan kader ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa dan saya fikir sudah saatnya saya memberi lebih kepada organ besar yang saya berada di dalamnya.
Saya pernah berfikir bagaimana reaksi dari masyarakat kalau nama dan foto saya selaku ketua dipampang di beberapa ruas jalan mengucapkan selamat harlah NU, dll. Apakah klaim riya dan sum’ah itu benar-benar menerjang saya, sementara kader yang diproyeksikan menjadi calon kepala daerah sering diejek -oleh orang lain maupun kader sendiri – popularitasnya. Ahh jadi serba susah, mau maju diejek, kita lebih sabar melihat orang lain miskin dari pada melihat orang lain kaya, begitu taujih dari ust Anis Matta.
Terkadang untuk menghibur diri dan menguatkan diri saya sering banyak senyum. Metode itu katanya sih bagus untuk mempertahankan persepektif yang baik. Kemarin saya dikeluhi oleh staf saya, dia bilang “akh kader kita ini gak responsif ya, ada rapim kemarin gak ada satupun yang nanya, kalo gilirannya kita salah, kita malah yang dimarahi”.
“Iyo akh” itu jawaban saya, toh dijawab panjang lebar juga tidak akan menghasilkan gerak yang kongkrit.
Waaah, jadi inget apa yang dibilang akhi Rizal imam, “kini sudah saatnya kita bukan menjadi pengamat, tapi jadi pelaku”. Beberapa kader saya sempet banyak dimarahi oleh mereka yang dibelakang layar, karena keliru dan dianggap tidak maksimal geraknya. Saya sempat membatin, bagaimana kalau peran itu diganti, mereka yang dibelakang layar atau para pengamat itu kemudian menjadi pelaku, bisa gak yaaaaa. Insyaallah bisa. Tsiqah saja.
Ads 970x90
Minggu, 10 Februari 2008
Itu Sisi Manusiawi
Related Posts
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon