Senin, 21 Januari 2008

PEMBAJAKAN EMOSI

“Mmm, dia itu orangnya emosionil”. Mungkin diantara kita pernah atau bahkan sering mendengar ungkapan itu. Saya sendiri kemarin baru saja disinggung oleh teman saya yang tersinggung setelah saya tegur dia gara-gara telat satu jam. Tampaknya tidak ada pengaruh yang signifikan antara emosi dan budaya, sementara saya memegang hipotesa itu, yang membedakan adalah ekspresi dari emosi itu sendiri. Ada yang langsung mengekspresikan ada juga yang memilih ekspresi yang lain.

Lantas apa itu pembajakan emosi, bayangan kita mungkin tergambar orang yang bermata satu, satunya lagi tertutup, bebadan gemuk, dengan satu tangan pakai arit. Itukah bayangan kita. Bisa jadi benar, namun Joseph LeDoux menjelaskan bahwa pembajakan emosi terjadi jika saat menghadapi masalah, rasionalitas dan nalar kita dibajak oleh emosi dan insting kita. Mudahnya, di sat anda marah kemudian kita tidak bisa berfikir jernih, maka pada saat itulah terjadi pembajakan emosi. Di sisi lain di saat kita merasa nervous -misalnya ketika ujian atau ketemu calon mertua- dan kita kehilangan data-data dalam otak, pilihan kata yang hendak kita ungkapkan itu tiba-tiba luruh, pada saat itu kita sedang mengalami pembajakan emosi.

Kita sendiri sering mengalami pembajakan emosi, oleh sebab itu Rosulullah dalam salah satu hadist arbain diungkapkan ketika salah seorang sahabat meminta nasihat, maka jawaban Rosul adalah “jangan marah”, beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.

Pembajakan emosi ini bisa jadi dapat dipahami sebagai kewajaran, sebab siapa sih orang yang suka terpancing emosinya, misalnya dikritik. Namun persoalannya bukan pada masalah itu, persoalannya adalah apakah kita masih bisa berfikir jernih dan berhati bersih sementara kritikan dan perilaku yang mengundang marah itu terkadang mengunjungi kita. Inilah saya maknai sebagai mentalitas pendaki. Semakin tinggi seseorang memiliki mentalitas pendaki, maka semakin tahan pula menghadapi serangan emosional semacam itu, sebab cita-cita dan ambisinya lebih besar ketimbang serangan emosional.

Kemarin saya baru saja disinggung oleh teman satu tim saya yang mengatakan, “makanya hati-hati dengan orang yang sensitif”, teman saya pun mengalami kenyataan serupa, rupanya dia yang sekarang menjadi ketua perkumpulan koperasi pemuda di Jatim mengatakan ketika konsultasi “akh ana kok sulit banget ya kerjasama sama si A, kok dia itu mudah banget tersinggung”. Ya Allah, jauhkanlah saya dari orang yang mudah tersinggung supaya dia tidak banyak terzalimi oleh saya.

Masuk dalam dunia yang lebih makro, ternyata ada korelasi antara ketidaktahanan menerima hal buruk dengan kekuasaan. Tentu saja pembajakan emosi juga dapat hadir dalam bentuk ketidaksukaannya mendengar berita buruk baik tentang dirinya maupun tentang negaranya -mungkin kalau dia presiden-. Jatuhnya negara Jerman dalam beberapa analisa disebabkan karena kebiasaan Hitler untuk menembak orang yang suka membawa berita buruk, meski itu benar adanya. Kejatuhan Gusdur juga harus lengser karena orang sekelilingnya selalu membawa berita yang menyamankan. Begitu pula Soeharto; pameo yang terkenal saat itu adalah ABS, asal bapak senang. Rupanya pada diri para pemimpin itu telah terjadi pembunuhan katak. Pembunuhan katak yang paling efektifkan dengan air yang secara perlahan dididihkan, perlahan tapi pasti, katak itu mesti mati tanpa banyak meronta.

Kok bisa seperti itu, yaa secara neurosains, pembajakan otak terjadi karena respon amygdala (bagian otak yang berurusan dengan emosi dan insting) mendahului respon cortex cerebri (yang mengurusi nalar dan rasio, begitu menurut Pasiaq. Jadi menurut Pasiaq, orang yang tidak terbiasa dikritik, reaktif sedang mengembangkan hubungan yang lebih kuat dan padat antara stasiun relai otak yang bernama thalamus menuju amygdala, dibandingkan hubungan thalamus dengan pusat nalar otak. Wallahu’allam


EmoticonEmoticon